Sektor pertanian sebagai tulang punggung ketahanan pangan dan ekonomi pedesaan sedang dihadapkan pada tantangan besar karena minat generasi muda untuk meneruskan profesi petani yang kian menurun. Â
Dunia pertanian identik dengan dunia laki-laki. Berdasarkan data sensus BPS (2013), lebih dari 3/4 petani atau sekitar 77% adalah laki-laki dan lebih dari separuh petani berusia diatas 45 tahun.Â
Generasi muda yang diharapkan sebagai pemegang tombak estafet regenerasi petani justru banyak yang melakukan urbanisasi untuk mencari pekerjaan di kota karena pekerjaan sebagai petani dirasa kurang menjanjikan.
Rijal,et.al (2022) mendefinisikan urbanisasi sebagai suatu wilayah yang memiliki karakteristik seperti perkotaan. Menurut data Sensus Penduduk tahun 1961, urbanisasi telah menyebabkan banyak perubahan besar dan mendorong peningkatan populasi di area perkotaan di Indonesia. Hal ini mengindikasikan bahwa kota-kota di Indonesia telah menjadi daya tarik bagi penduduk pedesaan untuk mencari peluang ekonomi serta kualitas hidup yang lebih baik.
Berdasarkan data BPS (2023), persentase tenaga kerja informal sektor pertanian di Indonesia cukup tinggi yaitu diangka 88,42%. Indikator ini memberikan gambaran bahwa tenaga kerja informal di sektor ini perlu mendapat perhatian dari pemerintah dalam merancang kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja.Â
Mereka yang bekerja di sektor ini biasanya tidak memiliki perlindungan umum seperti yang diberikan dalam pekerjaan formal. Para tenaga kerja di sektor pertanian tidak mendapatkan asuransi kesehatan, jaminan hari tua, atau kontrak kerja resmi. Status pekerjaan mereka tidak tetap atau berdasarkan upah harian atau musiman.
Selain hal-hal tersebut, ada beberapa faktor lain yang berkontribusi sehingga sulitnya regenerasi petani muda, diantaranya:
a. Stereotip Sosial, profesi petani sering kali dipandang kurang bergengsi dan identik dengan kemiskinan. Pandangan ini membuat sektor pertanian menjadi kurang menarik bagi generasi muda, terutama bagi mereka yang memiliki pendidikan lebih tinggi dan cita-cita ekonomi yang lebih baik.
b. Pengaruh Keluarga, keluarga petani biasanya tidak mendorong anak-anak mereka untuk melanjutkan profesi di bidang pertanian yang mana keluarga memiliki peran penting dalam membentuk pandangan generasi muda.
c. Pendidikan, tingkat pendidikan keluarga petani umumnya rendah dan banyak anak-anak petani sering putus sekolah akibat keterbatasan ekonomi sehingga kondisi ini membatasi kemampuan mereka untuk berinovasi di bidang pertanian.
d. Dukungan yang terbatas, pemerintah sebagai fasilitator dalam mendukung regenerasi petani melalui pendidikan dan penyediaan sumber daya pada realitanya belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan petani muda secara keseluruhan.
Pada kesimpulannya, regenerasi petani muda dapat dilakukan secara optimal apabila adanya kerjasama yang baik antara keluarga petani, masyarakat sekitar dan pemerintah untuk mendukung kontribusi generasi muda dalam sektor pertanian. Hal ini akan menjadi angin segar bagi sektor pertanian di Indonesia dalam menjaga ketahanan pangan dan regenerasi petani ini akan menjadi sebuah gerakan yang berkelanjutan sebagai penopang ekonomi pedesaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H