Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menghormati Orang Tua: Kesalehan yang Terlupakan

30 Juli 2018   22:22 Diperbarui: 2 September 2018   01:49 603
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi banyak orang, perintah untuk menghormati orang tua bukanlah sesuatu yang mudah untuk ditaati. Sebagian orang tidak pernah mengenal siapa orang tua mereka. Yang memiliki orang tua pun seringkali terasa tidak memilikinya. Sebagian lagi tidak mempunyai figur orang tua yang bisa dibanggakan. Ditambah dengan semangat zaman yang cenderung pada semangat anti-otoritas, perintah untuk menghormati orang tua terlihat menjadi semakin mustahil untuk dilakukan. Benarkah demikian? Adakah alasan untuk tetap menaati perintah ini? Marilah kita menyimak Keluaran 20:12 secara lebih teliti.

Keunikan perintah

Jika kita membaca pemberian Dasa Titah di Keluaran 20:1-20 secara saksama, kita dengan mudah akan menemukan beberapa hal menarik seputar perintah ke-5 (menghormati orang tua) ini. Yang paling kentara, perintah ini diletakkan di posisi paling awal pada deretan perintah yang mengatur relasi horizontal antar umat manusia (perintah ke-5 sampai ke-10). Peletakan ini jelas bukan kebetulan. Posisi terdepan menyiratkan keutamaan. Apalah artinya seseorang berhasil tampil baik di hadapan orang lain (tidak membunuh, tidak berzinah, tidak mencuri, tidak berdusta, dan tidak mengingini harta orang lain), namun ia menjadi anak yang gagal di dalam keluarganya?

Bukan hanya keutamaan, peletakan ini sekaligus menyiratkan pondasi. Orang yang sudah belajar menghargai otoritas di rumah akan mampu menghargai otoritas dan hak orang lain di luar rumah. Itulah sebabnya mereka yang benar-benar memiliki relasi yang sehat dan harmonis di dalam keluarga seringkali menjadi orang-orang yang saleh di dalam masyarakat.

Keluarga adalah permulaan pembentukan masyarakat yang bermoral (tidak mencuri, tidak membunuh, tidak berzinah, dst). Kebiasaan di dalam keluarga akan menciptakan kultur yang baik di tengah masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Situasi masyarakat akan bertambah buruk jika di dalamnya hanya berisikan orang-orang yang tidak tahu bagaimana caranya menghormati otoritas. Masa depan negara berada dalam bahaya besar.

Hal menarik kedua dalam perintah ke-5 ini adalah bentuk aktif yang digunakan (berbentuk perintah, bukan larangan). Dari semua Dasa Titah, perintah berbentuk positif ditemukan di perintah ke-4 (penutup dari relasi vertikal dengan Allah) dan perintah ke-5 (pembuka dari relasi horizontal dengan sesama). Walaupun sebuah “perintah” tidak lebih penting daripada sebuah “larangan”, tetapi bentuk aktif sendiri tetap menyiratkan sebuah keunikan. Umat TUHAN bukan hanya dituntut untuk secara pasif menghindari hal-hal tertentu yang merendahkan otoritas orang tua, tetapi mereka juga diminta untuk secara aktif melakukan sesuatu.

Hal menarik lain adalah penyebutan janji yang menyertai perintah ke-5. Di antara semua Dasa Titah, yang disertai dengan janji hanyalah perintah ini (“supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu”). Perintah ke-2 untuk tidak membuat patung atau gambar Allah sekilas mengandung sebuah janji (20:5-6), tetapi sebenarnya tidak demikian. Itu hanyalah pernyataan tentang sifat dan sikap TUHAN. Paulus tidak lupa menyinggung tentang janji ilahi pada saat ia mengutip perintah ke-5 (Ef. 6:2-3). Pemunculan janji ini jelas mempertegas keunikan perintah ke-5.

Objek perintah

Banyak orang mengira bahwa perintah ini ditujukan pada anak-anak kecil/remaja. Mereka patut menaati perintah ini sampai mereka sendiri nanti menjadi orang tua atau menikah. Pandangan populer ini ternyata mengandung sebuah kekeliruan yang fatal.

Perintah ini ditujukan pada semua bangsa Israel (20:18). Sama seperti sembilan perintah lain ditujukan kepada segala usia, demikian pula dengan perintah ke-5. Sama seperti perintah-perintah lain berlaku secara permanen dalam hidup, demikian pula perintah ke-5 harus tetap dilakukan selama orang tua masih ada. Dengan kata lain, semua orang tetaplah anak selama orang tua mereka belum meninggal dunia.

Tuhan Yesus juga pernah menyinggung tentang perintah ke-5 ini, dan mengaitkannya dengan kewajiban setiap anak sepanjang hidup orang tua. Dalam salah satu perdebatannya dengan orang-orang Farisi, Tuhan Yesus menganggap mereka telah gagal menaati perintah ke-5, yaitu dengan cara mengesampingkan persediaan uang/harta untuk jaminan hidup orang tua di usia lanjut mereka (Mat. 15:4-6). Bahkan sekalipun uang tersebut digunakan untuk keperluan bait Allah, mengabaikan pemeliharaan orang tua tetap dianggap dosa oleh Tuhan Yesus.

Dalam budaya Yahudi, perintah ke-5 juga diyakini tetap mengikat setiap anak selama orang tua mereka masih hidup. Mereka harus menyediakan dan mempersiapkan sejumlah harta untuk keperluan orang tua di usia lanjut mereka. Mereka wajib merawat orang tua mereka sampai mereka memberikan penguburan yang layak bagi orang tua mereka (bdk. Luk. 9:59-60).

Alasan untuk menghargai otoritas orang tua

Perintah ke-5 tidak hanya diberikan begitu saja. Ada beberapa alasan yang melandasi perintah ini. Menariknya, tidak ada satu pun alasan tersebut yang berkaitan dengan identitas, status, atau perilaku orang tua. Perintah ke-5 tidak berbunyi: “hormatilah ayahmu dan ibumu yang membanggakan kamu” atau “hormatilah ayahmu dan ibumi yang sudah bekerja keras dan sabar merawat kamu dengan baik”. Hal ini menyiratkan bahwa penghormatan terhadap otoritas orang tua bersifat tidak bersyarat (unconditional). Mereka dihormati karena mereka orang tua. Titik. Tidak peduli siapa dan bagaimana orang tua kita, penghormatan tetap harus diberikan kepada mereka.

Nah, apa saja alasan untuk menghargai otoritas orang tua? Pertama, karena menaati orang tua adalah wajar dan benar. Ketidakadaan alasan yang berkaitan dengan diri orang tua sekaligus mengajarkan bahwa ketaatan kepada orang tua merupakan sesuatu yang wajar dan benar pada dirinya sendiri. Ini adalah bagian dari wahyu umum. Semua orang seyogianya mengamini hal ini. Itulah sebabnya, tatkala Paulus memerintahkan anak-anak untuk menghormati orang tua, ia menulis: “karena haruslah demikian” (Ef. 6:1, LAI:TB). Artinya, hal itu adalah sesuatu yang benar (mayoritas versi Inggris “for this is right”).

Kepada siapa kita banyak berhutang? Orang tua kita! Kita berhutang eksistensi atau kehidupan. Sebagian besar dari kita juga berhutang kasih sayang, pengorbanan, dan ketelatenan. Jika setiap anak harus membayar semua hal tersebut, tidak ada satu pun yang akan mampu membayarnya.   

Kedua, karena menaati orang tua adalah perintah TUHAN. Sekilas kebenaran ini terasa sangat klise. Bagaimanapun, kita tidak boleh melupakan bahwa sebelum Dasa Titah dipaparkan, TUHAN sudah memperkenalkan diri sebagai Allah yang membawa bangsa Israel keluar dari tanah Mesir (20:1-2). Karya penebusan inilah yang menjadi dasar ketaatan terhadap semua perintah. Kita adalah umat milik TUHAN, karena itu kita harus hidup sesuai dengan kehendak-Nya. Ulangan 5:16 mengatakan: “Hormatilah ayahmu dan ibumu, seperti yang diperintahkan kepadamu oleh TUHAN, Allahmu”. Di Kolose 3:20 Paulus berkata: “Hai, anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan”.

TUHAN adalah pemilik hidup kita. Dia berhak menentukan hidup seperti apa yang seharusnya kita jalani. Dia menjadi alasan kita hidup, kita ada, dan kita bergerak.

Ketiga, karena menaati orang tua akan menghadirkan berkat Allah. “Lanjut umur” di Keluaran 20:12b harus dinilai dari perspektif masa lalu. Lanjur umur adalah salah satu tanda seseorang diberkati oleh TUHAN (bdk. Kej. 1:28 “Allah memberkati mereka…..beranak-cuculah…”). Selain panjang umur, tanda berkat ilahi yang lain adalah keadaan yang baik-baik saja (Ul. 5:16b). Walaupun bentuk berkat Allah sangat beragam, tetapi setiap anak yang menghormati orang tuanya pasti akan diberkati. Dalam hal ini, berkat Tuhan sebaiknya dipandang bukan sebagai motivasi ketaatan, melainkan sebagai konsekuensi manis yang tak terelakkan dari ketaatan. 

Bentuk konkret penghormatan terhadap orang tua

Bagaimana wujud konkrit ketaatan pada otoritas orang tua? Alkitab menyediakan beragam contoh secara melimpah: (1) tidak berlaku kasar kepada orang tua (Kel. 21:15); (2) tidak mengutuki orang tua (Kel. 21:17; Ams. 20:20); (3) tidak mengumbar kesalahan atau aib orang tua (Kej. 9:20-29); (4) tidak membangkang dan keras kepala (Ul. 21:18-21); (5) tidak menghabiskan harta orang tua sehingga mereka terlantar (Ams. 19:26); (6) tidak merendahkan orang tua (Ams. 30:17); (7) tidak kurang ajar terhadap orang tua yang sudah renta (Ams. 23:22).

Teladan ketaatan yang luar biasa ditunjukkan oleh Tuhan Yesus. Walaupun Ia adalah Anak Allah Yang Mahatinggi (Luk. 1:35), tetapi Ia tetap tunduk dalam pengasuhan orang tua-Nya (Luk. 2:51). Sesaat sebelum Ia mati di kayu salib, Ia tidak lupa menitipkan ibu-Nya kepada salah seorang murid-Nya supaya ada yang merawat dia (Yoh. 19:27). Sebagai Anak Allah pun, Ia menaati kehendak Bapa-Nya, bahkan sampai mati secara terhina di kayu salib (Ibr. 5:8; Flp. 2:6-8). Jika Tuhan Yesus dengan segala kesempurnaan-Nya saja bersedia tunduk dan menghormati orang tua-Nya, apalagi kita yang tidak seberapa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun