Ya, benar ada pengakuan bahwa beliau memang seorang Katolik. Entah sejak lahir atau sejak kapan convert to Catholic, sejak muda atau sejak menikah, entahlah.
Memang ada beberapa tulisan yang berusaha menampilkan secara langsung maupun tak langsung apa sebenarnya keyakinan agamanya itu, yang bagi pemerintah dan mungkin banyak orang Indonesia itu penting bahkan mutlak ada tertulis di kolom KTP, yang menjadi bermasalah bagi warga negara yang tidak masuk dalam 6 agama dan keyakinan yang diakui secara resmi.
Namun secara tersirat bisa dilacak dari karya-karya novel berlatar kisah sejarah bahkan kisah nyata leluhurnya sendiri. Misalnya dalam novel Malaikat Lereng Tidar, dikisahkan seorang tentara KNIL asal Minahasa Protestan militan lalu bertemu seorang perempuan Jawa. Si tole (pemuda) Minahasa perkasa itu jatuh cinta pada peragai dan paras menawan mbak ayu Jawa itu. Saksi perkawinan itu adalah seorang komandan Katolik. Dan entahkah sang prajurit beralih menjadi Katolik lalu mereka saling menerimakan Sakramen pernikahan dalam upacara Katolik? Konon katanya berkisah tentang kakek nenek dari penulis novel itu sendiri, tak lain Remy Sylado.Â
Yang jelas Remy memang menikahi seorang keturunan Jawa Tionghoa yang adalah katolik tulen. Saya dengar langsung dari isteri almarhum, Ibu Emmy, dalam bincang singkat sewaktu hendak pamitan pulang, bahwa benar mereka menikah secara Katolik di sebuah Gereja.
Ada kisah lain mengatakan bahwa dia anak dari pasangan asal Minahasa yang menjadi misionaris gereja Baptis di Makasar dan kemudian migrasi ke Malang. Di sana Yapi kecil bersekolah pendidikan dasar dan menengah lalu terus belajar sastra dan seni, bahkan belajar di sekolah alkitab dan teologia Protestan. Lalu kemudian sejak beralih menjadi Katolik, dia mendalami teologi Katolik. Dan dia banyak mengisi bahan seminar di kalangan lembaga Protestan dan Katolik, dan lebih banyak bagi kalangan umum karena kemampuannya yang mengagumkan khususnya dalam bidang sastra dan seni budaya, sejarah dan ilmu sosial lainnya.
***
Stefanus Tokan, senior saya asal Flores dan besar di Maluku, menulis, "Singkatnya, beliau seorang multitalenta. Kalau sobat Stefi baru tahu dia Katolik, saya malah sering melihatnya menghadiri Misa di Ketedral Jakarta. Kadang, ketika usai Misa dia masih duduk dalam gereja ditemani istrinya (sebelum stroke sejak 2 tahun lalu), dengan kakinya yang agak bengkak yang membuatnya berjalan agak kentok (pincang). Sebelum stroke itu, masih sering dia memberi materi pada pertemuan bulanan Persatuan Wartawan Katolik Indonesia (PWKI)."
Lanjut si pengagum Catatan Pinggir Goenawan Moehamad itu, "Saya kira, Remy Silado adalah sosok budayawan yang komplit. Sedih beliau telah pergi. Sulit sekali temukan orang Indonesia yang 'lengkap' seperti dia. Saya belum lihat ada sosok seperti dia di Indonesia ini."
"Budayawan seperti dia sudah hidup melampaui batas-batas agama.
Turut berdukacita bersama Keluarga Kawanua. Semoga ada putra Sulut yang muncul lagi seperti dia. Remy lama tinggal di Makassar dan Malang, karena itu dia bisa ambil jarak dengan Sulut untuk melampaui Sulut dan Indonesia, termasuk soal agama."
***
Demikian sedikit kisah dan coretan saya terutama dalam suasana duka mengenang sosok Remy Sylado ini dalam pentas peradaban dan kemanusiaan yang universal, melampai batas-batas primordialisme dalam segala turunannya yang membahayakan sistem nilai budaya luhur manusia.