Menarik menganalisa nama Pastor Tio Angelo Supit Daenuwy SJ dalam perkenalan saat kotbah dalam misa perdana di paroki St. Antonius Padua Tataaran pada Sabtu, 2 Agustus 2024. "Daenuwy dari nama fam ayah, mantan mama saya... Sang opa berdarah China bermarga Hui dan mendapat nama Daeng karena pedagang di Makasar. Perpaduan bunyi dua kata ini lalu menjadi Daenuwy.Â
Opa sendiri punya darah Jerman dan Minahasa dari sisi ibunya, yang berayah bermarga Quinsius dan ibu bermarga Mandagi."Nah Supit itu dari marga ibu asal Tondano (ibukota Minahasa), yang kemudian menikah untuk kedua kalinya dengan seorang Borgo Minahasa bermarga George. "Ibu asal Tondano, anak ketiga dari keluarga Theodorus Supit. Ibu lahir di Bengkulu karena di zaman perang opa bertugas di Sumatra dan dapat kembang desa di sana. Pada waktu ibu berumur 5 tahun, opa memboyong isteri dan anak-anaknya kembali ke Tondano."
Kita bisa bertanya lanjut, siapakah leluhur dari Pastor Tiro? Jelas dari sisi ayah berdarah campuran China, Jerman, dan Minahasa. Dan dari sisi ibu berdarah Minahasa dan Bengkulu. Dia tentu berhak menyebut semua garis darah tersebut sebagai leluhurnya.
Saya mengangkat ini dan coba menghubungkan dengan buku yang pernah diterbitkan tahun 2018 yang mengangkat telaah tentang siapakah leluhur Minahasa itu? Buku lanjutan segera akan terbit minggu ini Agustus 2024, berjudul Pahlawan-Pahlawan Dinasti Han Leluhur Minahasa.
Sedikit tentang buku itu sendiri, yang telah menggemparkan dunia akademis dan intelektual di Minahasa bahkan sampai luar negeri tentang sejarah dan mitologi manusia pertama Minahasa, yang bahkan oleh para sejarawan peneliti dan penulis Minahasa dan Barat dengan kualifikasi serius, selalu "keukeh" ditarik atau dirujuk pada tiga nama dalam cerita mitologis rakyat, yakni Lumimuut-Toar dan Karema. (Lih. Benni E. Matindas, dalam pengantar buku PDHLM, 2024)
Apakah tou atau manusia Minahasa itu merujuk pada orang-orang di Tiongkok yang menghindar atau dilarikan karena perang Tiga Negara pada abad ke-3 masehi, dari wilayah pusat peperangan lalu masuk dalam pengungsian arah ke timur, lalu ke selatan dan tiba di TU UXIN DAO NA (Han= 'wilayah tiba dengan tidak sengaja') atau TUUR IN TANA (pusat bumi) di Minahasa? Ada penjelasan yang sangat kuat bahwa kalau benar orang-orang keturunan Dinasti Han itu datang ke Minahasa, maka mereka adalah pendatang yang kemudian diterima masuk oleh mereka yang sudah ada lebih dulu ada dan sudah berperadaban maju. (Ibid...)
Prof. Perry Rumengan yang juga memberi pengantar pada buku kedua bahkan buku pertama karya Weliam H. Boseke tersebut bersetuju dengan penggunaan istilah 'leluhur' dalam judul. Kendati buku tersebut berbicara tentang manusia pertama (tou ketare) Minahasa, khususnya berdasarkan analisis tekstual pada syair nyanyian Karema, dengan memakai pendekatan monolisilabel Han Zhu. Namun, Perry menegaskan bahwa berbicara tentang hal ihwal manusia pertama tidaklah dengan sendirinya sama dengan berbicara tentang leluhur. Pasalnya, leluhur Minahasa bisa merujuk pada semua darah yang pernah mengalir dalam diri orang Minahasa, sejak awal sampai sekarang. Pernyataan ini benar dan valid, misalnya merujuk pada darah yang mengalir dalam diri seseorang Minahasa, ternyata ada yang sudah bercampur dengan pelbagai suku bangsa lainnya.
Ya, memang pada akhirnya, bila ditarik sampai jauh ke belakang, dalam perspektif sejarah agama moderen (abrahamik), hal ihwal manusia berawal dari taman firdaus Adam Hawa dan bahtera Nuh, seperti dikisahkan dalam kitab Genesis. Lalu dalam perspektif sejarah besar yang berbasis teori evolusi, asal usul manusia berbeda lagi cara penjelasannya, tentu tidak harus dimaknai sekedar menandingi bahkan meniadakan paham kaum beragama tersebut, termasuk pelbagai keyakinan beragama alam yang mempunyai kisah penciptaan tersendiri. Tapi dua atau tiga lebih perspektif penjelasan tentang manusia pertama, mestinya tidak perlu dipertentangkan, malah bisa saling melengkapi sebagai dua cara pencarian dan penjelasan yang sah tentang sebuah realitas, katakan saja dari sisi iman dan rasio. (Bdk. John Paul II)
Dalam perspektif waktu terbatas, -- katakan saja sampai pada masa penamaan dan ketegorisasi kelompok manusia dalam pelbagai seperti diketahui dan diyakini masing-masing bangsa, etnis atau suku, dengan garis vertikal dan horisontalnya -- sekarang kita menerima dan memahami diri dengan identitas tertentu.
Pemahaman dan kesadaran diri sebagai orang Minahasa, apapun darah leluhur yang mengalir dalam tubuhnya, tentu saja sesuatu yang normal dan penting sebagai seorang manusia budaya sosial tertentu. Misalnya Pastor Tiro dalam sharing pada acara ramah tamah di aula paroki sesudah misa di gereja St. Petrus Langowan, Minahasa (induk), di hadapan umat dan undangan menegaskan dirinya sebagai orang Minahasa, Minggu 4 Agustus 2024.
"Dalam Serikat Yesus ini, saya semakin menemukan identitas saya sebagai orang Minahasa." Dia berkisah bahwa pembentukan identitas diri sebagai orang Minahasa makin bertumbuh justru di tengah mayoritas sesama anggota komunitas yang mayoritas orang Jawa dan tentu saja dalam lingkungan tempat pembinaan yang berbeda kebiasaan dengan apa yang dialami dalam sebuah keluarga Minahasa.
Iya, hal ini tentu tidak semata karena dalam dirinya lebih banyak darah Minahasa (dari jalur ibu dan nenek buyut), tapi terutama pengalaman dan kesadaran interior di tengah lingkungan eksternal dirinya bersama teman-teman setarekat yang mayoritasnya adalah orang Jawa itu. Singkatnya selama waktu tertentu, identitas Minahasa mulai disadari dan dibentuk.