Rachel turut menambahkan bahwa investasi energi tak terbarukan justru merugikan anggaran pemerintah. Hal ini terjadi karena Dana Moneter Internasional (IMF) yang mengisyaratkan bahwa perubahan iklim dan kemampuan serta ketidakemampuan untuk bereaksi adalah menjadi risiko makro ekonomi. Persiapan investasi dapat dilakukan terlebih dahulu melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menjalankan program persyaratan hijau.
Sementara, Justin menyebutkan bahwa keinginan pemerintah China dalam mengimplementasikan investasi hijau di lokasi fosil sangat sulit akibat anggaran yang begitu besar. Namun, China justru membangun teknologi energi bersih untuk masa depan senilai $1,4 triliun.
Tak hanya itu, Â Justin mengatakan bahwa penggerak pemerintah Amerika masih belum skeptis tehadap kasus perubahan iklim dengan sektor ekonomi. Namun, di saat pandemic melanda telah menyadarkan dan menggantikan pola pikiri masyarakat Amerika betapa pentingnya krisis perubahan iklim yang mampu memengaruhi kegiatan ekonomi. Siasat pemulihan ekonomi di kondisi krisis ini menjuruskan kepada bagaimana untuk bertahan di saat krisis dan mengurangi emisi gas rumah kaca dan karbon dioksida.
"Pandemi virus korona telah menunjukkan kemampuan untuk menghentikan perekonomian untuk mengubah cara hidup manusia tentang perubahan iklim," ujar Justin dalam Webinar "What the Climate Crisis Looks Like in a Covid-Altered World" (2/6/2020).
Sebagai informasi, Justin menyebutkan bahwa tahun 2020 akan menjadi aksi perubahan iklim oleh negara-negara alam mengurangi emisi. Namun, pandemi melanda dan perencanaan itu ditunda oleh Konferensi Tiga Negara (KTT).
Sumber: Â Webinar: What the Climate Crisis Looks Like in a Covid-Altered World diakses di youtu.be
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H