Mohon tunggu...
Stenus Jacub Kartutu
Stenus Jacub Kartutu Mohon Tunggu... Human Resources - Mahasiswa S3 Universitas Sahid Jakarta

Saya seorang pekerja sekaligus mahasiswa S3. Topik konten favorit saya merupakan manajemen, organisasi dan komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Mengungkap Aspek Konsumerisme di Indonesia

15 Desember 2024   20:08 Diperbarui: 16 Desember 2024   11:37 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Konsumerisme. (Sumber: Karolina Grabowska via kompas.com)

Pendahuluan

Konsumerisme sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan modern, termasuk di Indonesia, dan perilaku konsumsi masyarakat semakin ditentukan oleh pasar dan industri. 

Fenomena ini tidak hanya mencakup pembelian produk, namun juga  gaya hidup kita dibentuk oleh gambaran yang disajikan oleh media. 

Di balik hal ini terdapat apa yang disebut  kebutuhan palsu, yaitu keinginan yang diciptakan oleh pasar yang tidak mencerminkan kebutuhan individu yang sebenarnya. 

Fenomena ini semakin diperburuk dengan adanya tekanan sosial untuk mengikuti tren dan gaya hidup tertentu. Perspektif  filsuf Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse, memberikan kerangka analitis untuk memahami fenomena ini secara komprehensif.

Kebutuhan Palsu dari Perspektif Herbert Marcuse Dalam bukunya One-Dimensional Man (1964), Herbert Marcuse menawarkan kritik tajam terhadap masyarakat kapitalis modern. Ia berpendapat bahwa kapitalisme tidak hanya menciptakan kebutuhan material tetapi juga kebutuhan palsu. 

Menurut Marcuse, kebutuhan palsu  diciptakan oleh industri dan pasar untuk mempertahankan sistem kapitalis dan menjaga individu tetap terperangkap dalam siklus konsumsi tanpa akhir.

Kebutuhan palsu ini tidak muncul dari kebutuhan manusia yang sebenarnya seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan, tetapi justru berfungsi untuk mempertahankan kepentingan ekonomi  industri. 

Media dan teknologi digunakan sebagai alat untuk menciptakan dan memperkuat kebutuhan palsu melalui propaganda konsumerisme. 

Dalam konteks Indonesia, praktik ini terlihat jelas dalam promosi gaya hidup mewah melalui iklan, media sosial, dan acara televisi. Misalnya, iklan yang memperlihatkan keluarga bahagia yang memiliki rumah mewah atau mobil mahal menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai melalui harta benda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun