Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Yesus Kristus Harus Mati?

16 Agustus 2018   18:51 Diperbarui: 16 Agustus 2018   18:55 1734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Penebusan dosa (rekonsiliasi antara Tuhan dan umat manusia) berakar di dalam kasih dan keadilan Allah: kasih menawarkan jalan keluar bagi orang-orang berdosa, dan keadilan menuntut dipenuhinya persyaratan hukum." -Louis Berkhof, Summary of Christian Doctrine

"Penebusan dosa berada di pusat iman Kristen. Kristus telah mati menggantikan kita, menjadi objek murka Allah dan kutukan hukum, dan menebus keselamatan bagi semua orang percaya." -John Jefferson Davis, Handbook of Basic Bible Texts

Kekristenan adalah agama, bukan sebagai buku panduan, namun sebuah penyelamatan ilahi. Alkitab adalah buku yang berisi sejarah keselamatan, dengan pesan utamanya adalah bahwa Allah Putra datang ke bumi dalam pribadi Yesus Kristus untuk menyelamatkan manusia yang berdosa dari murka Allah Bapa yang adil. Dengan demikian, Injil mengungkapkan bahwa manusia diselamatkan oleh Allah dan dari Allah. Injil juga mengungkapkan bahwa keselamatan hanya disediakan melalui kematian Yesus Kristus di atas kayu salib. Jadi, salib Kristus adalah "crux" dari agama Kristen ("crux" dalam bahasa Inggris berarti "titik penting", tetapi dalam bahasa Latin berarti "salib").

Untuk memahami penebusan dosa, kita harus terlebih dahulu memahami kondisi manusia yang berdosa dan murka Allah yang setimpal terhadap dosa. Tanpa dosa, tidak ada murka Allah. Tanpa murka Allah, tidak ada yang perlu diselamatkan. Saya berulang kali menegaskan bahwa Injil tidak akan pernah menjadi kabar yang sungguh-sungguh amat baik tanpa kesadaran bahwa kita adalah manusia yang sungguh-sungguh amat buruk. Tidak ada kabar baik tanpa kabar buruk. Sulit membayangkan pemberitaan Injil dapat dengan benar dilakukan tanpa membahas kabar buruk bahwa manusia berada dalam murka Allah. Steven Lawson dalam akun Twitternya pernah menulis, "To those who preach: to proclaim grace without addressing sin is like a doctor who never wants to talk about or treat disease."

Apabila manusia tidak tahu bahwa mereka berada dalam keadaan yang buruk, maka tidak akan ada kabar yang menurut mereka baik. Kasih tidak akan pernah menjadi kasih tanpa keadilan. Kecuali kita menyadari bahwa diri kita sedang berada dalam bahaya murka Allah, maka kita tidak akan pernah mengerti betapa besarnya karya kasih Allah untuk kita. Tidak mungkin kita bisa memberitakan Injil tanpa kita tahu betapa seriusnya dampak yang diakibatkan karena dosa. Konteks yang penting ini membuat makna kematian Yesus di kayu salib jauh lebih mudah dipahami.

Dosa ditelanjangi

Menurut Alkitab, kebutuhan seseorang untuk mendapatkan keselamatan berasal dari kenyataan bahwa ia adalah orang berdosa. Namun, hal ini segera memunculkan beberapa pertanyaan penting tentang dosa. Misalnya, seperti apa dosa itu? Dari manakah asalnya? Alkitab menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis tentang sifat, asal, jenis, efek, dan luasnya dosa.

Apakah dosa itu?

Intinya, dosa adalah pernyataan tentang otonomi spiritual (kemerdekaan yang dinyatakan, bahkan dari Allah), atau pelanggaran yang dilakukan terutama terhadap Allah (Mzm. 51:4-6), meskipun juga dilakukan terhadap manusia. Alkitab menggunakan sejumlah istilah Ibrani dan Yunani untuk menggambarkan berbagai aspek dan nuansa dosa. Namun, istilah yang paling terkenal adalah "hata" dalam bahasa Ibrani, dan "hamartia" dalam bahasa Yunani. Umumnya semua itu menggambarkan dosa sebagai kehilangan tanda yang ditetapkan oleh Allah, tersesat dari Allah, dan secara aktif memberontak melawan Allah.

Penyimpangan dari Allah yang disengaja dilakukan oleh manusia ini sering mengambil bentuk tertentu, yaitu melanggar perintah Allah (Rm. 2:12-14; 4:15; 5:13; Yak. 2:9-10; 1Yoh. 3:4). Karena hukum moral yang diungkapkan di dalam Kitab Suci merupakan perpanjangan dari karakter Allah yang kudus dan benar, maka pelanggaran hukum-Nya merupakan sebuah penghinaan terhadap Allah sendiri. Sehubungan dengan hal ini, dosa mungkin sepatutnya didefinisikan sebagai sesuatu (termasuk tindakan, sikap, dan sifat) yang bertentangan dengan karakter moral dan perintah Allah. Cara-cara lain yang mengacu pada dosa mencakup ketidakbenaran (Mzm. 51:4-6), kefasikan (Rm. 8:7), dan pelanggaran hukum (1Yoh. 3:4).

Dari mana datangnya dosa?

Dosa berasal dari kehendak makhluk ciptaan Allah. Iblis - setelah sebelumnya memimpin pemberontakan para malaikat melawan Allah (Yes. 14:12-20) - muncul sebagai ular di Taman Eden dan menggoda Adam dan Hawa untuk memakan buah dari pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat (Kej. 3:1-5). Mereka memberontak melawan Allah dengan meragukan firman-Nya dan melanggar perintah-Nya yang melarang mereka makan dari pohon tersebut (Kej. 2:16-17). Oleh karena itu, manusia pertama menyalahgunakan kebebasan mereka dengan tidak menaati Pencipta mereka. Adam dan Hawa berdosa dengan melakukan apa yang mereka inginkan (otonomi), bukan apa yang Allah inginkan (Kej. 3:6).

Dua jenis dosa apa yang disebutkan di dalam Alkitab?

Dosa asal: Sementara beberapa perbedaan penting tentang doktrin dosa asal terdapat di antara berbagai tradisi teologi di kalangan umat Kristen, pembahasan berikut memberikan perspektif alkitabiah yang telah diterima secara luas.

Adam, dalam hubungannya dengan Allah, bukan hanya sebagai individu tersendiri. Ia tidak saja berperan sebagai manusia pertama, tetapi juga mewakili manusia. Ia mencakup seluruh umat manusia dalam kovenan antara dirinya dan Allah, yang sering disebut sebagai perjanjian kerja. 

Allah memilih, sebagai bagian dari perjanjian ini, untuk menganggap perbuatan Adam (baik dalam ketaatan atau ketidaktaatan) sebagai wakil dari semua perbuatan manusia. Dengan kata lain, ketika Adam ditempatkan di taman, ia bertindak atas nama seluruh umat manusia. Maka dari itu, ketika Adam tidak menaati Allah, maka bukan hanya Adam yang tak lagi mendapatkan perkenan Allah, melainkan juga semua keturunannya.

Dosa dan rasa bersalah menjalar dari kejatuhan Adam ke semua keturunan Adam (Rm. 5:12; 18-19). Jadi, melalui Adam, semua orang menjadi berdosa dan bertanggung jawab secara moral kepada Allah. Dengan demikian, dosa asal, sebagaimana didefinisikan oleh teolog John Jefferson Davis, mengacu pada "dosa, rasa bersalah, dan kerentanan terhadap kematian yang diwarisi oleh semua manusia (kecuali Kristus) dari Adam (Mzm. 51:7; 58:4; 1Kor. 15:22; Ef. 2:3).

Doktrin dosa asal juga menyiratkan bahwa semua keturunan Adam dikandung dalam dosa dan mewarisi sifat dosa. Suatu kekuatan yang sangat melemahkan dan meresap ke dalam inti keberadaan orang (Mzm. 51:7; 58:4; Ams. 20:9). Akibatnya, manusia tidak menjadi pendosa hanya karena kebetulan berdosa, tetapi ia berdosa karena naturnya adalah pendosa. Sifat yang mendasari dosa menghasilkan dosa-dosa tertentu. Oleh sebab itu, masalah dosa harus dianggap sebagai kondisi ketimbang hanya sebagai serangkaian perbuatan yang spesifik.

Dosa pribadi: Berbagai macam perbuatan dosa dan kegagalan untuk berbuat benar inilah yang merupakan dosa pribadi. Dosa-dosa tersebut berbeda tetapi tetap menurun dari natur dosa warisan, yang berasal dari dosa asal Adam (1Raj. 8:46; Ams. 20:9; Rm. 3:23; 1Yoh. 1:8). Semua orang melakukan dosa-dosa seperti itu dalam pikiran, ucapan, dan perbuatan (secara sengaja ataupun tidak sengaja).

Apa dampak dosa pada manusia?

Pertama-tama dan yang terpenting, menurut Alkitab, dosa secara negatif memengaruhi hubungan seseorang dengan Allah. Dosa menghasilkan ketidakselarasan dan pemisahan. Namun, dosa juga memengaruhi hubungan dengan diri sendiri, dengan orang lain, dan sampai pada batas tertentu bahkan dengan alam. 

Seperti disebutkan sebelumnya, dosa bukan hanya kebiasaan buruk. Sebaliknya, sebagaimana dijelaskan oleh teolog John Stott, dosa adalah sebuah kebusukan yang mendalam di dalam hati. Natur keberdosaan menghasilkan kebutaan rohani, perbudakan kerusakan moral, kekerasan hati, pelanggaran hukum, dan selanjutnya kematian fisik dan rohani (Rm. 1:18-22; 5:10; 6:17; 7:14-15; 8:7; 2Kor. 4:4; Ef. 2:1-3; 4:11-19). Dosa memang mengasingkan manusia dari Allah dan mengakibatkan hubungan yang bermusuhan dengan Sang Pencipta. Karena dosa, manusia menjadi objek yang layak dihakimi oleh Allah, yaitu oleh murka-Nya yang kudus.

Seberapa besarkah jangkauan dosa?

Dosa bersifat universal dan memengaruhi setiap manusia (Mzm. 143:2; Pkh. 7:20; Yer. 17:9; Gal. 3:22; Yak. 3:2; 4:4). Natur dosa yang diwariskan Adam ini berada pada inti (batin) manusia (Yer. 17:9; Mat. 15:19), memengaruhi seluruh pribadinya, termasuk pikiran, kehendak, kasih sayang dan tubuh manusia (Ef. 2:3; 4:17-19). 

Jadi, manusia benar-benar rusak akhlaknya. Doktrin kerusakan moral total ini tidak berarti bahwa manusia benar-benar atau sama sekali jahat, tetapi berarti bahwa manusia sepenuhnya berdosa (dosa telah memengaruhi seluruh keberadaan mereka). Kerusakan moral ini tidak memungkinkan manusia untuk mendapatkan perkenan Allah (Yer. 17:9; Yoh. 5:42; 6:44; Rm. 7:18; 1Kor. 2:14; Tit. 1:15). Meskipun orang yang berdosa secara moral mampu melakukan beberapa perbuatan baik (di bawah pengaruh kebaikan Allah), natur dosa membuat mereka tidak mampu hidup dengan cara-cara yang benar-benar berkenan kepada Allah.

Mengingat kondisi manusia yang berdosa dan karakter Allah yang kudus dan benar (Ul. 32:4; Mzm. 98:9; Yes. 6:3), manusia tidak akan bisa mengelak dari murka Allah yang benar-benar adil (Rm. 1:18; Ef. 2:3). Allah yang adil harus menghukum orang berdosa dan meminta pertanggunganjawab atas dosa-dosanya. Namun, di tengah-tengah keadaan putus asa manusia karena murka penghakiman ilahi, Allah turun tangan dan menyediakan jalan keluar.

Penyelamatan ilahi

Allah dengan kasih dan belas kasihan-Nya yang tak terbatas memberikan jalan bagi manusia yang berdosa untuk menghindari hukuman kekal, dan itu hanya terjadi dalam diri Yesus Kristus (Yoh. 14:6; Kis. 4:12). Keselamatan dapat dicapai dengan bertobat (berpaling) dari dosa dan percaya (memiliki keyakinan teguh) bahwa Yesus Kristus adalah Mesias yang ilahi, bahwa Ia mati di kayu salib sebagai kurban penebusan dosa, dan bahwa Ia bangkit secara fisik dari kematian (1Kor. 15:3-4). Keselamatan adalah hadiah langsung dan eksklusif dari kasih karunia Allah (kebaikan yang tidak layak diterima), yang hanya bisa dipahami melalui iman, dan yang sesungguhnya ditanggung oleh Yesus Kristus (Ef. 2:8-9).

Mengapa penebusan diperlukan?

Karakter Allah yang sangat kudus, benar, dan adil menunut Ia untuk menghukum orang-orang berdosa dengan tepat. Ia tidak dapat begitu saja mengampuni orang berdosa melalui sepatah kata karena keadilan-Nya yang tidak terbatas harus benar-benar dipenuhi. Sebaliknya, Allah menyatakan kasih setia-Nya dan memilih untuk menghukum seorang pengganti yang sepenuhnya memenuhi syarat sehingga memungkinkan orang-orang berdosa menerima belas kasihan-Nya. 

Pengganti yang menanggung murka ilahi untuk menggantikan orang-orang berdosa ini adalah Putra Allah sendiri yang berinkarnasi, yaitu Yesus Kristus. Penebusan manusia jelas ditanggung oleh Allah. Keputusan-Nya untuk menghukum Anak-Nya sendiri, dan bukan makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang tidak taat, menyatakan kasih Allah yang menakjubkan.

Di kayu salib, Yesus Kristus, yang rela menjadi pengganti, menjadi objek murka Allah yang setimpal terhadap dosa. Korban penebusan yang luar biasa ini sepenuhnya memuaskan keadilan Allah. Dengan memberikan kesempatan kepada manusia berdosa untuk menerima pengampunan yang tepat, kasih-Nya terwujud sepenuhnya.

Seperti banyak doktrin Kristen lainnya, penebusan mengandung misteri ilahi yang besar. Kebenaran tentang pengorbanan Kristus di kayu salib tak habis-habisnya dipikirkan oleh manusia. Beberapa metafora Alkitab berikut ini menggambarkan arti penebusan Krustus.

Hukuman yang digantikan oleh orang lain (penebusan)

Kristus mati sebagai ganti orang-orang berdosa (menderia keterasingan dari Allah untuk menggantikan kita). Namun, dalam proses ini, Ia menukarkan kebenaran-Nya (yang berasal dari menjalankan hukum dengan sempurna) dengan kejahatan kita (2Kor. 5:21). Sebagai pewaris-pewaris keselamatan, orang-orang Kristen menikmati pengampunan dosa mereka dan anugerah kebenaran Kristus, yang diberikan kepada mereka melalui iman (1Pet. 3:18). Pelopor reformasi Jerman yang bernama Martin Luther menyebut kematian dan penebusan Kristus sebagai "pertukaran yang agung".

Pendamaian

Tema dasar penebusan dalam Perjanjian Lama berpusat pada gagasan pendamaian. Gagasan ini terutama diungkapkan melalui dua cara: Pertama, dalam penderitaan bangsa Israel yang terang-terangan melanggar hukum Allah, membuat-Nya marah, dan patut untuk mati. Dalam beberapa kasus, khususnya di padang gurun, Allah memang membawa kematian kepada sebagian orang (Bil. 11:1, 10; 25:3-4), meskipun Ia mengecualikan bangsa Israel secara keseluruhan sebagai tanggapan atas mediasi Musa (Kel. 32:10-14; 30-35). Kejadian-kejadian ini menegaskan poin bahwa pada akhirnya dosa manusia harus dihukum.

Kedua, Allah menyediakan penebusan selubung bagi dosa-dosa manusia melalui pengorbanan darah hewan yang tahir (Im. 4:6; 16:1-34; 23:26-32). Pengorbanan-pengorbanan di dalam PL ini tidak benar-benar mengalihkan murka Allah, tetapi merupakan gambaran tentang pengorbanan final dan akhir yang kelak diberikan oleh Sang Mesias, yakni Yesus (Ibr. 9:11-14, 28; 10:1-14; 1Yoh. 2:1-2). Dengan mencurahkan darah-Nya sendiri di kayu salib, Yesus Kristus menanggung murka Allah yang ditujukan kepada orang-orang berdosa (Rm. 3:25).

Rekonsiliasi

Dosa menciptakan penghalang antara Allah dan manusia, dan sepenuhnya mengasingkan manusia dari Allah. Perseteruan dan permusuhan, yang memang sudah sepatutnya diperlihatkan Allah, menggambarkan hubungan itu. Alkitab mengacu pada orang-orang berdosa sebagai musuh Allah dan sasaran murka-Nya yang kudus. Namun, kematian Kristus meredakan murka Allah dan merobohkan tembok antara manusia dan Allah (2Kor. 5:19). Kasih Allah bagi umat manusia diwujudkan, bahkan ketika kita masih berdosa (Rm. 5:9-10).

Penebusan

Menurut Alkitab, kekuatan dosa menguasai manusia di dalam cengkeramannya. Boleh dikatakan, manusia tersandera oleh dosa dan tidak dapat membebaskan dirinya sendiri. Mirip dengan kasus penculikan, kematian Yesus Kristus di kayu salib membayar harga tebusan untuk membebaskan manusia dari dosa, maut, dan Iblis (Mrk. 10:45; Ibr. 9:15). Korban penebusan Kristus membebaskan orang-orang yang ditawan oleh dosa.

Pembenaran

Sebagai pelanggar-pelanggar tetap hukum Allah yang sempurna, manusia bersalah di hadapan Sang Pencipta mereka yang kudus dan dihukum untuk terpisah selama-lamanya dari-Nya. Namun, Sang Hakim Ilahi membuat putusan dengan mempertimbangkan pengorbanan Yesus Kristus sebagai tebusan. Pembenaran itu mengacu pada tindakan yudisial (hukum) Allah yang membebaskan orang percaya dari kesalahan, dan membenarkan orang percaya itu di mata-Nya berdasarkan kebenaran sempurna yang diperhitungkan (dan berbeda) yang dimiliki oleh Yesus Kristus (Luk. 18:14; Kis. 13:39; Rm. 3:20, 23-24, 28; 5:1-2; Gal. 2:16; 3:24; Tit. 3:5, 7). Pernyataan ilahi tentang pembenaran ini secara eksklusif berasal dari kasih karunia Allah, melalui sarana iman manusia saja, dan semata-mata karena jasa Kristus.

Pembenaran berarti bahwa orang-orang yang percaya kepada Yesus telah dibayar lunas dari hukuman dosa. Allah tidak akan menanggungkan dosa-dosa kepada mereka. Orang-orang berdosa, melalui iman kepada Kristus, menerima status kebenaran di hadapan Allah sebagai anugerah. Ia kini memandang anak-anak-Nya sama seperti seolah-olah mereka tidak pernah berbuat dosa. Pembenaran oleh kasih karunia, melalui iman, karena karya penebusan Yesus Kristus di kayu salib, merupakan poin pusat ajaran Kristen yang bersejarah.

Meskipun pembenaran melibatkan perubahan status hukum seseorang di hadapan Allah (keberadaannya dibenarkan), pengudusan, secara khusus, adalah proses pembaruan moral batiniah (yang dibuat benar) seumur hidup, yang diprakarsai Roh Kudus.

Adopsi

Karena dosa mencabut hak waris seseorang sebagai anak Allah, maka kita adalah hamba-hamba dosa, bukan anak-anak Allah. Namun, Alkitab menunjukkan bahwa kepercayaan seseorang di dalam Yesus Kristus membuatnya diangkat sebagai anak di dalam keluarga Allah (Yoh. 1:12; Rm. 8:15-16; Gal. 4:6; 1Yoh. 3:1). Orang-orang yang ditebus diberi status penuh sebagai anak-anak Allah dan karena itu menikmati semua hak istimewa yang diberikan kepada anak-anak Raja yang mahatinggi. Adopsi memberikan perspektif kekeluargaan mengenai karunia keselamatan Allah yang agung.

Yesus Kristus: solusi untuk masalah terbesar manusia

Kematian Yesus Kristus melalui penyaliban di tangan Pontius Pilatus adalah fakta sejarah yang benar-benar terbukti. Kematian-Nya merupakan pengorbanan bagi dosa manusia, sekali untuk selama-lamanya. 

Solusi untuk masalah terbesar manusia - dosa yang memisahkan manusia dari Allah - ditemukan dalam kehidupan yang sempurna, kematian sebagai korban, dan kebangkitan yang mulia dari Allah-manusia, Yesus Kristus. Orang Kristen dapat merasa terhibur, karena betapa pun besarnya dosa mereka, karunia keselamatan Allah dalam kematian Kristus yang menebus dosa benar-benar memadai dan kekal. Kasih Allah yang sempurna dan keadilan-Nya bersatu padu untuk menjumpai semua orang di dalam penebusan (1Yoh. 4:10).

Yesus tahu apa yang akan terjadi dan ia mau melaluinya, karena ini adalah satu-satunya cara menyelamatkan kita, dengan menjadi pengganti kita dan membayar hukuman mati yang patut kita terima karena pemberontakan kita terhadap Allah. Itu adalah misi-Nya ketika datang ke dunia. Semua ini bisa dirangkum dalam satu kata: "kasih".

Bacaan penting :

  • Alister E. McGrath, Intellectuals Don't Need God and Other Modern Myths (Grand Rapids: Zondrvan, 1993).
  • John R. W. Stott, Basic Christianity (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1980).
  • Louis Berkhof, Systematic Theology, edisi baru (aslinya diterbitkan dalam dua jilid, 1932 dan 1938; Grand Rapids: Eerdmans, 1996).
  • Bruce Milne, Know The Truth (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1982).
  • Wayne Grudem, Systematic Theology (Grand Rapids: Zondervan, 1994).
  • Robert L. Reymond, A New Systematic Theology of the Christian Faith (Nashville: Thomas Nelson, 1998).
  • Millard J. Erickson, Christian Theology, edisi ke-2 (Grand Rapids: Baker, 1998).
  • Charles Caldwell Ryrie, Ryrie Study Bible, edisi diperluas (Chicago: Moody, 1994), 2004-2005.
  • Louis Berkhof, Summary of Christian Doctrine (Grand Rapids: Eerdmans, 1938).
  • John Jefferson Davis, Handbook of Basics Bible Texts (Grand Rapids: Zondervan, 1984).
  • John Murray, Redemption: Accomplished and Applied (1995; repr., Grand Rapids: Eerdmans, 1975).
  • Leon Morris, The Atonement: Its Meaning and Significance (Downers Grove, IL: InterVarsity, 1983).
  • Thomas C. Oden, The Justification Reader (Grand Rapids: Eerdmans, 2002).
  • Anthony Hoekema, Saved By Grace (Grand Rapids: Eerdmans, 1989).
  • Leon Morris, The Apostolic Preaching of the Cross (Grand Rapids: Eerdmans, 1955. Dicetak kembali, 1992).
  • John Piper, Counted Righteous in Christ (Wheaton, IL: Crossway, 2002).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun