Mohon tunggu...
Stephanie Maria Mantiri
Stephanie Maria Mantiri Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menuangkan imajinasi ke dalam tulisan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Beranjak Dewasa

11 Juni 2022   23:04 Diperbarui: 11 Juni 2022   23:08 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika kau kecil, jari-jarimu memohon pada Tuhan. Berharap kau akan cepat dewasa. Iri sekali rasanya melihat orang-orang dewasa bebas melakukan apapun yang mereka mau tanpa terkekang. Sementara, Ayah dan Ibumu memberikan kau banyak sekali pantangan. Setiap hal yang kau lakukan adalah salah di mata mereka. Ucapan seperti
"Jangan nakal ya, harus jadi anak baik"
"Jangan berbicara dengan orang yang tidak dikenal"
"Pulang sekolah harus langsung pulang"
Serta beberapa kalimat yang berulang pada hari-harimu dahulu

Sekarang kau telah bertumbuh menjadi mamusia yang tak perlu dinasihati seperti itu lagi. Harapanmu dan orang tuamu sama, agar kau dapat hidup mandiri tanpa diperintah lagi karena kau sudah cukup dewasa untuk mengerti. Dulu, hal yang kau tangisi adalah lukamu di lutut akibat terjatuh dari sepeda. Sekarang yang kau tangisi adalah dirimu sendiri, merutuki betapa sial nasibmu.
"Mengapa orang lain lebih beruntung dariku?"
Kata-kata itu terus terngiang di benakmu. Ketika kecil memang kau punya seribu angan. Sekarang mewujudkan satu angan rasanya sulit sekali. Hidup berjalan tak sesuai ekspektasimu.

Apakah hari esok adalah keputusasaan yang sama?. Atau, apakah hari esok adalah kesempatan dan harapan yang baru?. Tidak ada jawaban yang pasti. Hidup memang tak pasti. Kadang ia berbaik hati, kadang juga jahat sekali. Namun, itulah aturan mutlak dari hidup. Tak ada satupun manusia yang luput dari kekurangan pada aspek hidupnya. Porsi dan jenisnya saja yang berbeda-beda dari setiap orangnya. Hal yang ditampilkan di depan belum tentu sama dengan yang terjadi di belakangnya.

Kemarin pula, pertama kalinya kau menangis sebagai pribadi dewasa di hadapan kedua orang tuamu. Kau malu karena telah menjadi pribadi yang rapuh. Rasanya seperti telah gagal dalam hidup. Bagaimana caranya membahagiakan orang tua kalau berdiri dengan kakimu sendiri saja kau tak bisa?. Memang pecundang. Menurutmu seperti itu.

Orang tuamu memaklumi dan memelukmu erat. Mereka adalah sosok yang telah melihat baik dan buruk dunia jauh lebih banyak darimu
"Ayah dan Ibu tetap bangga sama kamu. Kita tahu, kamu selalu berusaha. Pintu rejeki selalu ada bagi orang yang mau berusaha"
Ibu memelukmu semakin erat. Setidaknya kau dapat berpikir bahwa masih ada hal baik yang terjadi dalam hidupmu. Kau masih punya tempat untuk berpulang. Setidaknya kisahmu mungkin tidak seburuk yang lain, entah. Setiap orang mempunyai kisah masing-masing yang hanya sang empunya kisah yang tahu.

Ada satu nasihat Ibu yang bermakana. Bahwa kita sebagai umat manusia jangan melupakan Sang Perancang Kehidupan. Selama ini mungkin yang kau salahkan adalah hidup yang menyebalkan. Tetapi kau lupa untuk datang kepada Sang Perancang. Kau lupa meminta-Nya untuk membimbing langkahmu. Kau lupa untuk kembali pada-Nya. 

Hal ini yang sering dilupakan oleh orang-orang yang beranjak dewasa. Sekarang badanmu mungkin masih kuat, entah lima puluh tahun lagi tak ada yang tahu bentuk rupamu. Tak ada yang tahu seberapa kuat lagi ragamu. Hal ini yang memang juga tak terlintas dalam benakmu kemarin sebelum Ibu menyadarkanmu. Bagaimana kau dapat bertahan jika kau tak punya pegangan dalam hidupmu?.

Kau percaya bahwa hari esok adalah hari baik. Hari ketika kau dapat membuka kesempatan baru. Kau ingin menghilangkan segala pikiran negatif dari kepalamu. Pada saat ini, kau memang adalah orang yang beruntung dan akan selalu beruntung. Entah apa yang akan terjadi, kau akan kembali melangkah bersama Tuhanmu disertai untaian doa dan kata-kata penuh makna dari orang tuamu.

Kau percaya itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun