Mohon tunggu...
Stevano Margianto
Stevano Margianto Mohon Tunggu... -

Berharap Indonesia bersinar.....

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Rapor Merah Kebebasan Beribadah di Indonesia

25 Juli 2012   08:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:38 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjadi sebuah anomali di abad keterbukaan dan gegap gempitanya suara-suara kemanusiaan (humanisasi) ini, peristiwa tersebut di atas masih terjadi dan malah semakin meningkat. Bahkan ketika negara yang mengklaim dirinya sebagai negara ber-Pancasila tidak pernah tuntas dalam hal beragama dan beribadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Lebih mengherankan lagi ketika suara-suara kritis tentang penghargaan terhadap pluralitas sebagai aspek lain dari HAM yang harus dijunjung tinggi bukan bahasa baru lagi bagi sebagian besar rakyat utamanya para aktor dan elit-elit negara. Lalu apa yang salah?.

Maraknya kekerasan bernuansa agama menunjukkan negara tidak konsisten memberikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak atas kebebasan beribadah, beragama dan berkeyakinan bagi warganya. Hal ini juga membuktikan terjadinya disfungsi negara dalam menjalankan amanat konstitusi. Bukankah negara telah menjamin kebebasan memeluk agama dan beribadat menurut agamanya di dalam UUD 1945. Indonesia juga telah meratifikasi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia lewat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yang semakin mempertegaskan lagi jaminan negara atas kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian dari HAM yang berlaku secara umum?. Bahkan, negara sebenarnya telah mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik melalui UU Nomor 12 Tahun 2005.

Kenyataannya, pemerintah juga gagal menangani berbagai peraturan nasional maupun daerah (perda) yang jelas-jelas diskriminatif seperti Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 09 Tahun 2006, No 8 Tahun 2006 tentang Pendirian Rumah ibadat, Peraturan perundang-undangan tersebut selain sangat mengekang dan membatasi kebebasan beragama atau berkeyakinan, juga turut menyulut tindakan sepihak ormas atau kelompok agama lain terhadap kelompok lain. Dalam persfektif hak asasi manusia, negara dalam hal ini telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia melalui pemberlakuan regulasi.

Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono tampak lebih gemar berpidato tentang toleransi dari pada bekerja sungguh-sungguh dan terukur untuk menciptakan toleransi dengan memberikan jaminan kebebasan terhadap warganegaranya. Tanpa jaminan kebebasan, toleransi hanya akan menjadi politik kata-kata dari seorang presiden yang tidak berkontribusi pada pemajuan hak asasi manusia. Sepanjang 2011, tidak kurang dari 19 kali Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan.

Tapi semua pesan itu tidak berbekas. Bahkan untuk sekadar menegur seorang walikota yang melakukan pembangkangan hukum sekalipun. Sebagai sebuah kapital politik, kata-kata toleransi memang menyejukkan. Tapi temuan-temuan pemantauan selama lima tahun terakhir ini justru menunjukkan fakta yang bertolak belakang dari seluruh kata-kata Presiden RI (Politik Diskriminasi rezim SBY, Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia 2011, SETARA Institute).

Jadi wajar sebenarnya Indonesia dicerca di Sidang Dewan HAM PBB, karena memang pada prakteknya telah terjadi pelanggran yang sangat memalukan. Sejak tahun 2011 saja, sudah terjadi ratusan kasus pelanggran kebebasan beragam dan berkeyakinan. Pada tahun 2011, SETARA Institute mencatat 244 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan yang mengandung 299 bentuk tindakan, yang menyebar di 17 wilayah pemantauan dan wilayah lain di luar wilayah pemantauan. Terdapat 5 propinsi dengan tingkat pelanggaran paling tinggi yaitu, Jawa Barat (57) peristiwa, Sulawesi Selatan (45), Jawa Timur (31) peristiwa, Sumatera Utara (24) peristiwa, dan Banten (12) peristiwa.

Ketika suatu ekspresi keberagamaan yang kritis ditekan dan dilarang oleh kelompok baik mayoritas maupun minoritas, maka mandat demokrasi Pancasila sedang dipertaruhkan. Sama halnya ketika demokrasi Pancasila tidak diikuti dengan penghormatan dan penegakan HAM secara mutlak berarti demokrasi tersebut hanya sebatas retorika. Dengan kata lain, dengan tidak adanya kebebasan beragama, berkeyakinan dan beribadah akan memupuskan harapan terhadap pemenuhan hak-hak sipil dan politik, ekonomi, sosial maupun budaya. Negara seharusnya bertindak tegas dalam upaya melindungi kebebasan beragama semua kelompok berdasarkan konstitusi dan deklarasi umum PBB tentang HAM. Termasuk segera mengevaluasi dan mencabut semua peraturan yang tidak obyektif dan diskriminatif seperti SKB 2 menteri tentang pendirian rumah ibadah, perda-perda di tingkat daerah yang bias SARA dan mengoptimalkan kinerja aparat penegak hukum semisal kepolisian untuk bekerja dengan wawasan HAM. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun