Mohon tunggu...
Rosalia Fergie Stevanie
Rosalia Fergie Stevanie Mohon Tunggu... Penulis - penulis

Dunia Tanpa Sekat

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Melirik Payung Tradisional, 'Cantik Nian Aset Kita!'

15 September 2015   09:19 Diperbarui: 15 September 2015   09:37 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Festival Payung Indonesia 2015 di Taman Balekambang, Solo, telah berakhir pada minggu sore (13/9). Namun demikian, ajang budaya yang digelar sejak tahun 2014 ini nyatanya sukses membawa sejumlah fenomena menarik. Antusiasme ribuan pengunjung sejak hari pembukaan tidak hanya ditumpahkan oleh warga Solo saja, tapi juga pengunjung dari berbagai daerah. Bahkan kontribusi para peserta festival payung bertajuk “Umbrella Reborn” ini sangat beragam, terutama dari sejumlah negara tetangga seperti Tiongkok, Thailand, dan Jepang.

Fenomena budaya pada festival payung di musim panas memang bisa dikatakan luar biasa membludak. Langkah kaki ribuan pengunjung memadati ruang publik yang berhias keragaman payung fantasi. Bahkan memasuki tenggat waktu penutupan, sudah tak ada lagi ribuan payung bermotif yang dapat dijual-belikan. Akhirnya para pengunjung yang baru saja tiba dari luar kota Solo harus rela mereguk rasa kecewa. Pasalnya, ribuan payung ludes terjual sehingga seluruh stand termasuk stand workshop mulai tutup lapak sejak minggu siang.

Satu lagi bagian menarik dari festival payung 2015 ini yaitu pertemuan budaya modern dengan tradisi payung tradisional. Adapun setiap pengunjung tidak luput memegang kamera, dalam bentuk apapun itu. Di satu sisi, tiap peserta festival tidak terlepas dari genggaman payung sebagai atribut budayanya. Maka antara kamera dan payung, yang selama ini tak pernah memiliki relasi khusus, pada akhirnya dipertemukan. Sebab, menurut seorang warga Solo, kesuksesan festival payung tradisional turut didongkrak oleh puncak ketertarikan berfoto selfie,”Kapan lagi bisa mengabadikan momen berfoto dengan background aneka payung cantik berwarna-warni?”.

Kesempatan berfoto juga mencapai titik paling meriah pada saat peserta karnaval payung tradisional bergerak dari stadion Manahan menuju panggung utama festival di tengah Taman Balekambang. Sebagian pengunjung yang berdiri di sisi-sisi jalan tak segan menghadang gerak langkah para peserta. Mungkin sedikit waktu berselfie akan sangat berarti untuk menantikan festival payung di tahun 2016 mendatang.

 

Khasanah Payung Bagi Pariwisata-Budaya

Salah satu citra yang kini patut diapresiasi dari kota Solo adalah pengembangan diri sebagai kota pariwisata yang berbasis budaya lokal. Kota ini seakan tak pernah sepi dari gagasan-gagasan baru untuk menghelat beragam event kebudayaan pada ruang-ruang publik yang spesial. Dan salah satunya adalah festival payung tradisional oleh Mataya Arts and Festival.

Memaknai payung sebagai suatu bentuk benda yang bernilai seni serta membawa misi budaya telah mendasari kreativitas para pengrajin sejak ratusan tahun lalu. Negara-negara Asia secara khusus Tiongkok dan Jepang, mengkreasikan payung mereka lebih cantik daripada fungsinya secara umum, agar benda tersebut dapat menjadi simbol budaya bahkan ketika musim panas. Hal ini tentu tidak jauh berbeda dengan Indonesia. Itulah mengapa, payung-payung unik di ajang Festival Payung Tradisional sukses menarik mata pengunjung, dan akhirnya terjual habis.

Mungkin saat ini payung yang dibeli hanya bisa digunakan sebatas penghias ataupun penampik terik matahari. Tapi dibalik kepentingan apapun itu dari sisi pengunjung, lagi-lagi terselip mata kesuksesan pariwisata-budaya Solo. Kontribusi pariwisata-budaya bisa lebih daripada modal pariwisata monoton yang selama ini ditekankan pada sejumlah bangunan atau atraksi berulang. Dalam wujud paling sederhana, terdapat pemahaman mendalam tentang satu saja“benda” yang mengandung filosofi budaya, lantaran menimang cerita ratusan tahun dari berbagai penjuru dunia.

Pada akhirnya, konsep pariwisata-budaya dalam Festival Payung Tradisional tidak hanya membuka kesempatan untuk bertukar filosofi payung antar-daerah, tapi juga antar-negara. Mulai dari agenda workshop hingga karnaval, atribut legendaris tersebut telah menjadi mata rantai pariwisata-budaya yang cukup sukses menarik hati wisatawan lokal maupun mancanegara. Dan tentu masyarakat akan kembali merindukan festival cantik ini pada tahun 2016 mendatang!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun