Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Jika Allah Ada, Mengapa Kejahatan Terjadi?

18 Agustus 2018   19:39 Diperbarui: 25 Agustus 2018   18:42 1803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika orang mengklaim bahwa kejahatan adalah sebuah ilusi, saya berpikir ini merupakan permainan yang adil untuk bertanya kepada mereka apakah mereka mengunci pintu depan rumah mereka pada malam hari. Apakah mereka meninggalkan kunci mobil pada kunci kontak ketika mereka memarkir mobil di pusat kota? Apakah mereka memasang sabuk pengaman dalam kendaraan? Apakah mereka pergi ke dokter gigi? Apakah mereka mengenakan pelampung kepada anak kecil mereka ketika mereka berenang di laut? Apakah mereka memperingatkan anak-anak mereka untuk tidak terlalu dekat dengan api pada saat mereka memasak? Apakah mereka mendukung hukum yang menentang  pedofilia? Jika kejahatan hanya sebuah ilusi, maka hal-hal demikian benar-benar tidak perlu dan harus tidak menjadi masalah bagi siapa pun.

Menyangkal bahwa kejahatan ada tidak menghilangkan realitanya. Penjelasan mengenai kejahatan semacam ini sendiri merupakan bentuk pemikiran delusi yang terburuk. Yesus benar-benar percaya kepada realita kejahatan. Di dalam Doa Bapa Kami, Ia tidak mengajarkan kita untuk berdoa, “Lepaskanlah kami daripada ilusi kejahatan,” tetapi “Lepaskanlah kami dari yang jahat.”

Menerima pandangan Christian Science yang mengatakan bahwa kejahatan adalah sebuah ilusi membuat kita harus menyangkal indra dan pengalaman pribadi kita sendiri. Sangat perlu diperhatikan bahwa Alkitab sering mengingatkan kita untuk memperhatikan bukti-bukti empiris dengan menggunakan lima indra kita. Yesus memberi tahu Tomas si peragu itu untuk mencucukkan jarinya ke dalam luka penyaliban Tuhan Yesus sebagai cara untuk membuktikan kepada Tomas bahwa memang Yesus benar-benar telah bangkit dari kematian (lihat Yohanes 20:27). Dalam Lukas 24:39 dicatat bahwa Yesus yang bangkit memberi tahu para pengikut-Nya, “Lihatlah tangan dan kaki-Ku. Inilah Aku! Sentulah Aku dan lihat; hantu tidak memiliki tubuh dan tulang, seperti yang engkau lihat mengenai Aku.” Kita membaca dalam 1 Yohanes 1:1 bahwa Yohanes dan para murid berbicara “apa yang telah kami dengar, di mana kami telah melihat dan tangan kami telah menyentuh-ini kami beritakan mengenai Firman hidup” (NKJV). Indra yang sama yang begitu yakin bersaksi tentang Yesus yang bangkit, bersaksi pula akan realita kejahatan di dalam dunia kita; bukan hanya kepada beberapa orang, namun secara universal dan di sepanjang masa.

Dapatkah panteisme zaman baru (new age pantheism) menjelaskan kejahatan?

Ronald Rhodes - salah satu kontributor dari buku Who Made God - menulis demikian, “Saya memiliki teman, Jim, yang telah membaca beberapa buku saya mengenai apologetika dan gerakan Zaman Baru. Suatu hari ia terkena penyakit tertentu dan pergi ke dokter yang telah merekomendasikan untuknya. Hampir setengah pemeriksaan, Jim mulai mencurigai bahwa dokternya mungkin seorang penganut praktik penyembuhan Zaman Baru (New Age Medicine). Jadi Jim yang tidak tahu apa-apa terjerembab di dalam situasi seperti itu tiba-tiba bertanya, “Apakah Anda Allah?” Dokter tersebut dengan bersemangat menjawab, ‘Ya memang, dan Anda juga dan setiap orang lain-nya juga.’ Jim keluar dari kantor itu bagaikan kilat.”

Panteisme adalah pandangan bahwa Allah adalah semua dan semua dan semua adalah Allah. Kata panteisme datang dari dua kata Yunani—pan (“semua”) dan theos (“Allah”). Dalam panteisme semua realita dipandang sebagai sesuatu yang melebur dengan yang ilahi. Allah panteisme adalah impersonal, “sesuatu” yang amoral dan bukan “Ia” yang personal dan memiliki moral seperti apa yang digambarkan kekristenan. Perbedaan antara Pencipta dan ciptaan sepenuhnya hilang dalam pandangan ini.

Jika benar bahwa “semua adalah satu” dan “semua adalah Allah,” seperti yang dipegang oleh pengikut Zaman Baru, perbedaan antara baik dan jahat pastilah hilang. Penganut Zaman Baru David Spangler menegaskan bahwa etika Zaman Baru “tidak didasarkan atas...konsep dualistik dari ‘baik’ dan ‘jahat’.” Tidak ada kesalahan moral absolut dan tidak ada kebenaran moral absolut. Segala sesuatu adalah relatif. Tentu, para filsuf telah lama menunjukkan kelemahan filosofis dari pandangan semacam ini, karena hal ini sama dengan mengatakan bahwa ini merupakan kebenaran absolut di mana tidak ada kebenaran absolut. Ketika para penganut Zaman Baru memberitahu saya bahwa tidak ada keabsolutan, saya sering bertanya kepadanya apakah orang tersebut secara absolut yakin mengenai hal itu.

Masalah utama dengan cara pandang panteistik Zaman Baru adalah bahwa pandangan tersebut gagal untuk cukup berurusan dengan keberadaan kejahatan yang rill di dalam dunia. Jika Allah adalah esensi dari segala bentuk di dalam ciptaan, seseorang harus menyimpulkan bahwa baik jahat maupun baik muncul dari esensi yang sama pula (yaitu Allah). Dengan kata lain, hal-hal seperti Perang Dunia I dan II, Hitler, pembunuhan, penyakit kanker, pemerkosaan, dan manifestasi kejahatan lainnya adalah bagian dari Allah.

Alkitab secara kontras mengajarkan bahwa Allah itu baik dan bukan jahat (lihat 1 Tawarikh 16:34; Mazmur 118:29; 136:1; 145:8-9; Matius 19:1). Allah Alkitab adalah terang, dan “di dalamnya tidak ada kegelapan sama sekali” (lihat 1 Yohanes 1:5; Habakuk 1:13; Matius 5:48). 1 Yohanes 1:5 berbicara kuat sekali dalam bahasa Yunaninya, yang secara literal dapat diterjermahkan menjadi: “Dan kegelapan tidak ada di dalam-Nya, tidak ada dalam bentuk apa pun.” Yohanes tidak dapat mengatakannya dengan lebih keras lagi.    

Dalam bagian yang sama Rhodes melanjutkan, “Saya berkesempatan untuk berbicara dengan mantan guru Rabi Maharaj, dan ia berbicara panjang lebar mengenai ketidakpuasan etis yang ia rasakan mengenai cara pandang monistik dan panteistik, terutama berkenaan dengan masalah kejahatan. Kesadaran saya yang semakin tinggi akan Allah sebagai Pencipta, terpisah dan berbeda dari alam semesta yang Ia ciptakan, bertentangan dengan konsep Hindu bahwa Allah adalah segala sesuatu, dan bahwa Pencipta dan ciptaan adalah satu dan sama. Jika hanya ada Satu Realita, maka [Allah] adalah kejahatan dan juga kebaikan, kematian dan juga kehidupan, kebencian dan juga kasih. Itu membuat segalanya menjadi tidak berarti, hidup sebagai suatu yang absurd. Tidaklah mudah untuk tetap menjaga kewarasan seseorang maupun pandangan bahwa kebaikan dan kejahatan, kasih dan kebencian, hidup dan mati adalah Satu Realita. Rabi membuat satu-satunya pilihan logis dan menjadi seorang Kristen!”

Apakah kita membuat sendiri realita kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun