Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pajak: Sebuah Dilema Moral-Teologis

20 Maret 2018   21:30 Diperbarui: 17 Agustus 2018   04:35 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
gambar: gizmodo.com

Sekarang mari kita melihat dari sisi filsafat moral. Mengapa kita membayar pajak? Pertama adalah karena prinsip solidaritas umat manusia. Para ahli etika yang secara khusus menggeluti masalah pajak telah berusaha untuk memberikan justifikasi secara filosofis tentang pertanyaan mengapa kita membayar pajak. Sebab walaupun kita tidak suka terhadap pajak, tetapi jauh dalam lubuk hati kita, kalau kita mau secara jujur merenungkannya, maka kita pasti setuju bahwa pajak memang perlu untuk dibayar. Dengan membayar pajak, kita memperkaya kualitas kehidupan banyak orang. Kita berpartisipasi dalam humanitas. Kita membuat kehidupan umat manusia menjadi lebih baik. Kemajuan pembangunan bisa dinikmati sampai daerah terpencil.

Sehingga apabila kita melihat kemajuan tingkat pendidikan di Indonesia, kalau kita melihat ada orang-orang luar biasa yang memengaruhi negara ini bahkan juga memengaruhi dunia, kita bisa turut senang sebab kita bisa membiayai pendidikannya jika di belajar di sekolah negeri. Kita turut berpartisipasi menjadikan banyak orang menjadi lebih baik. Kalau kita ingin anak kita mendapatkan pendidikan yang lebih baik, mengapa kita tidak berperan serta untuk membuat anak orang lain memiliki pendidikan yang lebih baik? Kalau kita ingin ada kemajuan dalam berbagai bidang di negara ini sehingga kita nyaman menikmati hidup dengan segala fasilitas umumnya, mengapa kita tidak membayar pajak? (bdk. Mat. 22:39).

Kedua, prinsip keseimbangan (2Kor. 8:13-14). Dalam gereja mula-mula (bdk. Kis. 2 & 4), orang-orang Kristen menjual harta miliknya lalu membagikannya kepada orang miskin. Ini bukan prinsip komunisme seperti ajaran Karl Marx. Di dalam ajaran Marxisme tidak ada keseimbangan, melainkan kesetaraan dan penyamarataan. Baik yang berusaha dengan keras, yang kaya raya dan yang miskin, pada akhirnya akan diperlakukan secara sama. Itu bukan prinsip Alkitab. Prinsip Alkitab bukan penyamarataan, tetapi penyeimbangan. Mungkin tetap ada orang yang kaya, tetapi tidak ada orang yang sangat miskin dan sangat melarat sampai tidak bisa hidup.

Itulah sebabnya di gereja mula-mula tidak ada perintah bahwa semua orang harus menjual harta miliknya. Sebab kalau semua kepunyaan mereka dijual, termasuk rumahnya, maka mereka tidak bisa beribadah. Sebagian dari mereka memilih melakukannya supaya terjadi keseimbangan. Dengan kata lain, kita membayar pajak bukan supaya orang lain memiliki level hidup yang sama dengan kita, melainkan supaya ada keseimbangan (yang kaya tidak terlalu kaya, yang miskin tidak terlalu miskin). Itulah filosofi di balik pajak progresif.

Ketiga, prinsip mutualitas. Saya mengambil prinsip ini dalam Galatia 6:2 karena menurut saya prinsip ini dapat menolong kita memahami filsafat moral tentang pajak. Kita hidup dalam sebuah sistem yang begitu besar. Melalui pajak yang kita bayar, kita punya peranan untuk membantu berjalannya sistem tersebut. Semua hal yang terjadi di dalam negara ini sebetulnya adalah tanggung jawab kita. Misalnya, bagaimana kita bisa berharap tingkat kecelakaan akan menurun kalau kita terbiasa dan tanpa rasa bersalah melanggar aturan lalu lintas? Bagaimana banjir bisa diatasi jika kita terbiasa dan tanpa rasa bersalah membuang sampah di sungai? Mutualitas menjadi mutlak dibutuhkan dalam kehidupan bersama. Hal ini dilakukan dengan cara membantu pemerintah menjalankan roda pemerintahan dengan baik. Pada akhirnya pemerintah juga akan membantu kita dengan memberikan layanan publik yang jauh lebih baik.

Aplikasi

Pertama, bayarlah dengan penuh kebanggaan apa yang seharusnya dibayar. Pajak yang kita bayar adalah bentuk apresiasi kepada pemerintah. Kita sebetulnya telah melakukan jauh lebih banyak daripada yang kita pikirkan. Pajak bukan tentang apa yang akan saya dapatkan, tetapi apakah saya bermakna bagi orang lain, untuk dunia, dan untuk kemanusiaan. Bayarlah dengan penuh sukacita. Kita masih bisa membayar, masih diberi kesempatan untuk menaati Tuhan, memberikan teladan hidup kekristenan, menolong orang lain, dan mengapresiasi pemerintah. Orang-orang yang membayar pajak adalah orang-orang yang terhormat.

Kedua, maksimalkan secara legal kesempatan untuk mereduksi pajak. Contohnya, apabila kita memiliki gedung sendiri untuk berbisnis, kita bisa menyewakan gedung itu kepada perusahaan kita dengan harga yang masuk akal. Kalau kita memberikan biaya sewa yang cukup tinggi tetapi masih dalam batas wajar, hal ini akan mengurangi pajak perusahaan. Sehingga pajak penghasilan pribadi kita tidak akan sebesar pajak di dalam perusahaan. Ini hanya contoh kecil dari tindakan memaksimalkan kesempatan untuk mereduksi pajak secara legal.

Ketiga, pastikan hasil pereduksian pajak kita digunakan secara lebih bertanggung jawab daripada cara pemerintah menggunakannya. Kalau hasil reduksinya kita habiskan untuk kesenangan kita sendiri, maka lebih baik dibayarkan kepada pemerintah supaya bisa dipakai untuk kepentingan yang lebih bermanfaat. Kalau kita mau mengupayakan pereduksian-pereduksian tertentu dalam batasan yang legal, pastikan bahwa hasil pereduksian itu kita pakai secara lebih bertanggung jawab daripada kalau uang itu ada di tangan pemerintah. Kalau kita tidak bisa memakainya dengan bertanggung jawab, maka kita tidak perlu repot-repot memikirkan pereduksian. Bayar apa adanya, biar pemerintah yang mengatur. Mungkin saja di tangan pemerintah uang itu menjadi lebih baik dan lebih efektif daripada di tangan kita.

Keempat, awasi strategi penarikan dan penggunaan pajak oleh pemerintah. Kalau kita merasa ada oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab ataupun mengintimidasi kita dalam penarikan pajak, maka kita harus secara cermat dan berani bicara kepada pejabat pemerintah yang bersangkutan. Jangan sampai mereka sudah bobrok, kita juga merespons dengan cara yang bobrok. Apabila kita merasa ada sesuatu yang tidak benar, saya pikir tidak masalah untuk berdebat dengan cara yang hormat dan sopan. Kita juga memiliki tanggung jawab untuk mengawasi penarikannya dan mengawasi pemerintah di dalam penggunaan pajak. Itulah sebabnya orang-orang Kristen harus bersuara supaya pajak kita digunakan dengan sebaik-baiknya. Kita harus menjadi warga negara yang baik dan cerdas. Kita punya tanggung jawab sekaligus kita punya hak untuk meminta penjelasan dari pejabat pemerintahan yang memungut pajak kita. Bayarlah pajak dengan pemahaman yang benar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun