Mohon tunggu...
Stelladia SuryaWijaya
Stelladia SuryaWijaya Mohon Tunggu... Freelancer - Instagram: stelladiawijaya

Freelancer | Penulis | Jurnalis

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Ketika Makanan Menjadi Ancaman

15 Desember 2020   04:49 Diperbarui: 16 Desember 2020   19:28 577
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Infografis mengenai ampak food waste terhadap perubahan iklim (UMN/Azarine Jovita Halim)

UMN, Tangerang -- Ketika setiap orang secara sadar membuang sisa makanan, terlihat ribuan ton sampah makanan yang menumpuk tinggi di berbagai Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

Sisa makanan yang tak dihabiskan menjadi bom atom bagi lingkungan dan mengancam kehidupan bumi dan seluruh isinya, termasuk manusia. Salah satu ledakan TPA yang terjadi pada September lalu yakni TPA Bojong Larang di Pekalongan, Jawa Tengah menjadi bukti nyata. 

Titis Jiyan Fitrianti, relawan inti dari Garda Pangan mengatakan bahwa ledakan keras yang terjadi di TPA tersebut diakibatkan oleh gas metana. Pemicu gas metana sendiri berasal dari timbunan sampah dan bersifat mudah terbakar. Metana merupakan salah satu gas rumah kaca yang dihasilkan oleh proses penguraian sampah mengalami pembusukan.


Food waste (limbah makanan) menghasilkan gas metana yang memiliki bahaya 21 kali daripada karbon dioksida,” sebut Titis saat dihubungi melalui Zoom pada Kamis (10/12/2020).

Gas berbahaya yang dihasilkan oleh timbunan sampah, termasuk sampah makanan di dalamnya tak dapat dipungkiri. Namun, adanya kesadaran diri dari manusia untuk peduli terhadap lingkungan dengan melakukan pengelolaan sampah yang baik dan konsumsi makanan secara bijak, setidaknya dapat berkontribusi dalam mengurangi krisis lingkungan.

Isu Limbah Makanan di Indonesia

Limbah makanan atau food waste merupakan sampah yang dihasilkan dari makanan atau sering dikenal dengan sampah makanan. Food waste berasal dari sisa hasil produksi makanan, tetapi lambat laun food waste tidak hanya berasal dari sisa makanan saja.

Bahkan makanan yang diproduksi secara berlebihan yang tidak memerhatikan kapasitas dan intensitas berpotensi untuk dibuang dan menjadi sampah makanan yang tentunya didistribusikan ke TPA.

Dilansir dari situs web Garda Pangan, Indonesia kini menjadi negara penyumbang sampah makanan terbesar kedua di dunia. Jumlah sampah makanan yang harus dibuang per tahunnya mencapai 300 kilogram.

Tak hanya dalam bidang lingkungan saja, sampah makanan telah menjadi isu perhatian di bidang sosial. Ironisnya, sebanyak 19,4 juta masyarakat Indonesia yang tidak bisa makan dan harus berjuang setiap hari untuk mendapatkan makanan. 

Illustrasi limbah makanan (UMN/Stelladia Surya Wijaya)
Illustrasi limbah makanan (UMN/Stelladia Surya Wijaya)
“Terdapat 23 ton potensi makanan terbuang setara dengan 151.000 porsi makanan dalam kurun waktu 2 tahun dari 2017 sampai 2020,” ujar Titis.

Sementara itu, Pekan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (PLHK) menunjukkan data sampah Indonesia telah mencapai 67,8 ton yang didominasi oleh sampah organik berupa sisa makanan. Permasalahan sampah di Indonesia setiap tahunnya mengalami peningkatan timbunan sampah seiring pertumbuhan jumlah penduduk Indonesia. 

Angka fantastis di atas menjadikan fakta bahwa Indonesia memiliki perilaku konsumtif yang sangat tinggi. Sebagian besar manusia masih belum sadar terhadap isu pembuangan sisa yang makanan yang justru berdampak besar bagi krisis lingkungan. Perilaku konsumtif membuang sisa makanan juga turut menandakan bahwa Indonesia sebagai negara berkembang belum mampu mengatasi permasalahan food waste.

Berdasarkan Survei Ekonomi Nasional (Susenas) 2018 telah mencatat produksi sampah yang paling banyak dihasilkan adalah makanan. Kondisi ini terjadi di kota-kota besar, salah satunya Jakarta yang menghasilkan 3.639,8 ton per harinya.

Namun, ironisnya masyarakat Indonesia memiliki status angka kelaparan yang tinggi. Berdasarkan laporan Global Hunger Index (GHI), Indonesia mendapatkan skor tingkat kelaparan dan kekurangan gizi sebesar 20,1 persen dan termasuk ke dalam kategori yang serius.

Gawatnya Limbah Makanan 

Sisa-sisa makanan turut ambil andil dalam krisis lingkungan yang turut memengaruhi perubahan iklim dan sekitarnya. Menurut data yang dikeluarkan oleh Badan Pangan dan Pertanian PBB (UN FAO), sisa makanan di seluruh dunia menyumbang sekitar 4,4 giga ton emisi gas rumah kaca per tahunnya dan mendapatkan peringkat 3 penyumbang gas emisi terbesar. 

Wilma Chrysanti, salah satu penggagas Kota Tanpa Sampah di Bintaro, Tangerang Selatan menyebutkan bahwa adanya penumpukan sampah organik yang didistribusikan ke TPA membuat TPA harus terancam tutup. Hal ini terjadi karena kepenuhan kapasitas dan ketidakmampuan TPA untuk menampung sampah dalam volume lebih banyak.

“Sampah organik sangat merugikan lingkungan karena mampu mengubah gas karbon dari penumpukan sampah sehingga menghasilkan cairan yang dapat mengalir ke tanah berpengaruh ke lingkungan dan udara yang dihirup oleh manusia,” ujar Wilma saat dihubungi melalui Zoom pada Rabu (12/9/2020).

Sisa makanan yang sudah basi menjadi sampah makanan di buang ke tempat sampah (UMN/Cindy Damara)
Sisa makanan yang sudah basi menjadi sampah makanan di buang ke tempat sampah (UMN/Cindy Damara)
Sementara itu, Titis turut menambahkan bahwa dampak dari sampah makanan turut menganggu aktivitas pertanian yang disebabkan oleh perubahan iklim yang terjadi oleh gas metana. “Perputaran sampah makanan tersebut banyak sekali tidak hanya dari produsen saja, tetap dari konsumen. Hal ini yang memengaruhi aktivitas petani di lahan yang berpengaruh terhadap iklim.”

Infografis mengenai ampak food waste terhadap perubahan iklim (UMN/Azarine Jovita Halim)
Infografis mengenai ampak food waste terhadap perubahan iklim (UMN/Azarine Jovita Halim)
Menghentikan Ancaman 

Garda Pangan merupakan salah satu organisasi lingkungan yang berkecimpung di bidang pangan. Dahulunya, Garda Pangan hanya berupa food bank (sebuah wadah untuk mengurangi kelaparan) dan masih berupa komunitas. Kini, Garda Pangan berperan sebagai social enterprise dan telah menjadi pusat koordinasi makanan yang berlebihan.

Titis menyebutkan dua program yang dicanangkan oleh dalam mengurangi food waste. Pertama, food rescue artinya menjemput makanan dari mitra, disortir dan membagi ke penerima. Kedua, GI Lining istilah panen atau mengambil hasil pertanian yang hanya cacat secara fisik (bonyok). Hal ini dilakukan oleh Garda Pangan dalam turut berkontribusi membantu aktivitas pertanian dan konsumen.

Sementara itu, Kota Tanpa Sampah merupakan komunitas yang mendorong terjadinya transformasi kultur produksi yang minum sampah dan sumber daya, serta ekosistem kehidupan. Program minim sampah ini diupayakan dan disosialisasikan kepada warga untuk peduli terhadap lingkungan dan sadar dampak dari limbah makanan.

Wilma mengatakan bahwa terdapat 3 strategi dalam mengatasi food waste yang dilakukan Kota Tanpa Sampah. Dalam proses penerapan strategi tersebut ternyata berhasil di Banjarmasin yang menantang warga selama 7-14 hari untuk hidup mengurangi sampah. Alhasil, warga lokasi tersebut mampu mengurangi sampah sekitar 40-80 persen. Berikut 3 strategi yang ditawarkan oleh Wilma.

Pertama, strategi pintu depan yang mana menjadi strategi awal harus tahu dan sadar apa yang ingin dikonsumsi demi mengurangi sampah. Kedua, strategi pintu tengah yang menjadi tahap untuk tidak langsung membuang ke tempat sampah, tetapi melakukan proses daur ulang. Ketiga, strategi pintu belakang dengan melakukan cara pemilahan sampah dengan pengomposan.

Menghabiskan Makanan, Wujud Peduli Lingkungan

Tak ada kata terlambat untuk suatu perubahan yang lebih baik. Memutus rantai kerusakan lingkungan dapat dilakukan dari diri sendiri. Memulai dari menghabiskan makan menjadi wujud kontribusi untuk peduli terhadap lingkungan. 

Menghabiskan makanan sebagai wujud kontribusi mengurangi food waste (UMN/Stelladia Surya Wijaya)
Menghabiskan makanan sebagai wujud kontribusi mengurangi food waste (UMN/Stelladia Surya Wijaya)
Wilma sebagai penggagas 3 strategi pintu turut menyebutkan bahwa pentingnya menjalankan strategi depan dengan mempertimbangkan kebutuhan konsumsi sebelum belanja dan mencatat sehingga membeli sesuai kebutuhan dan tidak berlebihan.

“Pentingnya memerhatikan masa kedaluwarsa makanan tersebut dan memerhatikan penyimpanan makanan sesuai dengan jenis makanan. Kemudian, perlu memperkirakan konsumsi makanan sesuai kebutuhan guna mencegah pembuangan makanan yang berlebih,” tambah Wilma.

Sementara itu, Titis menekankan bahwa betapa pentingnya untuk selalu menghabiskan makanan. Konsumsi kebutuhan yang cukup dapat mencegah pembuangan sisa makanan.

“Mulai dari diri sendiri dengan memiliki kesadaran bahwa untuk menghabiskan makanan yang telah diambil,” tambah Titis.

-------------

Diproduksi oleh:

Azarine Jovita Halim (penulis & illustrator)
Cindy Damara (penulis & fotografer)
Crysania Suhartanto (penulis, videografer & fotografer)
Delycia Delvy (vox pop)
Stelladia Surya Wijaya (penulis, editor video & artikel, videografer & fotografer)
Veronica Johanna (videografer & fotografer)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun