Mohon tunggu...
Stepanus WB Kapoda
Stepanus WB Kapoda Mohon Tunggu... Dosen - Dosen

Pencinta traveling dan kebudayaan yang jatuh hati pada jurnalisme.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

9 September Specla bersemi, bersinar sarinya!

9 September 2010   02:45 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:20 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

[caption id="attachment_253858" align="alignleft" width="300" caption="Warga Sarang Gagak Asyik Belajar Bahasa Latin"][/caption]

Hari ini, 9 September 2010 tiga hari jelang peringatan tragedi serangan WTC di Amerika Serikat, Seminari Menengah St. Petrus Claver di Makassar merayakan HUT-nya. Bagi Seminaris (warga Sarang Gagak), 9 September adalah hari yang senantiasa di tunggu. Ada pesta, ada makluk2 asing namun indah dipandang yang biasanya berdatangan. Seluruh warga yang bahagia menampilkan kreativitas yang menakjubkan dalam pesta Panggung Gembira yang biasa digelar di halaman sekaligus lapangan bola kebanggaan seluruh warga.

Sekian lama saya tidak menengok Sarang Gagak, tetapi yakin kegembiraan yang sama masih dirasakan dengan antusiasme yang sama warga di sana. Sementara orang menyebut Sarang Gagak sebagai jantung Keuskupan Agung Makassar. Mungkin itu sebabnya, tak banyak orang yang mengenalnya. Bukankah orang biasanya ingat jantung mereka setelah harus berhubungan dengan Dokter ahli Jantung? Begitu kira-kira nasib Sarang Gagak. [caption id="attachment_253856" align="alignleft" width="300" caption="Dari Pintu Sarang Gagak, kami melangkah pasti"][/caption] Dalam diam, jantung itu terus bekerja. Menjadi tempat bersemi tunas-tunas muda, yang nantinya bersinar ketika warga masyarakat menikmati sarinya. Sarang Gagak dalam diam telah menyumbangkan kepada Bangsa, dan terutama Gereja alumni-alumni yang cakap dan berkepribadian. Dalam diamnya Sarang Gagak sudah mencetak Dua Uskup, pemimpin tertinggi dalam Gereja setempat dan akan terus bertambah. OC Kaligis, pengacara terkenal juga pernah menjadi warga SarangGagak. Berikut saya kutip sekilas profil  Mgr.Dr. Petrus Bodeng Timang, Pr yang Bersemi di Sarang Gagak dan kini Bersinar Sarinya di tengah warga Keuskupan Banjarmasin. ProfilMgr Petrus Timang Mgr. Petrus Timang dilahirkan di sebuah desa terpencil, Malakiri, tepatnya tanggal 7 Juli 1947. Keinginan menjadi Imam didahului semangat untuk bisa sekolah. Sekolah yang baik hanya ada di Rantepao, kira-kira 9 km dari desa saya. Beruntunglah bagi Mgr. Petrus Timang karena pada waktu itu Gereja Katolik (Misi) membuka Sekolah Rakyat Katolik, sehingga saya tak perlu lagi ke Rantepao untuk menempuh pendidikan Sekolah Dasar di sana. Di Sekolah Rakyat Katolik itulah Mgr. Petrus Timang bersekolah hingga kelas VI. Di sekolah itu, 2 bulan sebelum tamat, Mgr. Petrus Timang dibaptis menjadi Katolik oleh P. Anton Godefrooy, CICM. Di situ pula, seorang guru bercerita tentang Sekolah Seminari, dengan impian “Orang akan menjadi pintar dan biaya sekolah sangat murah karena uang sekolah dan asrama ditanggung oleh Gereja.” Hal itulah yang kemudian memberinya motivasi sehingga setelah tamat, Mgr. Petrus Timang bersama temannya yang bernama Paulus melanjutkan studi ke Seminari Santo Petrus Claver yang terletak di jalan Gagak, Makassar. Mgr. Petrus Timang dan Paulus adalah rombongan kedua dari desa mereka yang masuk Seminari. Menjadi Imam adalah sesuatu yang terjadi tanpa planning, tetapi secara “kebetulan” – tumbuh dalam diri, terasah dan tertempa dari binaan selama dalam dunia pendidikan di seminari kecil itu. Pada akhirnya Imam adalah panggilan Mgr. Petrus Timang dan akan beliau teruskan sampai akhir hidupnya. [caption id="attachment_253857" align="alignleft" width="200" caption="Dua Uskup dari Sarang Gagak: Mgr. Jhon Liku Ada' dan Mgr. Petrus Timang"][/caption] Berikut petikan wawancara wartawan HIDUP dengan Mgr. Petrus Timang tentang kehidupan masa kecil beliau hingga menjadi imam dan dipilih oleh Takhta Suci Vatikan sebagai Uskup Keuskupan Banjarmasin Menurut data yang saya peroleh, Monsinyur dilahirkan di wilayah Keuskupan Agung Makassar, mungkin Monsinyur bisa menceritakan sedikit tentang tempat dimana Monsinyur dilahirkan (Malakiri – Tana Toraja)? Suasana saat itu dan saat ini? Saat Monsinyur dilahirkan, tentu Indonesia masih berada dalam jaman perang kemerdekaan, dimana sekitar tahun 1947 itu dalam sejarah terjadi Agresi Militer Belanda II dan Indonesia baru saja merdeka. Jadi saya lahir menurut catatan 7 Juni 1947 di desa kelahiran saya Malakiri (kira-kira 7 km dari Kota Rantepao) – Tanah Toraja, masih pada jaman revolusi – jaman yang sulit sekali. Apalagi tidak lama sesudah itu, beberapa tahun sesudah saya lahir, Bapak saya meninggal. Sehingga tinggalah kami 5 orang bersaudara tanpa ayah, dan seorang ibu yang tidak punya penghasilan, tidak punya pendidikan; harus membesarkan 5 anak. Anak pertama perempuan, kemudian meninggal, anak kedua laki-laki lalu saya (nomor 3), yang keempat laki-laki dan anak kelima perempuan. Adik saya yang kelima ini tidak sempat melihat ayah, karena ketika masih dalam kandungan, ayah sudah meninggal. Selang beberapa waktu kemudian setelah ayah meninggal,  kakak yang pertama meninggal juga karena sakit. Lalu ibu mengambil  2 anak angkat, sehingga kami menjadi 6 bersaudara. Empat saudara sekandung,  satu  anak kemenakan perempuan dari ibu dan satu lelaki anak tetangga yang dipelihara sebagai anak sendiri. Bagaimana masa kecil Monsinyur? Memiliki berapa orang saudara? Bagaimana situasi dalam kehidupan keluarga Monsinyur saat itu? Pernah ikut tentara pelajar, organisasi kepemudaan atau sejenisnya? Tahun 1953, saya masuk sekolah Rakyat (SR) Katolik dan tamat pada tahun 1959 (selama 6 tahun disitu). Pada pesta Paskah, tepatnya April 1959 saya dibaptis menjadi Katolik oleh Pastor Misionaris P. Anton Godefrooy, CICM (alm). Sesudah kelas 6 itu, saya ditawari oleh seorang guru masuk sekolah seminari di Makassar. Sebagai anak desa, ‘masuk seminari” adalah sesuatu yang luar biasa. Apalagi letaknya jauh di sana….  di sebuah kota yang selalu menjadi kebanggaan orang desa bisa berada di sana, – Makassar -.  Mendaftarlah kami bertiga, satu orang tidak diterima, sehingga kami berdua saja yang berangkat ke Makassar. Sewaktu akan ke  Makassar, ibu saya menangis sedih, Ia tidak mengijinkan saya pergi, karena waktu itu saya masih berusia 12 tahun (anak kecil) yang harus pergi merantau ke Makassar dengan menempuh perjalanan yang cukup jauh (jaman gerombolan DI/TII, kekacauan dan penghadangan dimana-mana pada saat itu) menumpang mobil dengan pengawalan ketat tentara ke Palopo – suatu kota pelabuhan – terletak + 70 km  dari desa tempat asal saya. Dari situ kami harus menumpang kapal laut sehari semalam menuju Makassar. Lama perjalanan dari Rantepao, Tana Toraja ke Palopo setengah hari dengan iring-iringan truk tentara,  beberapa hari lagi harus menunggu Kapal laut di Palopo, dan sehari semalam berlayar baru tiba di Makassar.  Pada masa sekarang ini, perjalanan dari Makassar ke Rantepao dengan mengenderai mobil dapat ditempuh dalam rentang waktu 5 atau 6 jam saja. Nah waktu itu saya sudah mengatakan, “Mama, jika ini bukan jalan hidup saya, saya pasti akan kembali“. Artinya saya jalani pendidikan di Seminari mulai tahun 1959 itu sebagai anak kecil, bersama dengan teman-teman lain, ada yang dari kota, ada yang dari desa seperti saya. Ya, akhirnya tiap tahun lolos terus. Akhir 1966 – selesai Gestapu, terjadi perubahan kurikulum akhir sekolah – tahun sekolah kami diperpanjang – tahun ini pula, saya menyelesaikan pendidikan Seminari menengah dan pada akhir tahun 1966 saya melanjutkan studi ke Seminari Tinggi Santo Paulus di Yogyakarta,  waktu itu seminari itu masih di Jalan Code. Jadi akhir 1966 saya sudah menginjak Yogya, waktu ini pergumulannya berat sekali. Mama saya sekali lagi menangis-nangis, “Kenapa kau pergi jauh-jauh begitu? Saya sudah tua dan seterusnya, dan seterusnya” saya tetap bilang, “Mama, jika ini bukan jalan hidup saya, saya pasti kembali” Begitu saya jalani sampai saya ditahbiskan menjadi imam. Jadi mulai saya kuliah di Sungai Tinggi sampai Januari tahun 1967, tahun sekolah waktu itu mulai tahun 1967, lalu Januari tahun 1968 pindah ke Kentungan, saya ikut memindahkan perabot dari jalan Code ke Kentungan. Teman-teman yang tinggal satu kota bertemu Ibu, sedang kami yang jauh-jauh ikut kerja bakti. Mulai tahun sekolah 1968, itu berjalan terus sampai tahun 1973 saya selesai Teologi dan Januari 1974 saya ditahbiskan Imam di Tanah Toraja di kota kabupaten Makale bersama dengan 2 teman. Teman-teman saya yang lain sudah ditahbiskan Desember 1973 di kampung halamannya di Pulau Muna. Silakan baca lebih lengkap di sini: http://msfmusafir.wordpress.com/2008/11/21/perjalanan-hidup-mgr-p-timang-pr/ Saya mengenal Mrg. Timang sebagai pria sederhana, ramah dan hangat. Semasa di Makassar sering diundang komunitas-komunitas non Katolik, terutama dalam dialog-diolog interfidei. Sosoknya sungguh membuat semboyan Specla: Semi Sinar Sari menjadi nyata dan hidup. Bagaimana semboyan itu dihidupi para seminaris di Sarang Gagak? Non scolae set vitae dissimus. Saya percaya warga dan alumni Sarang Gagak tahu arti semua itu. Dirgahayu Specla!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun