Mohon tunggu...
Stephani Br Siregar
Stephani Br Siregar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNSRI 2019

Tetap Semangat

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Diplomasi Koersif: Efektifkah Diplomasi Koersif Saat Ini?

3 Desember 2021   12:03 Diperbarui: 3 Desember 2021   12:24 2313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Diplomasi koersif adalah salah satu bagian dari macam-macam diplomasi yang menarik dan umum, dalam melakukan hubungan antar negara dan mewujudkan esensi seni diplomasi yaitu mencapai tujuan politik dan mendorong kepentingan nasional negara tanpa melakukannya dengan perang. 

Menurut pandangan George Alexander dalam bukunya yang berjudul “The General Theory and Logic of Coercive Diplomacy” diplomasi koersif adalah bagian dari strategi militer, George berpendapat bahwa diplomasi sebagai strategi militer yang bertujuan untuk meniadakan kemampuan musuh untuk memperebutkan dan mencapai apa yang dipertaruhkan, diplomasi koersif adalah strategi politik-diplomatik yang bertujuan untuk mempengaruhi kehendak atau struktur insentif dari musuh. 

Tujuannya adalah untuk membujuk musuh agar memenuhi tuntutannya, atau untuk merundingkan kompromi yang paling menguntungkan, sambil secara bersamaan mengelola krisis untuk mencegah eskalasi militer yang tidak diinginkan. 

Pada umumnya diplomasi koersif berusaha untuk menyelesaikan krisis dan konflik bersenjata daripada perang, namun tak dapat dipungkiri bahwa diplomasi koersif juga digunakan sebagai alat untuk mencapai kepentingan diluar dari menyelesaikan konflik.

Sebelum jauh melangkah mengenai diplomasi koersif maka perlu diketahui bahwa diplomasi koersif memiliki dua elemen yang berbeda yaitu paksaan dan pencegahan. 

Pemerasan didefinisikan sebagai pembayaran apapun diperas dengan membuat tekanan pada musuh dan mengintimidasinya dengan menggunakan ancaman. 

Pemerasan pada dasarnya mirip dengan diplomasi koersif tetapi berbeda dalam kenyataan bahwa pemaksa mengambil langkah pertama untuk memaksa lawan meninggalkan sesuatu yang berharga baginya. 

Selanjutnya, paksaan dan pencegahan hanyalah dua jenis ancaman koersif. Keterpaksaan dianggap istilah lain untuk diplomasi koersif, tetapi terdiri dari penggunaan ancaman secara reaktif dan kekuatan terbatas yang diambil respons tindakan musuh (diplomasi koersif), tetapi juga penggunaan ancaman dan kekuatan terbatas dengan tujuan untuk memulai tindakan musuh (pemerasan). 

Perbedaan utama antara diplomasi koersif dan pencegahan sangat berakar pada sifat reaktif yang membedakan kedua strategi tersebut.

Konsep diplomasi koersif sejalan dengan strategi Sun Tzu, Sun Tzu mengatakan bahwa “Kamu bisa mengaku benar-benar sukses bukan ketika kamu memperoleh seratus kemenangan dalam seratus pertempuran, melainkan ketika kamu merebut musuh bahkan tanpa bertarung”. 

Hal ini merangkum konsep diplomasi koersif yaitu dengan jika membuat lawan menghentikan suatu tindakan tanpa menggunakan militer, tetapi dengan hanya mengeluarkan perintah khusus berupa sebuah kebijakan serta tuntutan yang didukung dengan ancaman hukuman bagi yang tidak mematuhinya. 

Jelas, ancaman itu harus kredibel dan cukup kuat untuk meyakinkan lawan bahwa kepentingannya adalah untuk memenuhi tuntutan itu. Suatu negara dapat memaksa lawannya yang mengancam melalui konsekuensi politik seperti pengusiran dari organisasi internasional, sanksi ekonomi, seperti embargo dan penangguhan perjanjian ekonomi atau penggunaan kekuatan. 

Diplomasi koersif menawarkan alternatif lain selain dari ketergantungan penggunaan pada kekuatan militer, yaitu kekuatan yang didasarkan pada ancaman kekuatan yang membuat aktor lain menuruti keinginan seseorang. 

Oleh karena itu, dalam diplomasi koersif, kekuatan tidak digunakan sebagai bagian dari strategi militer yang konvensional akan tetapi sebagai komponen dari strategi politik-diplomatik yang bertujuan untuk membujuk musuh agar mundur. Ini adalah instrumen psikologis yang lebih fleksibel dibandingkan dengan penggunaan 'fisik, cepat dan tegas' yang dibuat dalam strategi militer. 

Tidak seperti strategi militer konvensional, ancaman dan penggunaan kekuatan dalam diplomasi koersif dibarengi dengan komunikasi, negosiasi yang jelas untuk membuat lawan menyadari niat, motivasi dan kredibilitas seseorang di setiap langkah krisis yang sedang berlangsung.

Dapat disimpulkan bahwa diplomasi koersif sangat kontekstual, keberhasilannya bergantung pada efektivitasnya dalam menjalankan fungsi dari jenis provokasi, besarnya motivasi atau tujuan dalam melakukan diplomasi koersif terhadap musuh, citra aktor tentang destruktifitas perang, tingkat urgensi waktu yang diberikan, ada tidaknya sekutu di kedua sisi, ketakutan musuh terhadap besarnya ancaman dapat diterima jika menolak melakukan permintaan, kekuatan dan efektivitas kepemimpinan, hubungan pascakrisis yang diinginkan dengan musuh, dukungan domestik dan internasional yang memadai. 

Dan lagi konsep diplomasi koersif memiliki kesamaan dalam konsep strategi Sun Tzu, keberhasilan dalam menjalankan diplomasi koersif juga di tentukan oleh kapabilitas seorang dalam pemimpin, khususnya di bawah kondisi krisis yang penuh tekanan dan pentingnya para pemimpin politik memiliki pemahaman yang baik tentang pemimpin musuh, pola pikir mereka dan kendala domestik. 

Pertimbangan utama lainnya adalah bagaimana para pemimpin menggabungkan taktik yang berbeda, dalam urutan tertentu, dan pada kecepatan apa dalam hal waktu, yang semuanya mencerminkan keterampilan dalam improvisasi.

Diplomasi koersif dapat dilihat pada kasus Afghanistan, setelah serangan teroris mengejutkan 9/11 ke menara Kembar, pemerintah AS sampai pada kesimpulan bahwa Al Qaeda dan pemimpinnya Osama bin Laden adalah dalang dalam rencana tersebut. 

AS kemudian memutuskan untuk menangkap Osama bin Laden dari pangkalannya di Afghanistan yang dikuasai Taliban, di mana ia dapat merencanakan aksi teroris 9/11 plot dalam isolasi. Proses pemaksaan oleh pemerintah AS terdiri dari melakukan tekanan pada Taliban untuk menyerahkan bin Laden. Itu dilakukan selama hampir tiga puluh hari, tetapi Taliban menolak untuk menyerahkan pemimpin mereka. Untuk alasan ini, pasukan militer AS melancarkan serangan udara dengan bekerja sama dengan Aliansi Utara. 

Taliban dikalahkan dan pemerintahan sementara diberikan oleh Aliansi Utara anti-Taliban di Kabul telah didirikan. Selama periode pemaksaan diterapkan, pasukan militer AS masih siap untuk menyerang kelompok Taliban tetapi ini tidak berarti bahwa pasukan AS akan menyerang bahkan jika Taliban telah sesuai dengan tuntutan Amerika Serikat. 

Alasan yang kredibel mengapa pasukan masih berada dibawah wilayah Afghanistan adalah untuk sepenuhnya memastikan kepatuhan Taliban tanpa alternatif. Tapi yang menjadi pertanyaanya adalah mengapa tuntutan yang diajukan kepada Taliban tidak diterima ? hal ini terjadi dikarenakan pada 2001 adanya ambiguitas atas kebijakan AS terhadap perubahan rezim yang pada Afghanistan sehingga menyebabkan kesalahpahaman.

Kasus yang ada terjadi pada Afghanistan menunjukkan kegagalan penerapan diplomasi koersif karena menunjukkan keterbatasan target dengan sebuah sistem kepercayaan yang bertentangan dan ini adalah contoh yang jelas dari pemaksaan negara sponsor terorisme. Kegagalan AS dalam mendefenisikan konflik Afghanistan Taliban mengagalkan jalannya diplomasi koersif terjadi. 

Kasus 9/11 dianggap sebagai akar dari permasalahan Afghanistan, namun pada kenyataannya jauh sebelum kasus serangan  9/11 pemerintah AS sudah ikut membantu kelompok Taliban dalam mengusir Uni Soviet pada masa perang dingin. 

Dalam Kasus Afghanistan juga tidak memiliki jaminan yang pasti atas siapa yang bertanggung jawab atas provokasi tersebut (Osama bin Laden) berbeda dari target pemaksaan (Taliban) dan motivasi selama proses koersif tidak berpihak pada AS. AS juga tidak memiliki tujuan yang jelas dalam memberikan diplomasi koersif terhadap Afghanistan sehingga menghadirkan kebijakan yang ambigu. 

Diplomasi koersif yang dilakukan oleh pemerintah AS masuk kedalam tiga langkah yaitu : 1) tuntutan; 2) batas waktu atau rasa urgensi yang jelas; 3) kredibilitas ancaman hukuman. 

Namun pemerintah AS gagal dalam menerapkan tiga langkah diplomasi koersif tersebut dengan tepat. Pertama, pemerintah AS gagal dalam mendefenisikan konflik di Afghanistan sehingga berakibat menghadirkan tuntutan yang tidak tepat sasaran. Kedua, pemerintah AS melakukannya tidak mengumumkan batas waktu yang jelas tetapi rasa urgensinya jelas, namun ini dapat menyebabkan risiko kegagalan yang berbeda. 

Risiko pertama adalah bahwa target mungkin memutuskan untuk memenuhi tuntutan adalah dianggap tidak bermoral dan memalukan. Yang kedua adalah bahwa bahkan jika targetnya takut dengan risiko tingkat ancaman, mungkin masih lebih suka berperang dan tidak menerima tuntutan. 

Terakhir, target mungkin mencoba untuk mengurangi ancaman dengan menerima beberapa tuntutan namun, tanggapan masyarakat internasional bahwa ancaman yang diberikan pemerintah AS tidak tepat sasaran sehingga bukannya membantu menyelesaikan konflik tetapi menambah beban rakyat Afghanistan. 

Dari rencana yang gagal dalam menjalankan diplomasi koersif pemerintah AS kurang mendapat dukungan dari masyarakat internasional akibatnya langkah selanjutnya dari pemerintah AS menyelesaikan konflik Afghanistan akan lebih ditinjau.

Pada akhir perang dingin diplomasi koersif sudah menjadi alat yang populer bagi pemerintah AS meskipun AS sudah sering menggunakan diplomasi koersif sebagai cara untuk menyelesaikan konflik atau mencapai kepentingan negaranya, namun pada kenyataannya menurut Robert Art didalam penelitiannya mengenai diplomasi koersif sekaligus sebagai seseorang yang membentuk kebijakan AS selama 12 tahun berpendapat bahwa diplomasi koersif lebih sering gagal daripada berhasil. 

Melihat dari variabel-variabel komponen diplomasi koersif akan sulit untuk suatu negara mengancam musuh jika tidak memiliki persiapan yang kuat, tidak hanya dikarenakan tujuan politik sering akan berubah selama tindakan diplomatik koersif dan juga sulit untuk menentukan keberhasilan kebijakan yang jelas. 

Seorang pemimpin juga menjadi bagian faktor penentu keberhasilan diplomasi koersif, jelas seorang pemimpin seharusnya mempunyai perencanaan yang tepat tetapi perlunya intelijen intensif dan membutuhkan informasi yang sangat akurat tidak hanya pada kerentanan lawan, tetapi analisis ekonomi dan politik dari kemungkinan reaksi mereka terhadap penerapan berbagai tingkat dan jenis kekuatan militer juga perlu diketahui oleh seorang pemimpin. 

Pada kenyataannya juga diplomasi koersif sulit untuk dipertahankan dalam waktu jangka yang panjang, hal ini dikarenakan sangat sulit untuk mempertahankan dukungan politik untuk melakukan diplomasi koersif terlebih lagi diplomasi koersif ditentang untuk dilakukan dalam organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa ataupun NATO. 

Diplomasi koersif yang berhasil akan membutuhkan koordinasi antara kata-kata dan tindakan. Ancaman memainkan peran sentral dalam strategi koersif. Seberapa kuat ancaman atau bujukan itu perlu bergantung pada apa yang dituntut seseorang, dan seberapa tahan musuh terhadap kepatuhan. 

Selain itu, keberhasilan atau kegagalan diplomasi koersif seringkali tergantung pada keseimbangan motivasi di antara para pihak. Apakah kekuatan pemaksa lebih termotivasi untuk mencapai tuntutannya daripada pihak lawan yang melawan? Karena faktor-faktor ini, pilihan permintaan mengambil kepentingan strategis. Umumnya, semakin besar permintaan, semakin kuat resistensi lawan. 

Akhirnya, persepsi musuh tentang motivasi dan komitmen kekuatan pemaksa, dan penilaian musuh terhadap kredibilitas dan potensi ancamannya, memainkan peran paling signifikan dalam menentukan keberhasilan atau kegagalan strategi koersif. 

Pada akhirnya diplomasi koersif sampai saat ini masih diterapkan sebagai alat penyelesaian konflik Aatau untuk mencapai kepentingan, keefektifan atau tidak efektifnya diplomasi koersif bergantung pada keberhasilan dalam menjalankan langkah-langkah diplomasi koersif.

Levy, J. S. (2008). Diplomacy:, Deterrence and Coercive: The Contributions of Alexander George. Australia: International Society of Political Psychology.

NINA WILÉN, P. D. (2018). The African Union and coercive diplomacy: the case of Burundi. Journal of Modern African Studies, 1-23.

Rahim, M. H. (2019). Diplomasi Koersif Amerika Serikat-Iran. Jurnal ICMES , 1-26.

Schettino, I. (2009, June 29). Is Coercive Diplomacy a Viable Means to Achieve Political Objectives? Retrieved from e-ir.info: www.e-ir.info

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun