Pendahuluan
Konsumerisme sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan modern, termasuk di Indonesia, dan perilaku konsumsi masyarakat semakin ditentukan oleh pasar dan industri.Â
Fenomena ini tidak hanya mencakup pembelian produk, namun juga  gaya hidup kita dibentuk oleh gambaran yang disajikan oleh media.Â
Di balik hal ini terdapat apa yang disebut  kebutuhan palsu, yaitu keinginan yang diciptakan oleh pasar yang tidak mencerminkan kebutuhan individu yang sebenarnya.Â
Fenomena ini semakin diperburuk dengan adanya tekanan sosial untuk mengikuti tren dan gaya hidup tertentu. Perspektif  filsuf Mazhab Frankfurt, Herbert Marcuse, memberikan kerangka analitis untuk memahami fenomena ini secara komprehensif.
Kebutuhan Palsu dari Perspektif Herbert Marcuse Dalam bukunya One-Dimensional Man (1964), Herbert Marcuse menawarkan kritik tajam terhadap masyarakat kapitalis modern. Ia berpendapat bahwa kapitalisme tidak hanya menciptakan kebutuhan material tetapi juga kebutuhan palsu.Â
Menurut Marcuse, kebutuhan palsu  diciptakan oleh industri dan pasar untuk mempertahankan sistem kapitalis dan menjaga individu tetap terperangkap dalam siklus konsumsi tanpa akhir.
Kebutuhan palsu ini tidak muncul dari kebutuhan manusia yang sebenarnya seperti makanan, tempat tinggal, dan kesehatan, tetapi justru berfungsi untuk mempertahankan kepentingan ekonomi  industri.Â
Media dan teknologi digunakan sebagai alat untuk menciptakan dan memperkuat kebutuhan palsu melalui propaganda konsumerisme.Â
Dalam konteks Indonesia, praktik ini terlihat jelas dalam promosi gaya hidup mewah melalui iklan, media sosial, dan acara televisi. Misalnya, iklan yang memperlihatkan keluarga bahagia yang memiliki rumah mewah atau mobil mahal menciptakan ilusi bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai melalui harta benda.