Sebagian orang Kristen sering kali menekankan pekerjaan-pekerjaan Roh Kudus dengan berapi-api, tetapi tanpa pengertian yang benar. Bahkan pengamatan yang serius dan teliti terhadap mereka menunjukkan hal yang memprihatinkan. Penekanan terhadap karya Roh Kudus hanya berkutat pada hal-hal yang bersifat egosentris (berpusat kepada diri sendiri). Yang ditekankan adalah bagaimana Roh Kudus memberi kita sukacita, kekuatan, dan semua yang kita perlukan. Dalam taraf tertentu, Roh Kudus memang dapat melakukan itu semua. Namun, adalah sebuah sikap yang sangat egosentris bila karya Roh Kudus hanya dikagumi sebatas menghibur dan menyenangkan diri kita sendiri.
Selain egosentris, sebagian orang Kristen juga sering menekankan karya-karya Roh Kudus yang tidak bisa diverifikasi, yaitu pengalaman-pengalaman mistis di dunia roh. Misalnya petualangan ke surga atau neraka, berbagai penglihatan, dan bisikan Roh. Apakah kita bisa memverifikasi kebenaran dari hal-hal semacam itu? Apakah kita bisa meminta rekaman bisikan roh kepada orang yang bersangkutan? Apabila ada orang yang mengaku baru pulang dari neraka atau surga, apakah dia bisa menunjukkan bukti boarding passnya?
Namun yang paling mengkhawatirkan adalah penekanan pekerjaan Roh Kudus tanpa mengaitkannya dengan karya Kristus di kayu salib, kebangkitan-Nya, dan kenaikan-Nya ke surga. Pembacaan yang tuntas terhadap artikel ini membuat kita memahami bahwa apabila tidak ada karya Kristus yang sempurna, maka tidak akan ada karya Roh Kudus di dalam hidup kita. Itulah sebabnya, berbicara tentang Roh Kudus tidak bisa dipisahkan dengan pembahasan tentang Kristus.
Hari ini kita akan mempelajari karya Roh Kudus yang tidak egosentris. Karya Roh Kudus yang bisa diverifikasi. Karya Roh Kudus yang berkaitan dengan karya Kristus, yaitu Roh Kudus sebagai Parakletos. Saya akan mengupas sisi lain dari karya Roh Kudus yang tidak kalah hebatnya. Berbeda dengan fenomena modern yang sulit untuk diverifikasi kebenarannya, karya Roh Kudus yang akan kita pelajari hari ini bersifat lebih pasti dan bisa diukur. Berbeda dengan fenomena sekarang yang cenderung memisahkan karya Roh Kudus dari kematian dan kebangkitan Kristus, Yohanes 16:4b-11 mengajarkan keterkaitan yang tidak terpisahkan.
Persiapan untuk sebuah perpisahan (ayat 4b-6)
Bagian ini termasuk dalam khotbah-khotbah perpisahan Yesus (Yoh. 13-17) atau Farewell Discourse sebelum Ia ditangkap dan disalibkan (Yoh. 18-19). Selama masa persiapan ini Yesus memberitahukan apa yang akan terjadi sesudah Ia naik ke sorga. Semua ini dimaksudkan sebagai persiapan bagi murid-murid untuk meneruskan tugas Yesus di bumi (20:21). Karena nanti Ia akan pergi kepada Bapa, maka murid-murid akan meneruskan pekerjaan-Nya (15:26-27).
Di tengah-tengah persiapan ini, Yesus berbicara tentang satu hal. LAI:TB mengawali ayat 4b dengan dua kata: "hal ini". Frasa itu berbentuk jamak dalam teks Yunani (tauta: hal-hal ini), begitu juga NET/KJV/RSV (these things). Salah satu topik yang disinggung oleh Yesus adalah penganiayaan yang akan menimpa murid-murid-Nya di kemudian hari. Kata "tauta" di 16:4b merujuk balik pada ancaman penganiayaan di 15:18-16:4a. Dengan kata lain, seolah-olah Yesus mengatakan, "Hal ini/penganiayaan ini tidak Kukatakan kepadamu dari semula," Mengapa? Bukan berarti Ia menghindari berbicara tentang penganiayaan supaya pengikut-Nya tetap bertahan, melainkan karena Ia masih bersama mereka (ay. 4b). Ketika sesaat lagi Yesus akan meninggalkan mereka, maka Ia perlu bicara tentang penganiayaan.
Dengan kata lain, murid-murid memang akan mengalami ancaman dan penganiayaan sesudah Yesus naik ke sorga. Yesus sengaja tidak membicarakan hal ini di awal pelayanan-Nya, karena selama Ia masih bersama-sama mereka, fokus serangan lebih diarahkan pada Yesus (15:18, 20). Sehingga penganiayaan yang akan dialami murid-murid-Nya, tidak akan melebihi penganiayaan yang dialami oleh Yesus sendiri. Selama Yesus masih bersama dengan murid-murid, yang dijadikan target serangan adalah diri-Nya sendiri.
Lebih jauh, selama Yesus bersama dengan mereka, Ia tetap menjaga mereka (17:12). Contoh konkret tentang hal ini adalah perlindungan yang Ia berikan kepada murid-murid-Nya pada waktu Ia ditangkap (18:8-9). Setelah kepergian-Nya ke sorga, situasi akan berubah. Murid-murid akan sendirian. Murid-murid tidak akan bersama dengan Yesus. Murid-murid-Nya akan menjadi target serangan, penindasan, dan penganiayaan. Yesus tidak akan bersama mereka lagi di dunia. Pada saat itulah mereka perlu mendengar tentang penganiayaan.
Bagaimana dengan kita? Seandainya orang yang kita kasihi - yang selalu memberikan solusi atas masalah kita - meninggalkan kita, bahkan juga meninggalkan berita bahwa penganiayaan sudah menanti di ujung jalan. Bagaimana respons kita menghadapi situasi yang tidak mengenakkan ini?
Mendengar perkataan Yesus, murid-murid-Nya mengalami kebingungan dan kesedihan. Kebingungan mereka terlihat dari kegagalan mereka untuk menanyakan ke mana Yesus akan pergi (16:5b). Dalam beberapa kesempatan sebelumnya, baik Petrus (13:36) maupun Tomas (14:4-6) sudah menanyakan tujuan kepergian Yesus. Tidak ada jawaban yang jelas dari Yesus, kecuali teguran kepada dua murid tersebut (13:38; 14:6-7). Ketika Yesus memberitahukan lagi tentang kepergian-Nya, tidak ada seorang pun yang menanyakan tujuan kepergian Yesus seperti yang mereka lakukan sebelumnya. Mungkinkah kebingungan begitu menguasai mereka sehingga mereka memilih untuk diam? Ataukah mereka sudah menebak bahwa jawaban Yesus akan sama membingungkannya dengan dua jawaban sebelumnya? Apakah konsep populer Yahudi tentang figur mesias secara politis begitu menguasai pikiran murid-murid sehingga mereka sulit mencerna maupun menerima perkataan Tuhan Yesus tentang kematian di kayu salib dan kepergian-Nya ke sorga? Kemungkinan manapun yang benar, kita sulit menyangkal bahwa murid-murid sedang berada dalam kebingungan.