Mohon tunggu...
Stefani M.Ernarasti
Stefani M.Ernarasti Mohon Tunggu... Lainnya - gemar makan sayur

Halo, apa kabar?

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manis dari Sana nya

17 Desember 2020   21:29 Diperbarui: 17 Desember 2020   23:39 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Aku seminggu di Jogja tidak bisa makan, muanis semua makanannya", begitu keluh kesah teman saya yang merantau ke Jogja. Terlintas di pikiran saya, masa sih semanis itu sampai tidak bisa makan selama seminggu? "Kenapa orang Jogja suka makanan yang manis-manis? Bakpia, gudeg, klepon, manis semua", tanpa sadar saya menjawab pertanyaan itu dengan kalimat "Sudah dari sana nya suka manis"

Daerah Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta sangat identik dengan makanan yang manis. Hingga orang Jogja sendiri tidak sadar jika setiap makanan rasanya manis. Saya kira bukan karena suka manis, namun masyarakat sudah terbiasa dengan rasa manis hingga kemudian menjadi identitas/simbol khas makanan Jogja (Samovar et al., 2010, h. 165)

Mengapa terbiasa? Jika begitu mungkinkah kedepannya masakan Jawa akan berubah menjadi asin atau gurih?

Saat penjajahan Belanda, terdapat kebijakan cultuurstelsel yang mewajibkan masyarakat untuk melakukan tanam paksa. Beberapa tanaman komoditas ekspor yang baik dibudidayakan di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah tebu dan padi. Banyak lahan pertanian diubah menjadi lahan tanam paksa dan pabrik gula, salah satu contohnya adalah Pabrik Gula Madukismo yang masih beroperasi di Yogyakarta. Eksploitasi lahan membuat masyarakat daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur kelaparan karena tidak memiliki lahan untuk menanam bahan pangan bagi mereka sendiri. Suplai tanaman tebu yang banyak membuat masyarakat harus bertahan dengan bahan pangan yang ada yaitu tebu (Hidayat, 2020).

Indonesia dengan karakteristik alam yang dominan subur memudahkan kita untuk menanam berbagai macam tanaman pangan dan pengelolaan yang beragam agar dapat dijadikan makanan (Samovar et al., 2010, h. 190). Masyarakat secara kreatif membuat berbagai macam makanan dengan bahan pangan yang ada yaitu tebu untuk bertahan hidup. Hingga akhirnya muncul makanan tradisional dengan tambahan rasa manis karena bahan pangan yang paling banyak ditemukan adalah tebu. Beberapa contoh makanannya adalah gudeg, geplak, klepon, dan lain-lain. 

Saat dihadapkan dengan lingkungan yang multikultural, bakpia yaitu makanan Tiongkok yang awalnya berupa isian daging diadaptasi menjadi kue dengan berbagai rasa seperti kacang hijau atau keju hingga sesuai dengan lidah masyarakat Jogja yang suka manis (Samovar et al, 2017, h. 200). Sampai sekarang pun bakpia khas Jogja adalah bakpia yang seperti kue bukan yang isian daging. Pesan es teh  di restoran atau di pinggir jalan pun rasanya langsung manis tanpa meminta tambahan gula seperti di Jawa Barat.

Pewarisan unsur kebudayaan yang terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya tidak lepas dari interaksi (Sambas, 2016, h.90). Pewarisan secara sengaja (ascribed) tentang kebiasaan masyarakat untuk memanfaatkan gula sebagai penambah rasa karena suplai tebu yang berlebih terjadi secara turun-temurun (Samovar et al,.2017, h.259). Budaya muncul dari kebiasaan yang dimiliki bersama dan berkembang di sekelompok orang (Sambas, 2016, h.14), kebiasaan menambahkan gula menjadi identitas region Yogyakarta yang bermula dari peristiwa keterpaksaan untuk menanam tebu saat zaman penjajahan Belanda. Dengan begitu, masyarakat menonjolkan karakteristik tertentu yang dominan dari makanan daerah Yogyakarta yaitu rasanya yang manis (Samovar et al., 2010, h. 191). Contohnya gudeg, mau di daerah mana pun gudeg dijual rasanya akan manis untuk menunjukkan rasa otentik dari Yogyakarta. 

Teman saya yang merantau memiliki pandangan tersendiri mengenai makanan Yogyakarta karena memiliki latar belakang budaya yang berbeda. Ia tidak terbiasa dengan makanan daerah Yogyakarta yang dominan manis. Pengaruh latar belakang budaya mempengaruhi identitas pribadi dan lewat komunikasi kita dapat menyatakan kesamaan dan ketidaksamaan budaya satu dengan yang lainnya. Makanan Jogja yang dominan manis tidak dapat selalu dinikmati oleh masyarakat daerah lain, tentunya beberapa orang membutuhkan adaptasi karena suatu tradisi di budaya Jogja tidak selalu berlaku di budaya lain (Martin & Nakayama, 2018, h.101). 

Budaya lain yang memiliki peristiwa sejarah yang berbeda pasti juga akan memiliki tradisi atau kebiasaan yang berbeda dengan budaya Jogja. Contohnya penyajian teh di Jawa Barat selalu tawar dan Yogyakarta selalu manis tanpa diminta seperti yang telah disebut sebelumnya. Mungkin suplai tebu di Jawa Barat tidak berlebihan sehingga masyarakat Jawa Barat tidak membiasakan penggunaan gula dalam setiap masakannya. 

Komunikasi membantu kita mengidentifikasi dan menetapkan budaya agar sesuai dengan budaya yang memiliki latar belakang berlainan dengan kita lewat percakapan yang efektif agar menghindari konflik antar budaya (Samovar et al., 2010, h. 199). Disisi lain, identitas juga berpengaruh besar pada bagaimana kita berkomunikasi dengan budaya yang berlainan dengan budaya kita (Martin & Nakayama, 2018, h. 102)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun