[Refleksi di hari Nyepi dan Awal Ibadah Ramadhan di masa PraPaskah 2023]Â
Di Balik Polemik Gelar Adat Tonaas Wangko di Tanah Minahasa dan Kawanua (Minahasa Perantauan)
Sejak terbit buku karya Weliam H. Boseke tentang asal usul leluhur Minahasa tahun 2018 lalu, sudah banyak kajian dan seminar yang dibuat di pelbagai tempat. Tapi temuan besar ini memang tak cukup hanya diseminarkan dalam hitungan jam saja, karena ada banyak lapisan yang mesti dipahami pembaca guna mendapatkan logika dan isi temuan itu sendiri. Namun demikian, sesungguhnya orang yang kritis terhadap suatu gejala dan fakta Minahasa akan dengan terbuka untuk menelisik lebih jauh temuan Boseke ini.
Jika benar teori Boseke yang menegaskan bahwa bahasa Minahasa itu adalah bahasa Han yang berformat monosilabel, maka setiap kata ungkapan Minahasa mesti ditulis dengan cara pinyin (Latinisasi Han). Cara pinyin adalah ciptaan pemerintah China sendiri baru pada pertengahan abad lalu. Cara sebelumnya justru diciptakan oleh duta besar Inggris untuk Tiongkok, Thomas Wade, pada abad 19 lalu. Kemudian dikembangkan oleh diplomat Inggris juga Herbert Giles dan puteranya Lionel Giles, dan ketiganya masih di zaman dinasti Qing. Dengan cara latinisasi ini para pemakai bahasa berlatar aksara Latin bisa terbantu mempelajari bahasa Mandarin (berakar Han).
Dalam proses belajar bahasa Mandarin inilah Boseke menemukan sejumlah bunyi yang sama dengan bahasa Minahasa sekitar tahun1980an. Dan dengan bantuan metode pinyin ini orang yang belajar bahasa Mandarin dan Minahasa mungkin dan bisa seperti Boseke membuat pembandingan yang akan menghasilkan sejumlah persamaan dua bahasa (asli) tersebut.
Boseke telah sedang memberi kepada kita banyak contoh analisis bandingan linguistik ini, makin lama makin banyak, dan sampai awal 2023 ini sudah 3000 kata ungkapan yang ditemukannya, sebagian sudah ada dalam buku terbitan pertama berjudul Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa, Waraney. Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2018.
Salah satunya yang lagi ramai didiskusikan kembali, yakni gelar kehormatan adat: Tona'as Wangko. Diskusi ini menjadi ramai karena dikaitkan dengan peristiwa pengukuhan adat bagi para pengurus organisasi Kerukunan Keluarga Kawanua (pasca persatuan) di Taman Mini Indonesia Indah pada 11 Maret 2023.Â
Pada saat pengukuhan secara adat itu, 3 Tonaas Wangko Umbanua (EE Mangindaan, Theo Sambuaga, Ronnie Sompie) menyematkan kelengkapan pakaian adat, topi, dan selendang adat kepada Ketua Umum KKK yang dijabat oleh Angelica Tengker untuk periode konsolidasi organisasi terbesar Minahasa di perantauan ini. Jadi, gelar adat ini diberikan kepada Ketua Umum Kerukunan Keluarga Kawanua, dan dilaksanakan dengan prosedur sesuai internal peraturan organisasi sendiri, sesuai adat dan nilai-nilai yang hendak ditegaskan dan diungkapkan dalam diri seorang pemimpin atau terkemuka.
Namun pelbagai pertanyaan diskusi dan wacana dimunculkan, termasuk terkait dengan asal usul pemberian gelar dan jabatan adat ini, sejak kapan oleh siapa, dst., dan tentu saja diangkat kembali apa nilai-nilai leluhur itu, apa syarat tokoh yang layak menyandangnya, siapa yang berwenang memberikan, dst.Â
Ada terminologi yang berusaha merekam fenomena perbedaan pendapat terkait gelar atau jabatan adat ini, misalnya dalam frase "kelompok Minahasa" vs "kelompok Kawanua" (Denni Pinontoan) yang bagi saya pribadi ini bisa saja dimaklumi sebagai sebuah cara pikir kategoris tapi janganlah menjadi sebuah istilah yang kontra produktif bagi keMinahasaan dan peMinahasan yang pada hakikatnya mesti tetap satu dan sama di manapun dan kapanpun orang keturunan Minahasa berada.
Nah, tulisan singkat ini hendak menambah wacana dari sisi bahasa berdasarkan temuan terbaru yang telah menjadi viral di banyak kalangan Minahasa maupun Indonesia bahkan luar negeri sendiri.Â
Tiada maksud lain, selain memberi wacana alternatif di tengah narasi lama yang tak pernah diketahui lagi atau makin kabur dan gelap arti dan konteksnya di kalangan masyarakat Minahasa sendiri bahkan termasuk oleh mereka yang didaulat atau mendaulat diri tokoh bahasa dan budaya Minahasa sendiri.Â
Lagipula dari sisi bahasa, sampai saat ini belum ada tesis kontra yang bisa membantah tesis Boseke ini secara lebih meyakinkan (Max F. Wilar). Maka uraian berikut ini kiranya bisa membuka mata kritis kita tentang apa yang sudah dan sedang akan terjadi dengan Minahasa itu sendiri, terlebih hal identitas terkait nilai-nilai yang hakiki, universal dan eternal.
Dengan pendekatan monosilabel melalui metode pinyin, didapatlah asal usul kata Tonaas Wangko itu, yakni berasal dari frase lengkap Tou Na Shu Wang Guo U Fan Hua, dalam bahasa Minahasa kontemporer menjadi Tonaas Wangko Umbanua. Perhatikan bunyi dan teks piyinnya masih mirip sama, bukan? Dan dalam bahasa Han berarti 'pemimpin penguasa negara kekaisaran Shu sebagai rumah tempat kembali di Tiongkok'.
Nah lho kok begitu artinya, asing dan seperti dari dunia alien? Karena itu hanya memberikan pengertian ini saja tidak sulit dibantah sebagai sebuah upaya cocokologi belaka bahkan oleh mereka yang paham tentang bahasa format monosilabel ini. Karena lapisan bahasa adalah satu hal yang perlu dipahami untuk menemukan kebenaran dari tesis Boseke ini, dan masih perlu paham pelbagai lapisan lainnya, seperti sejarah (misalnya kerajaan di Tiongkok terkait tokoh, Â peran, alur dan konteks kesekitaran; dan tentu saja tentang Minahasa itu sendiri), budaya, arkeologi, ilmu bumi, dst. (Soetiadji Yudho Ratulangi dalam Seminar di Hotel Oval Surabaya yang diselenggarakan Kawanua Surabaya, 2021)
Setelah paham hal lapisan-lapisan itu, kita lanjut menilai klaim pengertian dalam bahasa Han kuno itu. Dan ternyata mempunyai makna dan konteksnya dalam sejarah perang terbesar di Tiongkok pada abad ke-3 Masehi, yang dikenal sebagai 'perang tiga negara' atau San Guo atau Sam Kok.
Nah, ungkapan Tonaas Wangko Umbanua di Minahasa itu ternyata berasal usul kisah tentang penyerahan wilayah provinsi kerajaan kepada sang tokoh utama, yakni Kaisar Liu Bei. Sejak menjadi penguasa di Shi Chuan secara damai, Liu Bei disebut Tou Na Shu Wang Guo U Han Hua itu. Kisah di balik itu adalah ketika Zhang Lu dari Han Zhong hendak merampas Shi Chuan, raja bangsawan Liu Zhang sependapat dengan penasihatnya untuk menyerahkan wilayahnya diserahkan kepada Liu Bei yang dianggap lebih berkarakter bijaksana dan mulia sebagai pemimpin daripada kepada Chao Chao yang tamak dan tidak jujur.
Arti kata ungkapan Tonaas Wangko itu beserta makna dan konteks inilah yang sulit dibantah sebagai cocokologi yang naif dan tak berdasar apapun. Misalnya tentang Liu Bei yang berjulukan Jiu Gui ru er, seolah olah sembilan lutut, atau Shou Gui ru er yang berarti memiliki lengan melampaui lutut (Minahasa: Siow Kurur) adalah ayah dari Liu Shan (A Dao), ayah Tou erl yang tak lain adalah Toar sendiri dalam mitologi manusia pertama Minahasa.Â
Temuan Boseke menjelaskan bahwa Toar, Lumimuut, dan Karema itu ternyata makhluk historis, bukan dongeng belaka. Mengherankan juga bahwa nama-nama fam atau marga di Minahasa itu tidak bersifat genetik (diwariskan), dan tak lain adalah berkisah tentang siapakah Kaisar Liu Bei, kakek dari Toar itu sendiri. Nama marga ini baru kemudian menjadi diwariskan sejak pemerintahan administrasi pada zaman kolonial.Â
Sudah ada 700 nama fam Minahasa yang arti dan konteksnya yang diungkap Boseke, bagaikan rangkaian pujian kepada sang Kaisar yang sangat dihormati itu, khususnya oleh para keluarga dan pengikutnya tentunya, yang kapal2 mereka terdampar oleh angin muson barat di 'wilayah tempat tiba tak sengaja' (tu uxin dao na = tu'ur in tana).
Jadi sangat jelas dan terang bahwa Weliam Boseke tidak sekedar mencari-cari persamaan bunyi dan teks serta arti kata ungkapannya, namun dia justru bisa membuat perbandingan dalam konteks sejarah yang riil, yang bisa diverifikasi sendiri oleh mereka yang terbuka mau menelusuri dan mempelajarinya dalam kenyataan sejarah umum.Â
Boseke tidak sedang membuat pembandingan dengan klaim sepihak saja, seperti naif dan konyol dituduhkan segelintir orang yang tak mau tahu lagi apa sebenarnya inti temuan Boseke ini.Â
Bahkan kalaupun ada sejumlah keterpatahan (istilah Michell Foucault) di mana ada distorsi dan delesi fakta sejarah, ada kebengkokan dan kekaburan bahkan kehilangan, namun bahasa itu relatif bertahan dan terus diwariskan; walaupun mengalami pelbagai pengaruh dari pelbagai anasir-anasir luar dan dinamika internal sendiri, bahasa tetap bisa ditelusuri. Dalam pengertian ini, benar juga dikatakan bahwa bahasa Minahasa adalah bukti arkeologi tentang asal usul leluhur Minahasa yang tak terbantahkan juga.
Ketika ilmu sejarah itu sendiri mungkin terkooptasi dengan segala lapisan kuasa dan kepentingan yang sifatnya generalisasi, distortif bahkan deletif, maka temuan Boseke ini dalam hal bahasa jelas bisa membantu para ahli sejarah dalam bidang apa saja. Pendekatan bahasa sungguh mesti diperhitungkan untuk studi sejarah yang benar dan komprehensif.Â
Bahkan seorang pakar filolog Jawa kuno dan pelbagai bahasa dunia, Dr. KRT Manu J. Widyaseputra menambahkan bahwa lebih yakin dengan studi bahasa untuk mengungkap sebuah realitas sebenarnya daripada tulisan sejarah apalagi dari para penguasa dan para ahli barat yang penuh dengan teori konspirasi dan pembandingan yang tak seimbang. (Webinar Leluhur Minahasa Penguasa Dinasti Han dalam channel youtube Ngobrol Santai Indonesia, NSI)
Refleksi lebih lanjut terkait ungkapan gelar adat Tonaas Wangko yang secara formal diberikan oleh sebuah Majelis Kebudayaan yang dikepalai oleh Bupati Minahasa (sebelum pemekaran).
Masih menurut tesis Boseke, selain monosilabel, bahasa Minahasa itu hanya satu dan bersifat klasik atau lebih tepatnya etis (Benni E. Matindas, dalam bedah buku di Kalbis Institute, 2018). Tesis ini sangat membantu dan menguatkan kita untuk memahami gelar adat dan semua aktivitas budaya Minahasa itu sendiri. Pasalnya, yang terdalam dari semua gelar dan pertunjukan budaya Minahasa adalah nilai-nilai luhur itu sendiri yang terkandung dan menghidupi pola pikir-rasa-tindak tou Minahasa itu.
Secara etimologis, pemberian gelar dan jabatan adat Tonaas Wangko jelas memang diberikan kepada seorang pemimpin dengan kualifikasi tertentu, yang dianggap lebih unggul dan layak daripada pemimpin yang lain.
Jadi, mesti dicari jawaban dan penjelasan tentang apa syarat dan kriteria serta indikator seorang itu layak diberi gelar atau jabatan Tonaas Wangko.
Pertanyaan berikut siapa yang punya legitimasi memberi penghargaan dan jabatan tersebut? Sudah jelas dari konteks sejarahnya adalah seorang pemimpin atau pejabat yang berwenang dan diakui masyarakat, misalnya Pejabat tinggi wilayah (atau dewan Pejabat). Dan dalam mengambil  keputusan, pejabat itu mendengarkan pertimbangan dari para penasihat yang kapabel, bisa dari lingkaran pejabat pemerintah, para cendekiawan, para tokoh agama dan masyarakat, dst.
Mungkin perlu dipahami juga bahwa dalam perkembangannya di Minahasa, seorang pemimpin atau yg terkemuka (Tona'as) itu berada dalam kesadaran akan sesama kolegial pemimpin lainnya, dan secara secara mendasar dia terlahir dan menjadi utuh sebagai pemimpin di dalam dan melalui kelompok masyarakatnya sendiri (Matuari).
Penjelasan tentang dinamika keunggulan individual dan persaudaraan komunal (Lihat Paul Richard Renwarin, Matuari wo Tona'as, Leiden, 1995) ini sangat menarik untuk memahami interaksi individu dan sosial masyarakat Minahasa yang dinamis dan harmonis, supaya dengan tepat dan bijak bisa menemukan strategi dan jalan tapak menuju transformasi kemajuan masyarakat Minahasa di manapun berada dan berkarya, dengan patokan nilai-nilai leluhur, yang terus digali dan dikembangkan, yang sesungguhnya atas cara dan bentuk lain menjadi idealitas dan praksis kelompok masyarakat di pelbagai belahan bumi lainnya.
Apakah kebetulan belaka atau spekukasi kosong bahwa nyanyian pujian kepada leluhur yang paling dimuliakan di Minahasa sudah dibunyikan pertama kali oleh Tonaas Walian Karema (Tou Na Sse Hua Li An Kai Ren Mu: kepala istana yang mengatur upacara-upacara istana Han)?
Namun menarik pernyataan dari etnomusikolog, Perry Rumengan, yang merujuk pada teori fisika kuantum bahwa apa yang terjadi sekarang adalah rentetan gema dari bunyi yang pernah dilepaskan dan bergetar di alam semesta di masa silam.
Dalam upacara-upacara ritual seperti masih dikenal dalam istilah-istilah di Minahasa (dari akar Han): Rao Ge Shu An (Ragesan) Shu Ma Le Sung (Semalesung) Ma Ou Ru Ai (Mahorai), dan Sao Chang Nian Ni (Zazanian ni) sang Ibu Kairen, Â sebagai Tonaas Walian Karema, menyanyikan berulang-ulang pada setiap acara dengan maksud melestarikan nilai-nilai pusaka yang menjadi legacy sang kaisar sebagai Amang Kasuruan (A Mang Kai Shu Ru An: Orang jujur dan tulus masuk dengan damai mengamankan dan mendirikaan Dinasti Shu) serta para pahlawan pengikut mereka, yakni keluhuran Budaya Agung yang tak ternilai harganya dan tak dapat ditukar dengan jabatan dan tahkta kekaisaran raya sekalipun, universal dan eternal.#
I Yayat U Santi (Han: Yi Ya Ya Te Wu Shang Ti, angkatlah nyanyian pujian pada Raja/Tuhan)
Tantu teintu (Han: Duan Tui Tien Tui, sungguh benar kebenaran Langit)
/StefiR
Stefi Rengkuan
(Anggota Dewan Pembina KKK, Anggota Dewan Pengawas YPKM, Admin Kawanua Informal Meeting)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H