"Wahai Danau, mengapa engkau menangis?" "Saya sedih karena Narsisus sudah tidak ada, wahai Dewa Dewi." "Oh, bukankah Narsisus selalu berada denganmu, wahai Danau?" "Iya tapi saya hanya memperhatikan bayangan diri saya yang cantik di cermin matanya. Apakah Narsisus tampan juga?"
Sungguh kisah yang menarik. Para dewa-dewi kayangan pun jadi bingung, hanya bisa saling menatap dan sadar bahwa Narsisus telah menjadi korban dari kebanggaan diri berlebihan di satu pihak, dan di lain pihak si Danau yang terbuai dengan diri sendiri tanpa tahu realitas kesekitaran sebenarnya.
Nah, Bos Dahlan Iskan dan Prof. Perry Rumengan ibarat seperti dua pihak yang sedang mencari dan menemukan fakta sebenarnya di balik kisah Leluhur Minahasa yang dipaparkan oleh Weliam Boseke ini. Mereka berdua segera menjadi sadar seperti Dewa Dewi tentang realitas ketampanan dan kecantikan itu serta konteks yang melingkupinya. Kisah ini bisa dipakai untuk menggambarkan kenyataan banyak orang Minahasa yang memiliki bacaan dan pengetahuan lama tentang Minahasa, tapi sudah selalu terjebak dalam bayangan "cantik tampan"nya Minahasa hanya dari bayangan dan persepsi sendiri, tapi tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, dan konteks latar belakang tentang" kebenaran" itu sendiri.
Kisah Narsisus sendiri ternyata tidak cukup menyadarkan kita orang Minahasa tentang kebanggaan semu itu, maka perlu lanjutan kisah tentang sang Danau yang ternyata terperangkap juga dengan keelokan diri tanpa tahu apa-apa lagi tentang realitas yang telah dan sedang terjadi di sekitarnya. Akhirnya yang terjadi adalah kebanggaan semu, kemandegan bahkan kemerosotan budaya dan identitas, yang mengancam dan membahayakan diri sendiri, secara individual dan komunal.
Akhir tulisan pendek ini, saya menduga jangan-jangan Bos Dahlan dan Prof. Perry pernah terjebak dengan kisah "ketampanan" Minahasa itu lalu pernah berkisah tentangnya tanpa banyak tahu, atau tepatnya hanya punya pengetahuan lama tentang Minahasa?Â
Paling tidak, sekarang melalui tulisan, mereka berdua sadar disadarkan oleh temuan baru dari seorang Boseke, yang mendapat dukungaan isteri terkasih dan keluarga, serta direstui dunia Langit sehingga bisa mengungkap fakta-fakta baru dan cara melihat ketampanan dan keelokan Minahasa itu.
Kalau saya salah kira, bisa tanyakan langsung kepada kedua tokoh kita yang sempat dibuat terkejut dan kagum oleh "Pak Boseke", ungkapan hormat dan formal dari seorang Dahlan Iskan, seperti halnya menyapa Eric Samola, seorang Minahasa yg menjadi mentor yang dikagumi sang DI, dalam tulisan resensi buku itu. Bandingkan dengan ungkapan "Pak Wely" yang dipakai oleh seorang Prof. Perry.
Dua cara mengungkapkan dan menegaskan terhadap satu hal yang sama terkait nama penulis buku itu sendiri, sebagai seorang yang mendapat hidayah sejarah lebih dahulu.
Ya, demikian juga fakta sejarah hanya satu, tapi bisa beragam perspektif dalam penulisan apalagi dalam hal tafsir dan makna, dalam lintasan ruang dan waktu: doeloe, kini, mazah depan.
I Yayat U Santi
Stefi Rengkuan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H