Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pembelaan Iman dan Kebinekaan: Kawan atau Lawan?

4 Mei 2018   21:16 Diperbarui: 20 Juli 2018   22:11 937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak beberapa bulan terakhir ini pelayanan apologetika (ilmu pembelaan iman Kristen) menjadi semakin marak di Indonesia. Antusiasme dan respons positif pun terus meningkat. Dalam anugerah dan kedaulatan Allah yang sempurna, Ia mempertemukan saya dengan dua tokoh apologetika ternama di Indonesia di masa transisi dari siswa menjadi mahasiswa. Saya bersyukur kepada Allah karena Dia berkenan melibatkan saya dalam pelayanan apologetika secara informal.

Bagaimanapun, respons yang ada tidak selamanya positif. Masih ada keraguan terhadap efektivitas pelayanan apologetika. Ada pula keengganan untuk turut menjeburkan diri dalam pelayanan ini. Bahkan harus diakui, ada suara-suara berbeda yang menganggap pelayanan apologetika bisa berpotensi untuk merusak semangat kebangsaan yang ingin ditumbuhkan dalam konteks kemajemukan religius di Indonesia.

Benarkah apologetika bisa bersifat kontraproduktif bagi semangat kebinekaan? Apakah apologetika sebaiknya dihindari demi menjaga keharmonisan antar umat beragama? Sama sekali tidak! Apologetika justru semakin diperlukan di tengah situasi seperti ini.

Hal pertama yang perlu dilakukan di sini adalah menjernihkan kesalahpahaman populer tentang apologetika. Sebagian orang menyamakan apologetika dengan perdebatan, padahal perdebatan hanyalah salah satu sarana apologetika. Masih banyak sarana lain yang bisa dimanfaatkan. Lagipula, apologetika yang benar justru menentang perdebatan yang kasar, arogan, dan diwarnai kebencian. Alkitab memerintahkan kita untuk memberikan jawaban dengan lemah-lembut, hormat, dan tulus (1Pet. 3:15-16). Jadi, mereka yang berapologetika secara kasar dan arogan sebenarnya sedang bersikap kontraproduktif dengan apa yang sedang diperjuangkan.

Yang kedua, semangat untuk merengkuh perbedaan harus dimulai dari pemahaman bahwa kita memang berbeda. Sebagian orang yang bersemangat untuk merengkuh perbedaan cenderung untuk meniadakan (baca: menyangkali) perbedaan-perbedaan yang ada. Kesamaan-kesamaan yang superfisial mendapat tempat yang penting. Perbedaan-perbedaan fundamental diabaikan. Sikap seperti inilah yang saya temui ketika beberapa kali terlibat dalam dialog lintas iman. Sikap ini justru, menurut saya, kurang bijaksana. Kasih kita terhadap penganut ajaran lain justru diuji dalam level yang tertinggi ketika kita menyadari bahwa antara kita dan mereka terdapat perbedaan-perbedaan fundamental, bahkan pertentangan doktrinal. Semangat kebangsaan yang dewasa adalah tatkala kita mampu menghargai perbedaan tersebut dan tetap mau bekerja sama membangun Indonesia.

Yang ketiga, interaksi yang intensif dengan penganut agama lain pasti akan mendorong masing-masing pihak untuk memahami posisi diri sendiri dan orang lain. Tidak kenal maka tidak sayang. Begitu kata pepatah. Nah, semakin kita mengenal ajaran agama-agama lain, semakin kita mengetahui bahwa agama-agama itu memang berbeda. Sebagai contoh: Alquran secara eksplisit dan beberapa kali mengajarkan bahwa Yesus Kristus (Isa Almasih) tidak mati di atas kayu salib (An Nisa 157-158), tidak dibangkitkan (sebagai konsekuensi dari penyangkalan terhadap kematian-Nya di atas kayu salib), dan bukan Tuhan (baca Al Maidah 72, 116; An Nisa 171). Semua ajaran ini bertentangan dengan doktrin dasar kekristenan. Bahkan kekristenan sejati ditentukan oleh pengakuan seseorang bahwa Yesus adalah Tuhan yang mati dan dibangkitkan (Rm. 10:9-10). Di luar contoh ini kita bisa menambahkan perbedaan-perbedaan fundamental antara kekristenan dan agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan yang lain.

Toleransi sejati mengasumsikan perbedaan, bukan menerima begitu saja tanpa mengkritisi. Toleransi menjadi nyata ketika kita mampu menerima dan hidup bersama orang yang berbeda pandangan dengan kita. Maka dari itu, jika tidak ada perbedaan sama sekali, tidak mungkin ada toleransi sejati.

Dari penjelasan singkat di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa apologetika (yang benar) justru turut menumbuhkan semangat kebangsaan. Melalui pelayanan apologetika, orang-orang Kristen dituntun untuk mengerti keunikan doktrin di masing-masing agama. Pemahaman ini menjadi bekal untuk membangun dialog dan interaksi yang jujur dan terbuka.

Apologetika menolong kita untuk melihat bukan hanya kesamaan kepercayaan kita dengan orang lain, tetapi juga perbedaan yang ada di dalamnya. Hal ini disebabkan karena kita mampu melihat kepercayaan kita secara lebih menyeluruh, sehingga kita dapat bersikap dengan tepat dalam perjumpaan-perjumpaan kita dengan mereka yang berbeda. Apapun perbedaan yang ada, jangan sampai hal itu menghalangi kita untuk mengasihi dan bekerja sama membangun bangsa Indonesia

toleransi-5b51fbb46ddcae33b561eac2.png
toleransi-5b51fbb46ddcae33b561eac2.png
.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun