Di hadapan tawanannya, Covak berkisah bagaimana pengalamannya sekarat terlantar karena dieksekusi oleh regu tembak yang dipimpin Benjamin. Dia mengalami kelumpuhan, tak bisa berbuat apapa, bertahun hanya terbaring dan dirawat.
"Kau menembakku Ben, lalu aku diselamatkan oleh orang, dirawat oleh perawat bernama Sophia, yang selalu berbaju putih. Dia membersihkan aku dan perlahan aku mulai bisa berjalan normal, ... tapi tak punya orangtua lagi, tak punya saudara, tak punya anak dan isteri, tak punya asuransi..."
***
Dalam suatu duel terakhir Ford akhirnya mengaku kalah, karena kesakitan dan terjebak dengan senjata tak berpeluru di rumahnya sendiri. Mereka sepakat untuk menyudahi dan ada pengakuan, lalu eksekusi dan selesai.
"Kau tahu Ben, betapa beruntungnya dirimu punya tempat tinggal nyaman sendiri. Juga punya negeri yang elok nan indah, pegunungan dilapisi salju putih kemilau. Namun di negeriku sendiri, kemanapun kulihat adalah awan hitam dan gunung kegelapan."
Kemudian Benjamin bisa lolos dan menuju ke gedung gereja tua di dalam hutan itu. Dia memasang jebakan kayu diikatkan dengan senar diambilnya dari piano tua. Tapi justru Ben yang kena masalah terperangkap.
Di gedung gereja tua terbuat dari kayu yang nampak reot itu, masih ada salib dengan corpus Almasih tergantung dalam wara keperakan dan buram.
Covak makin marah dan memberontak di hadapan simbol pengorbanan bahkan dengan mencurahkan darah sehabis-jabisnya, suatu tindakan dan misteri kasih terbesar bagi sahabat dan umat manusia.
"Oh Tuhan, aku sekarang mengaku tapi jangan ampuni dosaku," dan sambil menatap korbannya itu, Covak berteriak: "tapi kau mengakulah, Benjamin Ford, hanya kita berdua dengan salib itu. Ya, hanya kau yg bisa mengaku!"
Tapi benjamin diam saja, membisu walau dengan mimik menahan sakit.
Akhirnya Covak melunak, entah mengapa dia berkata: "Baiklah kau menang aku kalah, Ben, saya segera menghabisimu dan nanti akan aku katakan saat bertemu dengan Tuhan."