Akhir-akhir ini linimasa bergerak memberitakan dukacita. Saya memilih rehat, setelah apa yang saya dan keluarga saya alami. Garis dan coretan ini tidak pernah kita bubuhkan bila seolah-olah hidup ini adalah sebuah lukisan. Bukan kami senimannya, kami hanyalah kuas yang digerakkan kesana kemari, berganti warna, berhenti lalu mulai lagi. Kami percaya bahwa yang telah dipanggil pulang sudah berbahagia bersama. Lukisan mereka telah selesai dan kini menjadi hiasan penuh kenangan di sepanjang dinding menuju pintu surga. Tugas mereka semakin mulia, menjadi pendoa dan kami yang disini tak boleh putus berdoa.
Bisa kami bayangkan pintu surga penuh dengan antrian orang-orang yang memang harus diselamatkan terlebih dulu dari dunia yang semakin gila. Bagaimana bisa demikian gila? Kita semakin egois bahkan tanpa kita sadari. Mengabaikan hal-hal sepele yang bisa menyelamatkan diri dan mereka yang kita sayangi. Membungkam mulut dan hidungmu sementara dengan masker memang pengap, tapi lebih pengap ketika mereka yang kalian kasihi dibungkam maut. Menahan diri untuk tidak pergi bertamasya memang menyiksa, tapi lebih menyiksa tidak bisa menahan mereka yang kalian kasihi untuk pergi selamanya.
Menguatkan mereka yang tersisa dan diri sendiri setelah ini semua tidaklah mudah. Sedari awal tidak ada pelukan menguatkan karena jarak dekat adalah salah satu alasan si jahat ini semakin kuat. Pelukan mendadak mematikan. Jaraklah yang kini menyelamatkan. Kami sedih karena kehilangan tapi kami dilarang keras membuatnya berlarut-larut. Ada yang harus dilanjutkan, ada yang harus dikuatkan, ada yang harus diselamatkan. Melihat burung tetap berkicau, kucing-kucing peliharaan kami meminta makan, matahari yang bersinar, angin yang kadang datang tiba-tiba, kendaraan yang berlalu-lalang, sore yang kembali datang, menandakan masih ada hidup untuk dilanjutkan sampai suatu saat nanti ada yang menjemputmu pulang. Ini berarti lukisanmu selesai.
Tapi aku manusia, penuh dengan tanya. Apa lagi selanjutnya? Bagaimana jika kami rindu tapi raga sudah tidak lagi bersama? Mengapa harus menimpa mereka yang kami kasihi? Mengapa kami harus kuat sendirian?
Lalu tulisan ini kami baca lagi dan lagi dan lagi hingga kami mengerti, betapa Tuan di atas sana menyayangi kami sepenuh hati.
Â
Dan untuk yang berani dan tulus hati berusaha menemani hingga menghantar yang kami kasihi menghadap Ilahi. Kami bersyukur akan kalian, tetaplah menemani, jangan biarkan kami sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H