Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sentimentalitas vs Relasi yang Terus-Menerus

1 September 2018   06:00 Diperbarui: 1 September 2018   23:50 538
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
mosaiccommunitychurch.net

Beberapa penafsir memberikan usulan bahwa sebaiknya kita menafsirkan larangan Yesus di sini dengan konsep bahwa Yesus sebetulnya adalah “mayat”. Menyentuh mayat adalah sebuah tindakan yang najis dalam budaya Yahudi. Lagi-lagi penafsiran ini gugur ketika kita membaca perikop-perikop sesudahnya di mana Yesus meminta Tomas menyentuh tubuh-Nya. Bukankah tindakan itu akan membuat Tomas menjadi najis?

Karena itu saya yakin jawaban atas pertanyaan “mengapa Yesus melarang Maria untuk memegang Dia?” sudah ada di teks ini, tepatnya di ayat 17-18. Ketika kita mencoba menempatkan diri kita pada diri Maria, maka kita akan mengerti hal ini. Maria menemani Yesus sampai mati. Ia tentunya mengalami dukacita yang mendalam. Begitu hari pertama setelah Sabat tiba, ia sudah cepat-cepat ingin bertemu. Meskipun mungkin hanya bisa melihat mayat-Nya saja. Atau mungkin bahkan hanya sampai di luar kubur-Nya saja. Faktanya, ia bertemu dengan Yesus. Jauh melebihi ekspektasinya.

Sehingga ketika Yesus berkata “Janganlah memegang Aku”, apakah Dia sedang mengasihi Maria? Bukankah Yesus seharusnya membiarkan Maria memegang-Nya sebagai ekspresi kebahagiaan? Mengapa Yesus langsung menyuruh Maria berhenti melakukan tindakan memegang diri-Nya? Ini sebetulnya merupakan ungkapan kasih yang lebih besar, melebihi sekadar sentimentalitas. Inti yang mau disampaikan dalam gestur ini adalah bahwa sebuah relasi yang bertahan lama adalah lebih baik daripada sekadar perasaan sentimental.

Orang yang perasaannya menggebu-gebu belum tentu cintanya besar untuk kita. Banyak pria terbukti memiliki cinta yang besar, sampai bisa dibagi ke beberapa wanita sekaligus. Perasaan yang besar tidak identik dengan cinta yang besar. Dan saya akan menunjukkan empat bukti cinta Yesus kepada Maria, dan juga kepada kita sebagai murid-murid-Nya.

Pertama, menepati janji-Nya (Yoh. 16:19; 20:18). Kalau kita mengasihi orang lain, maka kita akan menepati janji terhadap orang itu. Yesus berjanji bahwa “... tinggal sesaat saja dan kamu tidak melihat Aku (mati) dan tinggal sesaat saja pula dan kamu akan melihat Aku (bangkit) ...” Walaupun murid-murid tidak paham tentang janji itu, tetapi Yesus tetap menepati janji-Nya. Jadi ketika Yesus bangkit dari antara orang mati dan Dia memperlihatkan diri kepada murid-murid-Nya (termasuk Maria), maka Dia telah menepati janji-Nya sebagai bukti bagi kasih-Nya.

Orang yang mengasihi berarti menepati janji. Kalau kita sudah terbiasa tidak mampu menepati janji-janji yang kecil, kita pasti tidak akan mampu menepati janji-janji yang besar. Orang yang mengasihi seharusnya sadar bahwa relasi yang bertahan lama lebih baik daripada sekadar perasaan sentimental dan dibuktikan melalui menepati janji.

Kedua, tinggal bersama dengan kita (ay. 17). Ketika Yesus berkata, “sebab Aku belum pergi kepada Bapa (naik ke surga)”, maksudnya adalah bahwa Maria tidak boleh hanya menyukai kehadiran-Nya secara fisik. Seolah-olah bagi Maria yang paling penting adalah kehadiran Yesus secara fisik. Yesus sudah memberikan janji bahwa ketika Ia naik ke surga, maka Roh Kudus akan diutus ke dalam dunia (16:5, 7). Itulah sebabnya bukan kebetulan jikalau setelah peristiwa di 20:17, Yesus menjumpai murid-murid-Nya dan mengatakan kalimat di ayat 22.

Maksudnya, yang terpenting bukanlah kehadiran Yesus secara fisik, melainkan kehadiran-Nya yang terus-menerus melalui Roh Kudus di dalam hati kita. Seandainya kita menjadi murid-murid Yesus di abad pertama, pasti kita menginginkan kehadiran Yesus secara fisik. Tetapi Yesus memberitahu murid-murid-Nya bahwa kalau Dia hanya secara fisik hadir bersama mereka, berarti Dia masih dibatasi oleh tempat. Jika Dia ada di Yudea, Dia tidak ada di Galilea. Walaupun tubuh kebangkitan-Nya memungkinkan Yesus untuk pindah ke beberapa tempat dengan cepat, tetapi kita tetap menangkap keterbatasan-Nya. Itulah sebabnya Dia menjanjikan kehadiran yang terus-menerus melalui Roh Kudus. Relasi yang bertahan lama/terus-menerus sungguh sangat jauh lebih baik daripada sekadar sentimentalitas karena bukan hanya dibuktikan melalui menepati janji, tetapi juga ada/tinggal terus-menerus.

Ketiga, menumbuhkan solidaritas walaupun mempertahankan perbedaan (ay. 17). Siapakah yang dimaksud “saudara-saudara-Ku” di sini? Saya yakin Yesus merujuk kepada murid-murid-Nya (20:18). Yesus tidak pernah menyebut murid-murid-Nya dengan sapaan seakrab ini. Biasanya Yesus selalu menempatkan diri-Nya sebagai Guru terhadap murid-murid-Nya. Bahkan, Yesus juga berkata “... Aku akan pergi kepada Bapa-Ku dan Bapamu, kepada Allah-Ku dan Allahmu." Perhatikan bahwa Yesus tidak berkata, “Aku akan pergi kepada Bapa kita dan Allah kita”. Hal ini menunjukkan bahwa Yesus tetap mempertahankan perbedaan dengan murid-murid-Nya. Karena relasi Yesus dengan Bapa berbeda dengan relasi kita kepada Bapa. “Allahku” yang dikatakan Yesus berbeda dengan “Allahku” yang kita katakan. Yesus secara hakikat adalah Allah. Jika kita menganggap Allah adalah Bapa kita, maka kita ada dalam sebuah relasi yang kolektif (anak-anak Allah), bukan relasi yang unik (Anak Allah) seperti yang Yesus miliki dengan Bapa.Walaupun perbedaan relasi ini dipertahankan, Pribadi yang ditunjuk tetap sama: Bapa-Ku dan Bapamu, Allah-Ku dan Allahmu. Walaupun ada perbedaan, tetapi selalu mau menumbuhkan solidaritas.

Saya prihatin karena kita seringkali lebih mementingkan perbedaan daripada kesamaan. Pertengkaran seringkali disebabkan karena ketidakcocokkan, ketidaksukaan, dan perbedaan-perbedaan lainnya. Kita memiliki banyak kesamaan untuk bisa bersatu (satu iman, satu Roh, satu baptisan, satu Tuhan) dibanding perbedaan untuk dipertengkarkan. Jika sentimentalitas selalu berbuahkan ketidakmauan untuk memahami orang lain, relasi yang terus-menerus justru menumbuhkan solidaritas tanpa meniadakan perbedaan.

Keempat, memercayakan sebuah tugas yang mulia (ay. 17). Maria diberi tugas untuk menyampaikan pesan kebangkitan dan kenaikan-Nya ke surga. Sebelum Yesus naik ke surga, Ia memberi tugas kepada Maria. Padahal kesaksian perempuan akan selalu dianggap remeh menurut budaya Yahudi kuno. Tetapi yang menarik adalah bahwa Yesus tetap memercayakan tugas itu kepada seorang perempuan. Itulah sebabnya jika ada orang yang menyangkal kebangkitan Yesus melalui argumen bahwa ini adalah karangan murid-murid-Nya, Ia harus berhadapan dengan fakta bahwa tuduhan itu tidak punya dasar. Jika murid-murid memang bohong dan mengarang cerita kebangkitan Yesus, saya menduga kemungkinan besar mereka tidak akan secara bodoh mengarang bahwa para perempuanlah yang menjadi saksi pertama dari kebangkitan Yesus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun