Seorang teman suatu kali pernah menyatakan kesulitannya memahami Allah yang menjadi seorang manusia dan mati di kayu salib. "Itu merupakan penghinaan yang begitu besar!", demikian ucapnya. Hal ini tentu saja dapat dipahami. Baginya, Allah adalah begitu transenden dan terpisah jauh dari kita.
Namun Filipi 2 dengan begitu mengagumkan menunjukkan betapa dalamnya rahasia ketika Allah bersedia datang demi keselamatan kita: Allah Putra merendahkan (baca: mengosongkan) diri-Nya, menjadi seorang hamba (doulos) yang mati di dalam ketelanjangan, supaya disaksikan semua orang dalam rasa malu dan penghinaan yang luar biasa (Flp. 2:6-8).
Penyaliban Yesus adalah sebuah penghinaan dan keagungan pada saat yang sama. Penghinaan Allah berubah menjadi sebuah tindakan istimewa dan momen yang mulia! Yesus, yang hidup sebagaimana Allah kehendaki, sebenarnya sedang menanggung kutukan pembuangan dan pengasingan sehingga kita diselamatkan dari dosa menuju kepastian hidup yang kekal.
Injil Yohanes berulang kali menunjukkan Yesus yang ditinggikan di kayu salib (12:32; bdk. 3:14-15; 8:28). Pernyataan ini mengandung makna literal (ditinggikan di kayu salib) maupun figuratif (menunjukkan pengagungan dan penghormatan dari Allah, termasuk menarik segala bangsa kepada keselamatan). Momen teragung dari kemuliaan Allah justru merupakan momen di mana Ia mengalami penghinaan dan rasa malu yang terbesar, ketika Ia mengambil rupa seorang hamba dan menderita, bahkan sampai mati di kayu salib demi kita semua. Serendah inilah yang Allah lakukan demi keselamatan kita!
Seseorang pernah menyatakan kepada saya tentang ketidakpercayaan dan bahkan cemoohannya atas pemakaian tanda salib oleh orang Kristen, "Bagaimana orang Kristen memakai dengan penuh kebanggan alat yang dipakai untuk menyiksa dan menghina manusia?" Jika Saudara Anda dihukum mati di kursi listrik, akankah Anda memakaikan kursi listrik tersebut di sekitar leher Anda?" Saya menjawab bahwa itu tergantung, "Jika Saudara saya ternyata adalah Yesus dari Nazaret dan kematian-Nya di kursi listrik membawakan keselamatan dan merupakan alat yang olehnya kejahatan dikalahkan dan ciptaan diperbarui, maka Ia telah mentransformasikan sebuah simbol penghukuman yang mempermalukan menjadi sesuatu yang mulia."
Yesus sebagai Ishak Kedua
Ketika menafsirkan Kejadian 22, Bart Ehrman mengamati, "Allah yang telah menjanjikan untuk memberikan Abraham seorang putra sekarang ingin supaya Abraham membinasakan putra tersebut; Allah yang memberikan perintah kepada umat-Nya untuk tidak membunuh sekarang memerintahkan leluhur dari orang Yahudi untuk mengurbankan putranya sendiri.” Untuk menjawab keberatan ini, kita akan menempatkan pembahasannya pada perspektif yang tepat agar dapat memberikan argumentasi yang lebih kuat.
Dalam bukunya yang berjudul The Crucified God, Jurgen Moltmann mengutip tulisan seorang Yahudi, Elie Wiesel, yang penuh dengan keberanian menulis dalam bukunya Night tentang pengalaman-pengalaman mengerikan yang dialaminya sendiri di Auschwitz, kamp konsentrasi penyiksaan yang didirikan oleh Nazi. Wiesel menceritakan ulang sebuah kejadian yang sangat menggugah hati:
Para tentara Nazi menggantung tiga orang Yahudi, dua orang pria dewasa dan seorang pemuda di depan seluruh tawanan dalam kamp. Kedua pria tersebut mati dengan cepat, namun pemuda tersebut bergumul dengan kematian selama setengah jam. "Di manakah Allah? Di manakah Ia?" seseorang di belakang saya bertanya. Ketika pemuda tersebut masih tergantung dan tersiksa dijerat tali untuk waktu yang lama, saya mendengar seseorang yang lain berteriak, "Di manakah Allah sekarang?" Dan saya mendengar suara di dalam batinku menjawab, "Ia ada di sini. Ia sedang tergantung di tiang gantungan itu."
Respons mendalam apa yang diberikan Moltmann kepada penilaian Wiesel? "Apapun jawaban yang berbeda dengan jawaban tersebut akan menjadi sebuah hujatan". Orang Kristen dikuatkan dan dihibur karena kenyataan bahwa Allah menderita bersama kita dan bahkan masuk ke dalam penderitaan yang kita alami, khususnya di dalam Pribadi Yesus dari Nazaret. Ia menderita di kayu salib; memalukan dan penuh penghinaan. Sungguh, Allah yang tidak ikut menderita tidak kalah buruk daripada Iblis. Allah yang tidak peduli akan menghasilkan umat manusia yang juga tidak peduli.
Kisah Abraham dan "putranya yang tunggal, satu-satunya" Ishak sebenarnya menjadi bayang-bayang dari persembahan "Ishak kedua" sebagai kurban penebusan yang dilakukan oleh Allah Bapa (Yoh. 3:16). Allah tidak sedang diadu berhadap-hadapan dengan Putra-Nya - seperti yang dikatakan oleh Richard Dawkins, "kekerasan pada anak" yang ilahi - dan sang Anak juga tidak dipaksa untuk melakukannya.
Kristus dengan penuh kerelaan menyerahkan nyawa-Nya dan kemudian menerimanya kembali (Yoh. 10:15, 17-18). Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia ini (Yoh. 3:17) untuk menanggung kutukan dan pengasingan yang seharusnya diterima oleh Israel dan umat manusia di kayu salib. Ia datang ke dalam dunia ini (Yoh. 9:39) untuk melakukan pendamaian (2Kor. 5:19) antara manusia yang sudah memberontak kepada diri-Nya.
Filsuf Kristen Paul Copan dengan cermat mengomentari diskusi ini, "Abraham's unquestioning yet difficult obedience to the covenant God not only helped shape and confirm Israel's identity in Abraham but also provided a context for understanding God's immense self-giving love in the gift of his son.” Ketika dedikasi Abraham kepada perintah Allah dikonfirmasi, Allah berkata, "Telah Kuketahui sekarang, bahwa engkau takut akan Allah, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku" (Kej. 22:12b).
Dengan merujuk kepada pengurbanan Ishak oleh Abraham, Paulus menggunakan cerita tersebut untuk mengingatkan orang-orang percaya tentang dedikasi yang tak ternilai dari Allah bagi mereka (Rm. 8:32). Pengurbanan Ishak oleh Abraham telah membuka jalan bagi pengurbanan diri sendiri yang dilakukan Allah di dalam diri Kristus. Abraham menunjukkan kesetiaan-Nya kepada Allah, dan pengurbanan Allah membuktikan kesetiaan-Nya kepada kita.
Tuntutan yang diberikan Allah kepada Abraham merupakan tuntutan yang sama dengan apa yang Allah Tritunggal ingin lakukan di dalam diri-Nya sendiri. Betapa dalamnya kasih Allah bagi kita (Rm. 8:31-32) sehingga teolog Skotlandia, almarhum Thomas Torrance berani mengungkapkan bahwa "God loves us more than he loves himself."
Apakah penyaliban merupakan kekerasan ilahi pada Anak?
Sebagaimana sudah kita baca, Dawkins menganggap perintah kepada Abraham untuk mengurbankan Ishak sebagai sesuatu yang sama dengan "kekerasan dan penyiksaan pada anak". Kita juga sudah memberikan respons terhadap pernyataan tersebut. Namun, kita tetap harus membahasnya lebih jauh: apakah penyaliban merupakan suatu contoh dari kekerasan pada Anak secara ilahi? Apakah penyaliban membenarkan kekerasan atau mungkin sebuah sikap pasif dalam menghadapi sebuah ketidakadilan?
Tuduhan tersebut tidak sesuai dengan bukti-bukti dalam Alkitab, terutama 1Pet. 2:21-25. Kita tidak menemukan korban yang pasif di sini. Kematian Yesus di kayu salib merupakan bagian dari rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya oleh Allah Tritunggal. Setiap Pribadi menderita di dalam karya yang membawakan damai tersebut. Di dalam kelemahan, Yesus sebenarnya menaklukkan dosa dan kuasa-kuasa kegelapan (Yoh. 12:31; Kol. 2:15).
Menurut Injil Yohanes, sebagaimana yang sudah kita lihat, momen di mana Yesus "ditinggikan" atau "dimuliakan" datang bersamaan dengan penghinaan yang besar bagi Allah. Daripada memikirkan bahwa penyaliban adalah ketidakhadiran Allah dengan gelapnya langit dan teriakan merasa diabaikan (Matius 27:46b "Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?"), peristiwa tersebut sebenarnya merupakan momen ketika kehadiran Allah justru paling nyata.
Allah menunjukkan diri-Nya pada peristiwa penyaliban lewat kegelapan yang nyata, sebuah gempa bumi, dan robeknya tirai di Bait Suci menjadi dua potong. Momen yang besar dari Allah di dalam sejarah terjadi ketika segala sesuatu kelihatan seolah-olah hilang kendali, ketika Allah kelihatan seolah-olah dikalahkan. Kemuliaan Allah dinyatakan di dalam penghinaan diri-Nya. Penyaliban bukanlah tindakan kekerasan pada Anak secara ilahi. Peristiwa tersebut merupakan sebuah kejadian bersejarah yang menentukan, di mana Allah memberikan diri-Nya sendiri demi keselamatan umat manusia.
Catatan akhir :
1. Bart D. Ehrman, God's Problem: How the Bible Fails to Answer Our Most Important Question-Why We Suffer (San Fransisco: HarperOne, 2008).
2. Jurgen Moltmann, The Crucified God, terjemahan R. A. Wilson (Minneapolis: Fortress, 1993).
3. Richard Dawkins, The God Delusion (Boston: Houghton Mifflin, 2006).
5. James D. G. Dunn, The Theology of the Apostle Paul (Grand Rapids: Eerdmans, 1998).
6. Thomas Torrance, The Christian Doctrine of God: One Being, Three Persons (Edinburgh: T&T Clark, 1996).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H