Romo Bertens yang berbahagia, entah kebetulan saja atau malah boleh kuyakini sebagai kehendak semesta dan ilahiah bahwa pekan lalu saya bertemu dengan Dr. Budhy Munawar Rachman, salah satu tokoh intelektual Indonesia yang bangga menyebut dirinya sebagai muridmu juga di STF Dryarkara. Saya jadi ingat guru dosen saya yang adalah muridmu juga. Dan saya yang hanya murid dari seorang muridmu di almamater Seminari Pineleng itu diberi kesempatan untuk mengenangmu juga dalam rentang satu minggu ini engkau telah meninggalkan kami di dunia fana ini.Â
Muridmu itu di sana, Dr. Yong Ohoitimur, adalah dosen saya, seorang biarawan MSC dan imam sama sepertimu juga, dan sekarang menjadi profesor filsafat di almamater. Dia tentu sudah mengkader banyak alumni juga termasuk yang mengikuti jejaknya sebagai dosen, bahkan lebih istimewa sebagai dosen filsafat. Saya hanyalah murid biasa yang tidak berprofesi di dunia akademis kampus.
Dan saya sangat bersyukur dan bahagia karena telah turut menikmati aliran ilmu di ruang kuliah yang sama di mana engkau pernah memberi serial kuliah filsafat bagi para mahasiswamu di Seminari Pineleng itu. Ruangan-ruangan kuliah yang berdiri sejak 1954 itu sudah dibongkar beberapa tahun lalu, hanya jadi timbunan untuk berdiri gedung baru yang lebih bagus dan megah. Akan tetapi kebesaran almamater bukan terutama pada bangunan fisik belaka, dan kenangan perjumpaan di sana tak akan pernah hilang dalam ingatan. Lembaga itu adalah tempat pertama engkau memberi kuliah filsafat sejak tiba di Indonesia, dari tanah Belanda.
Pater Bertens yang baik, dari beberapa informasi saya tahu beberapa hal tentangmu. Dari tempat terpencil dengan nama agung dan tak terlupakan oleh para alumninya di STF Seminari Pineleng, engkau kemudian menuju ke Jakarta, pusat segala kemajuan waktu itu. Tentu dengan jangkauan yang lebih luas lagi, dengan para rekan dosen dan mahasiswa, juga secara istimewa dengan penerbit buku nasional.
Di Jakarta sebagai pusat kemajuan Indonesia, engkau membuktikan kapasitas dan integritas keilmuanmu, dan bahkan engkau terus mengembangkan dan melampaui tugas-tugas sebagai dosen dengan menjadi pemimpin lembaga pengembangan etika di Unika Atmajaya, bahkan sampai mengurusi pelbagai kebutuhan para mahasiswa dan dosen untuk mendapatkan beasiswa studi lanjut dan jejaringnya. Tentu semua kau lakukan masih tetap sebagai biarawan imam yang membuatmu lebih dan khas dalam kurban pelayanan di tengah umat beriman lingkup kampus dan paroki, bahkan di tengah masyarakat lintas iman dan keyakinan.
Pater Bertens yang lembut hati, guru dari guruku bukan sekedar mahaguru dalam arti gelar tapi sebagai teladan dan model yang patut dan layak kuhormati dan kukenang, apalagi memang secara tak langsung saya menjadi muridmu jua melalui beberapa kali perjumpaan dan juga melalui beberapa buku karyamu sendiri. Dalam suatu pembicaraan berdua terkait ide untuk menerbitkan kembali buku karya klasikmu, engkau bertanya: berapa eksemplar sekali terbit? Kwantitas rupanya penting, dan makna sebuah publikasi, entah tulisan artikel, jurnal, sampai buku adalah bukan soal hitungan royalti penulis tapi seberapa karya itu disebarkan dan diakses khalayak luas, supaya itu lebih efektif dan efisien bermanfaat dan paling tidak mendapatkan respons dari para pembacanya.
Dan kebetulan perjumpaan dengan Dr. Budi Munawar, yakni muridmu yang di Dryarkara itu terjadi karena kaka Paul Laratmase yang mengaku menjadi muridnya khususnya saat aktif di komunitas Esetorika yang diketuai oleh Denny JA. Kebetulan muridnya itu adalah kakak almamater saya di Pineleng jua. Mungkin seperti saya, dia tidak mengalami lagi kuliah2 langsung darimu. Tapi tetap merasa respek denganmu. Karena dia juga, saya terdorong untuk menuliskan kisah ini.
Pater (Bapa) Bertens yang terkasih...
Sungguh, murid entah kapanpun tetap ingat guru-guru mereka bahkan murid dari guru2 Â tersebut. Maka berbahagialah wahai para guru, maha guru dan siapa saja yang layak dihormati. Anda semua adalah sungguh pahlawan yang sangat berjasa walau tanpa tanda jasa. Iya apa artinya tanda jasa, kalau ijasah bukan tanda orang berpikir melainkan sekedar tanda orang hanya pernah belajar atau kuliah, kata Rocky Gerung.Â
Namun adakah murid-muridmu yang bisa lulus dan mendapat ijasah tanpa berpikir bahkan lulus ujian berpikir? Tidak ada murid sejati apalagi dalam dunia filsafat yang tiada berpikir, apalagi sekedar dan asal berpikir tanpa sebuah dasar dan orientasi nilai, apalagi guru dan maha guru sejati itu selalu datang laksana menggonggong bahkan menggigit di setiap jaman hanya demi membantu para domba dan penggembala menjadi lebih tertib dan disiplin di kandang maupun di lapangan rumput kehidupan yang makin layak dan pantas, utuh dan lestari.
Pastor Prof. Dr. Kees Bertens MSC, engkau telah datang beberapa puluh tahun lalu ke Indonesia sebagai misionaris, bersama dengan beberapa gelombang dosen kompeten untuk daerah misi dan gereja lokal di negara merdeka yang berumur masih belia. Tiba dan karyamu dimulai di tempat terpencil dengan kawanan kecil calon imam, pemimpin, dan guru di tanah Minahasa, di Seminari Pineleng (artinya: terpilih), dan seterusnya sosok dan karya pelayananmu ada terus dalam diri para murid dan kolega, umat dan mitra karya pelayanannya yang tanpa batas, melampaui diri sendiri, hingga akhir hayat yang dibongkar hari ini, Jumat, 20 Juli 2024, untuk kehidupan kekal, di mana tersedialah kemah kediaman ultim dan abadi.
Bukan kebetulan Pastor Kees Bertens MSC adalah misionaris MSC terakhir dari Belanda di Indonesia...perlu refleksi akal iman tersendiri lagi untuk gereja Indonesia dan bagi dunia. Sampai di sini dulu, duhai pastor biarawan Hati Kudus Yesus, saya ucapkan salam dan doa: Ametur ubique terrarum cor Iesu sacratissimi, in aeternum. Amen. Ad vitam aeternum, pastor bonus et fidelis!#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H