Dalam teori ini juga dijelaskan tentang integrasi sosial yang menggambarkan media bukan dalam bentuk informasi, interaksi atau penyebarannya, tetapi dalam bentuk ritual atau bagaimana manusia menggunakan media sebagai cara menciptakan masyarakat. Media bukan hanya sebuah instrument informasi atau cara mencapai ketertarikan diri, tetapi menyatukan kita dalam beberapa bentuk masyarakat dan memberi kita rasa saling memiliki.
Menurut pendekatan integrasi sosial ini, tatap muka bukan lagi standar atau dasar bagi perbandingan komunikasi. Kita tidak terlalu banyak berinteraksi dengan orang lain, tetapi dengan media itu sendiri (Littlejohn & Foss, 2009: 411-114).
C. Disposisi Masyarakat
Tersedianya media siber membuka kemungkinan bagi setiap orang untuk menjadi konsumen sekaligus produsen berita. Masyarakat tidak lagi menjadi khalayak yang pasif tetapi juga aktif dalam menanggapi informasi. Jika informasi yang disediakan oleh media dirasa tidak cukup atau tidak memenuhi ekspektasinya maka ia akan memproduksi informasi untuk kemudian disebarluaskan melalui perkembangan teknologi media yang sudah sangat terbuka tadi. Untuk membahas partisipasi masyarakat dalam dunia media ini, saya merujuk pada teori media demokratik-partisipan.
Istilah “demokratik-partisipan” lahir sebagai ungkapan rasa kecewa terhadap praktik monopoli media sebagai sumber informasi oleh kelompok atau individu tertentu. Titik sentral dari teori demokratik partisipan terletak pada kebutuhan, kepentingan, dan aspirasi penerima dalam masyarakat. Teori ini lahir berdasarkan asumsi bahwa khalayak sebagai konsumen informasi pun punya hak atas informasi yang relevan, hak untuk menjawab kembali, hak menggunakan sarana komunikasi untuk berinteraksi dalam kelompok masyarakat berskala kecil. Teori ini menolak keharusan adakanya media yang seragam, disentralisasi, mahal, sangat diprofesionalkan, dan dikendalikan oleh pemerintah (McQuail, 1987: 121-122).
Dalam konteks Indonesia, teori ini bisa jadi sangat relevan. Hampir sebagian besar media massa saat ini dikuasi oleh individu tertentu yang berafiliasi dengan kekuasaan atau partai politik. Sehingga di sana-sini kita menemukan bahwa sajian informasi pun diarahkan sesuai dengan ideoligi dan keinginan si empunya media. “Big-bos” dari media tertentu yang mendukung pemerintah akan menyajikan informasi sesuai dengan yang diamanatkan oleh kekuasaan, sementara media-media dari partai oposisi akan menyajikan informasi berlawanan dengan pemerintah.
Kondisi seperti ini kemudian membuat khalayak bingung dalam menemukan dan menentukan sumber informasi bagi dirinya. Jurnalisme warga yang dikembangkan sekitar lima tahun terakhir bisa jadi adalah wujud ketidakpuasan khalayak terhadai dikotomi media dan kekuasaan selama ini. Memang, sampai saat ini belum ada media yang lahir dan menjadi sangat besar sebagai wujud dari penerapan teroi demokratik-partisipan ini. Namun, kegiatan-kegiatan kritis dari komunitas-komunitas yang bermunculan dalam masyaakat dalam menyikapi informasi dan pemberitaan media bisa jadi adalah wujud ketakpuasan khalayak dalam menerima sajian informasi media massa.
D. Efek Media
Kemajuan teknologi komunikasi di satu sisi menggembirakan karena memudahkan manusia dalam berkomunikasi. Namun di lain sisi, perubahan media komunikasi itu ikut mengubah cara berkomunikasi, cara bertutur, cara bersikap, dan cara masyarakat membangun komunikasi antaranggota masyarakat. Kemajuan media juga membuka ruang tak terbatas bagi setiap orang untuk mengekspresikan diri. Melalui media, dalam hal ini media sosial, setiap orang seolah menemukan ruang tak terbatas untuk mengekspresikan diri.
Ketersedian ruang mahaluas dalam dunia media komunikasi tersebut lantas mendatangkan kekuatiran. Kekuatiran terletak pada pernyataan: jika semua orang bebas mengekspresikan diri dalam lewat media sosial tanpa kontrol, lantas dimana ruang privasi? Sandra Petronio mengembangkan sebuah teori yang disebut teori privasi komunikasi (communication privacy management theory).
Hal yang menjadi perhatian utama teori ini adalah pengelolaan ketegangan antara keinginan bersikap terbuka/memiliki keterbukaan (openness) atau bersikap tertutup (privasi), antara menjadikan diri sebagai bagian dari publik (being public) atau bersifat pribadi (being private). Menurut Petronio, individu yang terlibat dalam suatu hubungan dengan individu lainnya akan terus-menerus mengelola garis batas atau pembatasan (boundary) dalam dirinya, yaitu antara wilayah publik dan wilayah privat, antara perasaan dan pikiran yang ingin mereka bagi dengan orang lain dan antara perasaan dan pikiran yang tidak ingin mereka bagi dengan orang lain.