Aula Gereja St. Mateus Pare Kediri menjadi tempat peristirahatan para peserta Napak Jero di hari kedua. Para peserta Napak Jero tidak hanya sekedar beristirahat, disana mereka juga di cek kesehatan dan kondisi fisiknya. Seperti pada hari sebelumnya setelah membersihkan diri, mereka menutup hari dengan perayaan Ekaristi, lalu beristirahat untuk stamina dan tenaga yang prima di esok hari.
Matahari selalu masih belum muncul ke permukaan ketika perjalanan dimulai. Mengawali hari ketiga dengan doa dan pemanasan sebelum berjalan, para peserta Napak Jero semangat meski tenaga kuat tak kuat. Sekitar 32 km harus ditempuh di hari ketiga untuk mencapai garis akhir, Gua Maria Puhsarang Kediri. Matahari pukul 6 pagi sudah mulai terlihat, para peserta juga sudah cukup jauh dari tempat dimana mereka memulai. Beberapa hal mereka sampaikan kepada saya ketika bertemu. Ada yang bercerita bahwa mereka bertemu warga lalu diberi bekal air minum. Ada yang bertemu warga lokal dan akhirnya berjalan bersama dan berpisah di persimpangan.
Napak Jero bukanlah perlombaan, namun Pak Tedjo adalah peserta pertama yang mencapai finish. Kegigihannya menyelesaikan perjalanan, serta kebiasaannya berjalan setiap pagi membuat ia menjadi peserta pertama sekaligus tertua yang mencapai garis akhir.
Sesi sharing di hari terakhir dimulai. Para peserta diminta memberikan 1 hingga 3 kata tentang Napak Jero. Berbagai macam kata keluar dari para peserta, ada yang mengucap "syukur", "dahsyat", "perjalanan hati", "jos gandos", dan masih banyak lagi. Kata-kata ini adalah bentuk ekspresi para peserta tentang Napak Jero. Nancy dan Catherine, dua saudari ini juga menganggap Napak Jero adalah perjalanan yang amazing dan membangkitkan semangat.
Arnold, salah satu peserta muda yang beranggapan tidak mungkin menyelesaikan perjalanan ini, ternyata mampu menaklukkan berpuluh-puluh kilometer untuk mencapai finish. Banyak hal tak terduga yang terjadi selama Napak Jero. Ada juga yang akhirnya menemukan "diri" setelah melakukan perjalanan ini, karena kembali pada motivasi dan tujuan awal bahwa kegiatan ini adalah sarana retret dan refleksi pribadi.
Tak hanya itu, perjalanan ini juga memberikan ruang untuk meluapkan emosi, rasa kecewa, dan kemarahan di dalam hidup untuk dikonversi menjadi energi. Energi inilah yang akhirnya membantu salah satu peserta untuk bisa menyelesaikan perjalanan. Dengan suara bergetar salah satu peserta bercerita bahwa selama ini dirinya mengikuti perayaan Ekaristi di hari Minggu dengan jiwa kosong dan sebagai formalitas belaka.
 membuatnya tersadar bahwa beberapa hal membutuhkan pengorbanan penuh agar bisa dicapai termasuk merayakan Ekaristi.
Ada hal yang hilang atau muncul, ditemukan atau dilepas, diberikan atau diminta, berjuang atau berhenti, mendapat pertanyaan atau mendapat jawaban, dan masih banyak lagi. Napak Jero merubah mungkin sebagian atau bahkan seluruh dari tujuan hidup seseorang. Napak Jero merubah mungkin sebagian atau bahkan seluruh dari bagaimana cara pandang seseorang. Napak Jero membantu seseorang menemukan apa yang dicari, atau mungkin malah memberi lebih dari yang mereka harapkan. Karena Napak Jero bukan sekedar berjalan menyelesaikan perjalanan, namun juga menemukan sesuatu di prosesnya. Napak Jero adalah perjalanan hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H