Paulus sendiri dalam taraf tertentu sudah menunjukkan demonstrasi kasih yang besar. Ia rela melepaskan hak untuk menerima tunjangan hidup (9:18). Ia sering dihina dan direndahkan orang (4:9). Beragam penderitaan dan kesusahan sudah ia alami dalam pelayanan (2Kor. 11:23-29), bahkan yang sempat membuat ia putus asa (2 Kor. 1:8-9). Bahaya maut pun berulang kali menghadang dia (15:30-32). Semua ini dia lakukan karena ia mengasihi jemaat Korintus (16:24; 2Kor. 2:4; 11:11; 12;15).
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa ukuran pemberian dan pengorbanan bukan terletak pada jumlah yang diberikan/dikorbankan maupun perasaan si pemberi. Allah melihat ke dalam hati. Bisa saja semua demonstrasi ini tidak bersumber dari kasih yang tulus. Sebagian orang memberi karena terpaksa. Yang lain berani berkorban karena menginginkan pamrih dari orang yang ditolong atau pahala dari Allah. Semua ini tidak muncul dari hati yang mengasihi. Bukankah demonstrasi ‘kasih’ demi mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri sebenarnya adalah sebuah egoisme?
Nah, mereka yang membagi-bagikan sesuatu atau berkorban bagi orang lain tetapi tanpa kasih justru tidak akan mendapat manfaat apa-apa dari tindakan tersebut. Paulus mengatakan: “sedikit pun tidak ada faedahnya bagiku” (ouden opheloumai). Kalimat ini sangat mengagetkan, namun mengandung pengajaran rohani yang indah. Jikalau kita melakukan sesuatu untuk orang lain atau Allah dengan motivasi untuk mendapatkan sesuatu dari tindakan itu, kita justru tidak akan mendapatkan apa-apa. Sebaliknya, apabila kita melakukan berdasarkan kasih – keinginan untuk memberikan manfaat atau faedah bagi orang lain (13:4-7; 14:6) – kita juga akan mendapatkan faedah dari tindakan itu.