Dalam dua pekan terakhir ini, kata "kebohongan" bergulir menjadi gempita politik. Pernyataan para tokoh lintas agama yang ditafsir oleh berbagai media sebagai tuduhan kebohongan publik pemerintahan SBY, telah menyulut sumbu diskusi public mengenai prilaku dan klaim kalangan elite penyelenggara Negara yang ditenggarai banyak bohongnya. Tepatkah istilah "kebohongan", dipakai menggambarkan pola tingkah komunikasi para pemimpin kita?
Simaklah reaksi para politisi kita, birokrat, termasuk penegak hukum kita dalam kasus Bank Century , pembunuhan direktur PT Putra Rajawali Banjaran, serta gonjang-ganjing kasus mafia pajak dan mafia peradilan. Adakah kita menyaksikan sosok yang suka bersilat kata, mengaburkan informasi dengan permainan kata bersayap, yang dibungkus dengan penampilan smart dan jargon-jargon yang canggih.
Littlejohn (2009) menjelaskan fenomena berbohong tingkat tinggi dengan mengutip Judee Burgon berikut:
"Para pemasar telah lama mengetahui dan para politikus serkarang menerapkannya, pentingya menambahkan dugaan yang cukup rendah, sehingga Anda dapat menyimpangkannya secara positif. Penyimpangan tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang negative. ..Triknya adalah dengan memastikan bahwa Anda cukup dihormati untuk memenuhi persyaratan sebagai pelaku komunikasi yang sangat menyenangkan, sehinggga Anda dapat menyimpangkan dugaan dengan aman..."
Kebohongan, dalam arti berbohong dan dibohongi, adalah pengalaman sangat umum interaksi kita sehari-hari. Sedemikian, sehingg kita mempunyai banyak sekali istilah yang sepadan. Berbohong adalah tindakan berdalih, berhelat, berkilah, berlik, berpura-pura, membohong, membual, mencari-cari ala an, mendusta, mengada-ada, mengarut. (Tesaurus Bahasa Indonesia].
Ada kecenderungan sikap permissive pada prilaku kebohongan, terutama di tingkat personal karena dianggap tidak berdampak sosial secara nyata. Tetapi, dalam tataran elite,"kebohongan" jauh lebih kompleks. Kepiawaian dan kecanggian cara berbohong kaum elite sesungguhnya suatu kejahatan, karena selain berdampak luas juga mencederai kepercayaan publik.
Dalam terminologi komunikasi, "berbohong" adalah tindakan komunikasi yang memanipulasi informasi, perilaku dan citra pelakunya. Sebagai pelaku komunikasi, pembohong (orang yang berbohong) menggunakan banyak kendali atas semua perilakunya, tetapi bersamaan dengan itu, tetap saja ada bagian yang diluar kendalinya, yang bisa dicurigai penerima sebagai tanda-tanda kebohongan.
Dalam komunikasi timbal balik itu, pengirim yang berbohong cenderung akan dihantui ketakutan. Sementara penerima akan cenderung menjadi curiga. Tingkat ketakutan pembohong serta tingkat kecurigaan penerima, menentukan kemampuan deteksi kebohongan yang terjadi. Karena itu, bukan hal yang mengherankan jika sekarang ini semakin semakin public merasa dibohongi, kebohongan di negeri ini pun semakin terang-benderang.
Teori Kebohongan
Judee Burgon adalah teoritisi komunikasi yang bersama koleganya memperkenalkan Teori Kebohongan Interpersonal (Interpersonal-Deciption Theory). Buller dan Burgon meneliti kebohongan sebagai bagian dari interaksi yang terus berlanjut antarpelaku komunikas yang maju dan mundur, dalam arti melibatkan pengirim dan penerima timbal balik. Pengirim pesan bohong biasanya penasaran apa kebohongannya berhasil atau tidak. Penerima mungkin saja melihat tanda-tanda yang membuatnya memliliki alasan untuk curiga.
Dalam teorinya, Buller&Burgoon mengatakan kebohongan melibatkan manupulasi informasi, perilaku dan citra seseorang yang dilakukan dengan sengaja untuk membuat orang memercayai kesimpulan atau keyakinan yang palsu. Seseorang yang berbohong, akan menggunakan perilaku yang mengaburkan informasi yang sebenarnya, atau memberi informasi yang tidak lengkap, tidak berhubungan, tidak jelas atau tidak langsung. Namun, penerima sering kali mengetahui penggunaan strategi ini dan dapat curiga bahwa mereka sebenarnya tengah dibohongi. Pelaku komunikasi yang berbohong dalam tingkat yang bervariasi mengalami ketakutan.
Ketakutan dan kecurigaan dalam kaitan kebohongan ini dapat menyebabkan munculnya perilaku yang diatur secara strategis. Tetapi bersamaan dengan itu, akan muncul menampakkan diri dalam prilaku-prilaku nonstrategis atau prilaku yang tidak termanipulasi.
Di pengadilan, pelaku kejahatan yang jenius sering dengan piawai memainkan kendali ini dalam keterangannya. Tetapi, para penegak hukum yang jeli justru lebih bisa membonkar kebohongan dari pada mesin lay detector. Tindakan Gayus meraih catatan dalam jumpa pers usai sidang putusannya dapat diidentifikasi sebagai tindakan strategis, tindakan yang sudah direncakan. Tetapi gerak tubuhnya bisa dibaca sebagai tindakan nonstrategis. Seorang ahli Psikologi Forensik dalam satu wawancara televisi mengatakan Gayus Tambunan ini adalah model seorang yang jenius dan punya kendali tingkat tinggi. Ahli itu mengidentifikasi setidaknya dua tindakan diluar kendali Gayus Tambunan antara lain ketika mengakui ke Bali karena rindu keluarga dengan mata berkaca-kaca.
Buller&Burgoon menyebut" bias kebenaran" yang membuat kita cenderung kurang waspada kebohongan dan " bias kebohongan" yang mendorong kita lebih menonjolkan kecurigaan pada tindakan kebohongan. Kita bisa berlebihan mencurigai bahwa orang berbohong padahal senyatanya tidak demikian. Sisi lain, jika kita terus menerus dibohongi, ada kemungkinan kita akan cenderung memercayai dengan sedikit kecurigaan saja. Dalam konteks ini, bagus juga ada peringatan para tokoh lintas agama kita.
Pertemuan tokoh Agama dengan Presiden SBY sebetulnya kesempatan menunjukkan di mana letak kebohongan yang dicurigai tengah terjadi. Sayangnya, selain dianggap tidak substantive oleh peserta, dialog tertutup itu justru semakin meningkatkan kecuriagan publik. Dalam perkembangannya, Badan Pekerja Gerakan Tokoh Lintas Agama, kelompok ini mencanangkan tahun 2011 sebagai tahun anti kebohongan pemerintah dan membuka rumah pengaduan kebohongan publik yang bertujuan untuk mensosialisasikan sekaligus menjaring data kebohongan pemerintah.
Deteksi Kebohongan
Teori Kebohongan bisa dipakai untuk mendeteksi kebohongan di tingkat personal maupun public . Kemampuan kita berbohong atau mengetahui kebohongan pertama-tama dipengaruhi tuntutan yang kita alami saat berkomunikasi. Rasa penasaran kita mengenai kebohongan kaum elit penyelenggara Negara, adalah modal besar menelanjangi kebohongan yang ada. Tetapi, dengan banyaknya issu yang dikembangkan, perhatian publik menjadi terpecah. Jika beberapa hal terjadi bersamaan, atau jika komunikasinya kompleks dan melibatkan banyak tujuan, kita bisa kehilangan kendali atau tidak bisa mencermati dengan seksama.
Ketika Anda berbohong, Anda biasanya akan menggunakan banyak kendali atas bagaimana kita mengatur informasi, perilaku, dan citra (semua prilaku strategis); pada saat yang sama beberapa prilaku Anda yang tidak dikendalikan (non-strategis) kadang bocor dan diketahui orang lain, tergantung dari motivasi dan kemampuan mereka. Dalam situasi sangat interaktif, Anda sering kali lebih focus memeperhatikan tindakan-tindakan nonstrategis yang pada gilirannya mengurani kemampuan Anda mendeteksi kebohongan.
Para penegak hukum yang benar-benar serius membongkar kejahatan, publik yang benar-benar ingin mengetahui siapa yang doyan berbohong, selalu punya jalan mengenali tanda-tanda yang patut dicurigai sebagai tindakan berbohong.
Nenek moyang kita berkata, "Sepandai-pandai tupai melompat, jatuh juga". Begitu juga para pembohong. Sepandai-pandainya menyembunyikan rahasia kejahatan, selalu ada yang diluar kendali. Inilah cela yang bisa digunakan membongkar kebohongannya. Jadi, hati-hatilah. Entah Anda yang berupaya berbohong, entah pihak lain tengah berupaya membohongi Anda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H