Beberapa tahun lalu, saya memutuskan hengkang dari Kompasiana. Alasannya? Verifikasi data pribadi dengan KTP.Â
Seolah-olah saya perlu menunjukkan KTP hanya untuk menulis artikel! Saya merasa sedikit paranoid. Bayangkan, jika KTP saya tiba-tiba digunakan calon independen pilkada tanpa sepengetahuan saya. Repot, bukan?
Pada saat yang sama, saya juga menutup beberapa akun media sosial. Waktu itu, rasanya seperti berada di pesta yang terlalu bising, di mana semua orang berteriak sesukanya. Saya merasa stres dan burnout, lalu memutuskan hibernasi dari medsos.
Tetapi saya tidak bisa benar-benar meninggalkan medsos. Medsos membuat saya merasa menjadi bagian dari sebuah komunitas. Di era kita, medsos mengisi kerinduan kita sebagai makhluk sosial.Â
Meskipun Kompasiana menawarkan rasa komunitas, saya tidak tertarik untuk kembali. Saya tetap berlangganan dengan Kompas.id, namun tidak tertarik ke Kompasiana. "Lagipula saya bukanlah penulis aktif," saya selalu membatin.
Baru-baru ini, tanpa sengaja, scrolling membawa saya ke laman Kompasiana. Kata "Premium" menarik perhatian saya. Tidak ada yang namanya makan siang gratis. Bahkan di Internet, yang menawarkan ilusi tentang akses gratis. Fitur Premium Kompasiana bagi saya bukan sekedar bebas dari gangguan iklan. Ini adalah upaya edukasi publik bahwa konten berkualitas ada harganya.Â
Ini baik bagi kreator konten, sehat untuk pembaca, dan harapan masa depan bagi media dan jurnalisme. Konten gratis telah menjadikan media dan jurnalisme di bayang-bayang kuasa iklan dan klik, yang telah menjadi tirani. Masa depan jurnalisme ada di tangan pembaca yang membayar. Saya dan banyak orang, sedih  kehilangan majalah seperti Bobo, Hai, dan Intisari yang telah menemani kita dari kanak-kanak hingga dewasa. Baru-baru ini ada kabar, Majalah Gatra berhenti beroperasi sepenuhnya pada akhir bulan ini. Tidak ragu saya mengatakan, "Gatra adalah korban dari budaya gratisan, di mana iklan dan klik menjadi tiran."
Jadi kata "Premium" itulah yang membuat saya memutuskan kembali. Ada harga yang harus kita bayar untuk menikmati artikel yang baik dan memastikan kelanjutan media, termasuk masa depan para pencerita budaya di Kompasiana.
Kembali ke Kompasiana, saya merasa seperti anak hilang yang kembali ke rumah setelah perjalanan panjang. Mungkin akan sedikit bingung dengan teknologi baru di platform ini. Saya senang melihat penulis "maestro" seperti  Pak Tjiptadinata  masih aktif, dengan tulisan-tulisan yang gurih dan penuh wawasan. Rasanya seperti menemukan makanan favorit yang lama hilang.
Meskipun saya bukanlah penulis yang produktif, saya senang mengetahui bahwa beberapa tulisan saya dikutip orang lain dan bahkan artikel ini menginspirasi penerjemahan buku tentang pelaut di kota kami. Siapa sangka?
Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa meskipun "gratis" sangat menggiurkan, itu kurang mendidik. Kita kadang-kadang merasa memiliki privilege menikmati sesuatu yang gratis: misalnya menikmati Netflix dari akun kerabat atau file pdf Majalah Tempo yang di share di Whatsapp group. Kualitas sering kali memerlukan biaya---baik dalam bentuk uang maupun usaha. Rasanya kurang etis menikmati karya jurnalistik atau seni yang diproduksi dengan biaya mahal, seringkali dengan bertaruh nyawa.Â