Dalam kehidupan sehari-hari kita mendapati bahwa beberapa pembatasan justru dipandang sebagai hal yang baik. Peraturan menciptakan suasana kebersamaan yang lebih nyaman. Adat-istiadat tertentu menghasilkan komunitas yang hangat dan kuat. Dengan kata lain, pada dirinya sendiri pembatasan kebebasan bukanlah sebuah kejahatan.
Sekarang bagaimana dengan ibadah? Jika manusia tidak bebas secara mutlak, bukankah semua ekspresi ibadah merupakan kemunafikan atau mekanisme yang non-personal? Tidak juga! Ibadah tidak terpisahkan dari kekaguman. Melalui kekaguman, seseorang mengekspresikan pujian kepada Allah.
Jika dipikirkan secara lebih mendalam, semua kekaguman sebenarnya tidak bebas secara mutlak. Keindahan dari sesuatu atau kehebatan dari seseorang “memaksa” orang lain untuk memberikan pengakuan dalam bentuk kekaguman. Apakah orang itu merasa sebagai boneka yang tidak memiliki kebebasan? Tentu saja tidak! Tapi apakah orang itu benar-benar bebas secara mutlak? Tidak juga! Begitu pula dengan ibadah kepada Allah. Keindahan dan kebaikan-Nya yang sempurna membuat kita mengagumi Dia.
Bagaimana bisa kita gagal memberikan respons seperti itu? Satu-satunya penghalang adalah dosa. Jika penghalang ini sudah dibereskan, kekaguman dan penyembahan akan menjadi sesuatu yang muncul begitu saja dari hati kita setiap kali kita memandang pada keindahan-Nya. Pendeknya, ibadah tidak bertabrakan dengan kebebasan manusia yang terbatas. Ibadah baru kehilangan arti apabila manusia tidak memiliki kebebasan sama sekali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H