Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tersalib Telanjang

21 Juli 2018   18:25 Diperbarui: 26 Agustus 2018   04:25 788
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang teman suatu kali pernah menyatakan kesulitannya memahami Allah yang menjadi seorang manusia dan mati di kayu salib. "Itu merupakan penghinaan yang begitu besar!", demikian ucapnya. Hal ini tentu saja dapat dipahami. Baginya, Allah adalah begitu transenden dan terpisah jauh dari kita.

Namun Filipi 2 dengan begitu mengagumkan menunjukkan betapa dalamnya rahasia ketika Allah bersedia datang demi keselamatan kita: Allah Putra merendahkan (baca: mengosongkan) diri-Nya, menjadi seorang hamba (doulos) yang mati di dalam ketelanjangan, supaya disaksikan semua orang dalam rasa malu dan penghinaan yang luar biasa (Flp. 2:6-8).

Penyaliban Yesus adalah sebuah penghinaan dan keagungan pada saat yang sama. Penghinaan Allah berubah menjadi sebuah tindakan istimewa dan momen yang mulia! Yesus, yang hidup sebagaimana Allah kehendaki, sebenarnya sedang menanggung kutukan pembuangan dan pengasingan sehingga kita diselamatkan dari dosa menuju kepastian hidup yang kekal.

Injil Yohanes berulang kali menunjukkan Yesus yang ditinggikan di kayu salib (12:32; bdk. 3:14-15; 8:28). Pernyataan ini mengandung makna literal (ditinggikan di kayu salib) maupun figuratif (menunjukkan pengagungan dan penghormatan dari Allah, termasuk menarik segala bangsa kepada keselamatan). Momen teragung dari kemuliaan Allah justru merupakan momen di mana Ia mengalami penghinaan dan rasa malu yang terbesar, ketika Ia mengambil rupa seorang hamba dan menderita, bahkan sampai mati di kayu salib demi kita semua. Serendah inilah yang Allah lakukan demi keselamatan kita!

Seseorang pernah menyatakan kepada saya tentang ketidakpercayaan dan bahkan cemoohannya atas pemakaian tanda salib oleh orang Kristen, "Bagaimana orang Kristen memakai dengan penuh kebanggan alat yang dipakai untuk menyiksa dan menghina manusia?" Jika Saudara Anda dihukum mati di kursi listrik, akankah Anda memakaikan kursi listrik tersebut di sekitar leher Anda?" Saya menjawab bahwa itu tergantung, "Jika Saudara saya ternyata adalah Yesus dari Nazaret dan kematian-Nya di kursi listrik membawakan keselamatan dan merupakan alat yang olehnya kejahatan dikalahkan dan ciptaan diperbarui, maka Ia telah mentransformasikan sebuah simbol penghukuman yang mempermalukan menjadi sesuatu yang mulia."

Yesus sebagai Ishak Kedua

Ketika menafsirkan Kejadian 22, Bart Ehrman mengamati, "Allah yang telah menjanjikan untuk memberikan Abraham seorang putra sekarang ingin supaya Abraham membinasakan putra tersebut; Allah yang memberikan perintah kepada umat-Nya untuk tidak membunuh sekarang memerintahkan leluhur dari orang Yahudi untuk mengurbankan putranya sendiri.” Untuk menjawab keberatan ini, kita akan menempatkan pembahasannya pada perspektif yang tepat agar dapat memberikan argumentasi yang lebih kuat.

Dalam bukunya yang berjudul The Crucified God, Jurgen Moltmann mengutip tulisan seorang Yahudi, Elie Wiesel, yang penuh dengan keberanian menulis dalam bukunya Night tentang pengalaman-pengalaman mengerikan yang dialaminya sendiri di Auschwitz, kamp konsentrasi penyiksaan yang didirikan oleh Nazi. Wiesel menceritakan ulang sebuah kejadian yang sangat menggugah hati:

Para tentara Nazi menggantung tiga orang Yahudi, dua orang pria dewasa dan seorang pemuda di depan seluruh tawanan dalam kamp. Kedua pria tersebut mati dengan cepat, namun pemuda tersebut bergumul dengan kematian selama setengah jam. "Di manakah Allah? Di manakah Ia?" seseorang di belakang saya bertanya. Ketika pemuda tersebut masih tergantung dan tersiksa dijerat tali untuk waktu yang lama, saya mendengar seseorang yang lain berteriak, "Di manakah Allah sekarang?" Dan saya mendengar suara di dalam batinku menjawab, "Ia ada di sini. Ia sedang tergantung di tiang gantungan itu."

Respons mendalam apa yang diberikan Moltmann kepada penilaian Wiesel? "Apapun jawaban yang berbeda dengan jawaban tersebut akan menjadi sebuah hujatan". Orang Kristen dikuatkan dan dihibur karena kenyataan bahwa Allah menderita bersama kita dan bahkan masuk ke dalam penderitaan yang kita alami, khususnya di dalam Pribadi Yesus dari Nazaret. Ia menderita di kayu salib; memalukan dan penuh penghinaan. Sungguh, Allah yang tidak ikut menderita tidak kalah buruk daripada Iblis. Allah yang tidak peduli akan menghasilkan umat manusia yang juga tidak peduli.

Kisah Abraham dan "putranya yang tunggal, satu-satunya" Ishak sebenarnya menjadi bayang-bayang dari persembahan "Ishak kedua" sebagai kurban penebusan yang dilakukan oleh Allah Bapa (Yoh. 3:16). Allah tidak sedang diadu berhadap-hadapan dengan Putra-Nya - seperti yang dikatakan oleh Richard Dawkins, "kekerasan pada anak" yang ilahi - dan sang Anak juga tidak dipaksa untuk melakukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun