Realitas Konsumerisme di Indonesia
Media sosial berperan penting dalam menciptakan kebutuhan palsu di Indonesia. Dengan algoritma yang dirancang untuk menampilkan konten  paling menarik, media sosial seringkali menghadirkan gaya hidup menarik yang sulit dicapai oleh kebanyakan orang.
Pengguna merasa tertekan untuk meniru gaya hidup tersebut agar dapat diterima di lingkungan sosialnya.Â
Dalam proses ini, perilaku konsumen tidak lagi berfokus pada kebutuhan tetapi pada status dan pengakuan sosial, yang pada akhirnya menimbulkan tekanan psikologis bagi banyak orang.
Menurut Marcuse, orang yang terjebak dalam kebutuhan palsu kehilangan kemampuan  berpikir kritis tentang perilaku konsumen. Mereka menerima kebutuhan palsu tersebut sebagai kebutuhan sejati tanpa menyadari manipulasi yang sedang terjadi.Â
Hal ini terkait dengan situasi di Indonesia, dimana banyak orang yang mengeluarkan uang untuk hal-hal yang sebenarnya tidak mereka butuhkan, yang pada akhirnya berujung pada masalah keuangan dan ketidakpuasan pribadi.
Dampak Individu dan Kelompok Bagi individu, kebutuhan palsu menyebabkan stres dan kecemasan karena tekanan untuk  mengikuti tren, meskipun kebutuhan tersebut tidak berhubungan dengan kebutuhan nyata.Â
Perilaku konsumsi ini menurunkan kepuasan hidup karena individu selalu merasa memiliki lebih sedikit dari  yang dimilikinya. Secara keseluruhan, konsumsi berlebihan menggerogoti nilai-nilai tradisional seperti kesederhanaan dan gotong royong.Â
Orang cenderung menilai nilai seseorang berdasarkan apa yang dimilikinya, bukan kontribusinya terhadap masyarakat. Hasilnya adalah keterasingan sosial dan ketidakpuasan kolektif.
Dampak lingkungan juga merupakan salah satu akibat terbesar dari kebutuhan yang salah. Konsumsi  berlebihan meningkatkan produksi sampah seperti plastik sekali pakai dan barang elektronik, yang dapat dengan cepat tergantikan.Â
Perilaku konsumsi tersebut berujung pada eksploitasi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan dan mengancam ekosistem bumi.Â