Mohon tunggu...
Stephani Getta
Stephani Getta Mohon Tunggu... Freelancer - Apa saja yang ada di kepala ditulis

lebih suka berimajinasi

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Napak Jero: Perjalanan Hati

14 Maret 2024   15:35 Diperbarui: 14 Maret 2024   17:21 537
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghayati lalu merenungkan kegiatan jalan kaki sepertinya hal yang kurang lazim bagi kita. Berbeda dengan para pelaku Napak Jero. Mereka menjadikan jalan kaki sebagai sarana ziarah, retret pribadi dan juga kontemplasi. Mereka mengikuti kegiatan ini dengan bekal dan motivasi masing-masing. Ketika ditanya apa yang memotivasi mereka, banyak hal terlontar dari pengalaman mereka.

Begitu kaya pengalaman mereka dalam proses perjalanan mencapai garis akhir. Salah satunya Pak Tedjo, peserta dengan usia yang tak lagi muda ini bercerita bagaimana pengalamannya menyelesaikan perjalanan ini. Pak Tedjo merasa bahwa ia telah berhasil melampaui dirinya dengan terus berpegang dan berserah pada Tuhan. Ia merasa tiap langkah kaki yang digerakkan untuk menyelesaikan perjalanan ini masih jauh lebih ringan daripada langkah kaki Yesus yang memanggul salib ke Bukit Golgota.

Lain hal dengan Ibu Fifi dan Pak Yustinus Rizal yang mengikuti kegiatan ini untuk mempersiapkan diri mereka mengikuti Camino. Berbekal poster kegiatan Camino de Santiago, Pak Yustinus dan Ibu Fifi bertekad bulat menyelesaikan perjalanan ini sekaligus mengukur berapa waktu dan jarak tempuh sesuai dengan kekuatan mereka.

Anak-anak muda yang (mungkin) lebih sering mendaki gunung, merasakan sensasi tersendiri ketika mengikuti kegiatan ini. Gurman, Natan, Arnold, dan Wisnu menganggap bahwa perjalanan Napak Jero adalah perjalanan yang berbeda. Sepanjang perjalanan mereka seringkali berada pada momen yang sama. Mereka siap dengan segala kemungkinan yang terjadi selama proses perjalanan. Romo Teguh juga terkadang berkesempatan berjalan bersama-sama dengan mereka. Romo Teguh mengajak untuk mendedikasikan rasa sakit yang mereka rasakan sebagai doa untuk mengiring perjalanan mereka.

Romo Budi sebagai salah satu pemrakarsa kegiatan ini juga membagikan sebuah prinsip yang datang dari trekking pole miliknya, "Manusia itu butuh teken (tongkat dalam Bahasa Jawa), teken itu punya dua makna, yang pertama, memberikan kekuatan dan keseimbangan lalu juga tuntunan sehingga kita bisa tekun berjalan, lalu akhirnya kita bisa tekan (sampai)".

Perjalanan dimulai dari kota Batu menuju Ngantang di hari pertama. Petualangan dimulai pada pukul 4 pagi. Hari pertama dimulai dengan doa dan ibadat di hari sebelumnya. Saya yang bertindak sebagai pendokumentasi kegiatan ini berangkat terlebih dulu dengan menggunakan kendaraan roda dua. Hawa kota Batu yang cukup dingin saat itu, menjadi kawan perjalanan mereka. Sekitar pukul 7 pagi, mereka sampai di Pujon. Di sana mereka beristirahat sejenak sambil berbagi bekal perjalanan. Romo Agung membagikan bekal permen ginseng miliknya. Bu Fifi berbagi roti goreng yang ia beli ketika perjalanan, sedangkan Romo Budi bersukacita karena mengumpulkan banyak sekali koin sepanjang perjalanan dari Batu menuju Pujon.

Berbeda cerita dengan Nancy dan Catherine, dua perempuan yang juga kakak-beradik ini sempat mengalami sedikit kejadian menegangkan. Akibat udara yang cukup dingin, salah satu dari mereka mengalami kesulitan bernafas. Perjalanan mereka sempat terhenti sejenak. Panas matahari yang muncul ketika dalam perjalanan membuatnya bisa kembali bernafas normal.

Setelah beristirahat, mereka kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa peserta berjalan melalui rute Tulungrejo, dan ada beberapa peserta lain yang memilih melewati jalan raya menuju Ngantang. Mereka bertemu di titik pertemuan yang sama yakni perempatan Ngantang. Pak Yustinus adalah salah satu peserta yang melewati rute Tulungrejo. Setelah sampai di titik pertemuan, ia beristirahat sejenak sambil berbagi cerita bersama saya bahwa rute yang dilalui cukup berdebu dan berkelok. Meski demikian, ia disuguhi pemandangan indah selama perjalanan. Pak Gerry, peserta yang memilih melewati rute jalan raya Ngantang memutuskan untuk menghentikan langkahnya di rest area Sidorejo, Ngantang. Ia merasa tak lagi sanggup melanjutkan perjalanan karena kaki kram dan sudah tidak kuat lagi. "Padahal, tinggal 4 km lagi untuk mencapai titik temu pertama. Tapi, saya menikmati perjalanan ini, saya dapat banyak foto bagus". Kaki yang tidak lagi bisa diajak berkompromi akhirnya mengharuskan Pak Gerry untuk menaiki motor menuju tempat menginap.

Hari pertama berhasil dilalui, kini mereka beristirahat untuk kembali melanjutkan perjalanan di hari selanjutnya. Mereka beristirahat di salah satu rumah umat stasi Ngantang. Di sana mereka bergantian memijat kaki, makan malam bersama serta menutup hari dengan sharing sekaligus merayakan Ekaristi bersama umat di lingkungan stasi.

Hari selanjutnya, mereka akan memulai perjalanan dari Ngantang menuju Pare. Jarak yang ditempuh sekitar 32 km untuk sampai ke tujuan transit selanjutnya yaitu Gereja Katolik St. Mateus, Pare, Kediri. Seperti hari sebelumnya perjalanan dimulai pada pukul 4 pagi. Rute yang akan ditempuh hanya 1 rute dan cukup panjang. Kebanyakan mereka akan menempuh tipe jalan beraspal, berkawan dengan asap dan deru kendaraan bermotor. Cukup menegangkan dan melelahkan. Satu persatu peserta Napak Jero tiba di tempat transit hari kedua dengan tenaga yang hampir terkuras habis. Pak Tedjo salah satu peserta membagikan pengalamannya bahwa ketika melakukan perjalanan, ia mendengarkan renungan rohani untuk menguatkan langkahnya. Sempat dalam perjalanan saya tahu ia menjauh dari tempat tujuan. Lekas saya mengejarnya dan memberikan arahan yang benar.

dokpri
dokpri

Aula Gereja St. Mateus Pare Kediri menjadi tempat peristirahatan para peserta Napak Jero di hari kedua. Para peserta Napak Jero tidak hanya sekedar beristirahat, disana mereka juga di cek kesehatan dan kondisi fisiknya. Seperti pada hari sebelumnya setelah membersihkan diri, mereka menutup hari dengan perayaan Ekaristi, lalu beristirahat untuk stamina dan tenaga yang prima di esok hari.

Matahari selalu masih belum muncul ke permukaan ketika perjalanan dimulai. Mengawali hari ketiga dengan doa dan pemanasan sebelum berjalan, para peserta Napak Jero semangat meski tenaga kuat tak kuat. Sekitar 32 km harus ditempuh di hari ketiga untuk mencapai garis akhir, Gua Maria Puhsarang Kediri. Matahari pukul 6 pagi sudah mulai terlihat, para peserta juga sudah cukup jauh dari tempat dimana mereka memulai. Beberapa hal mereka sampaikan kepada saya ketika bertemu. Ada yang bercerita bahwa mereka bertemu warga lalu diberi bekal air minum. Ada yang bertemu warga lokal dan akhirnya berjalan bersama dan berpisah di persimpangan.

dokpri
dokpri

Napak Jero bukanlah perlombaan, namun Pak Tedjo adalah peserta pertama yang mencapai finish. Kegigihannya menyelesaikan perjalanan, serta kebiasaannya berjalan setiap pagi membuat ia menjadi peserta pertama sekaligus tertua yang mencapai garis akhir.

Sesi sharing di hari terakhir dimulai. Para peserta diminta memberikan 1 hingga 3 kata tentang Napak Jero. Berbagai macam kata keluar dari para peserta, ada yang mengucap "syukur", "dahsyat", "perjalanan hati", "jos gandos", dan masih banyak lagi. Kata-kata ini adalah bentuk ekspresi para peserta tentang Napak Jero. Nancy dan Catherine, dua saudari ini juga menganggap Napak Jero adalah perjalanan yang amazing dan membangkitkan semangat.

Arnold, salah satu peserta muda yang beranggapan tidak mungkin menyelesaikan perjalanan ini, ternyata mampu menaklukkan berpuluh-puluh kilometer untuk mencapai finish. Banyak hal tak terduga yang terjadi selama Napak Jero. Ada juga yang akhirnya menemukan "diri" setelah melakukan perjalanan ini, karena kembali pada motivasi dan tujuan awal bahwa kegiatan ini adalah sarana retret dan refleksi pribadi.

Tak hanya itu, perjalanan ini juga memberikan ruang untuk meluapkan emosi, rasa kecewa, dan kemarahan di dalam hidup untuk dikonversi menjadi energi. Energi inilah yang akhirnya membantu salah satu peserta untuk bisa menyelesaikan perjalanan. Dengan suara bergetar salah satu peserta bercerita bahwa selama ini dirinya mengikuti perayaan Ekaristi di hari Minggu dengan jiwa kosong dan sebagai formalitas belaka.


 membuatnya tersadar bahwa beberapa hal membutuhkan pengorbanan penuh agar bisa dicapai termasuk merayakan Ekaristi.

Ada hal yang hilang atau muncul, ditemukan atau dilepas, diberikan atau diminta, berjuang atau berhenti, mendapat pertanyaan atau mendapat jawaban, dan masih banyak lagi. Napak Jero merubah mungkin sebagian atau bahkan seluruh dari tujuan hidup seseorang. Napak Jero merubah mungkin sebagian atau bahkan seluruh dari bagaimana cara pandang seseorang. Napak Jero membantu seseorang menemukan apa yang dicari, atau mungkin malah memberi lebih dari yang mereka harapkan. Karena Napak Jero bukan sekedar berjalan menyelesaikan perjalanan, namun juga menemukan sesuatu di prosesnya. Napak Jero adalah perjalanan hati.

Rombongan terakhir yang sampai di Puhsarang, dokpri
Rombongan terakhir yang sampai di Puhsarang, dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun