Kegiatan ini adalah kelanjutan dari doa berantai yang diselenggarakan oleh Jaringan Doa Nasional dan Indonesia One di seluruh pelosok Indonesia bahkan sampai mancanegara.
Acara ini melibatkan hampir semua aras utama Gereja Kristen dalam pelbagai wadah persekutuannya, Katolik Roma, dan Ortodox. Tahun ini giliran Gereja Katolik, dalam hal ini diwakili oleh Keuskupan Agung Jakarta dan Komisi HAK Konferensi Wali Gereja Indonesia.
Acara puncak telah dilaksanakan Jumat, 2 Juni 2017 di dalam gereja paroki St. Yakobus Kelapa Gading, Jakarta. Gereja besar, 1 lantai setengah, megah, artistik dengan akustik yg bagus, menampung sampai 2500 umat. Maklumlah umat paroki di sana sudah lebih 25.000 jiwa. Berada di dalam kompleks perumahan Angkatan Laut, dengan parkir yg sangat luas.
Peserta yang hadir sekitar 1000an dari pelbagai utusan jemaat dan lembaga, termasuk utusan pemerintah. Sehabis acara di dalam gedung gereja, dilanjutkan dengan ramah tama di ruang aula yang besar di gedung pastoral yg memiliki 4 lantai, pas di belakang gereja.
Acara doa diawali dengan perarakan semua perwakilan aras gereja dan lembaga2 mitra dengan vandel dan benderanya masing. Dilanjutkan dengan sambutan2 dan doa2, kotbah dan diakhiri dengan penandatanganan dokumen doa dan seruan yg ditandatangani semua perwakilan, untuk diserahkan kepada Presiden dan DPR.
***
Berikut beberapa gagasan yg sempat saya tangkap dan masih ingat khususnya tentang kotbah yg dibawakan oleh Uskup Agung Jakarta yang kebetulan juga adalah Ketua Presidium Konferensi Waligereja Indonesia (wadah para Uskup Katolik di Indonesia). Dan belum lama dilantik oleh Paus Fransiscus menjadi Kardinal.Â
Mgr. Ignasius Suharyo mengawali uraiannya dengan menyebut gambaran dan pengalaman akan Allah yang sangat mempengaruhi sikap dan prilaku manusia beragama. Menurutnya, gambaran ini merupakan salah satu akar paling dalam dari masalah konflik beragama dan dalam pelbagai dimensi hidup yg terkait agama.
Kiranya tak berlebihan mengatakan kalau kedamaian dunia tak bisa dilepaskan dari damai dalam diri umat beragama itu sendiri, umat maupun pemimpinnya.
Bagi umat kristiani gambaran Allah akan kasih menjadi sangat relevan dan menantang kita lagi di hadapan fenomena konflik dan kekerasan dan balas dendam. Uskup mengingatkan kita lagi kita akan ensiklik Benediktus XVI Deus Caritas Est, Allah Adalah Kasih, tahun 2005. Konteksnya adalah konflik dan peperangan dunia waktu itu di Irak dan Suriah.
Kembali ke tanah air yg sedang bergejolak akhir2 ini, uskup mengajak umat kristiani untuk punya sikap beriman yang lebih dalam dan luas, jauh ke belakang dan ke depan. Uskup mengajak umat untuk membuat sebuah kontemplasi.
Suatu sikap batin dan budi guna melihat dan mencari apa kehendak Allah sendiri dalam segala peristiwa hidup pribadi maupun kelompok. Apa yang ada di balik setiap peristiwa tersebut?
Sebagai umat beriman, umat kristiani meyakini penyelenggaraan ilahi yang pasti. Apakah sebuah takdir atau kebetulan, atau apapun ajaran iman akan campur tangan Allah itu, yang jelas umat kristiani sungguh meyakini Allah senantiasa membimbing dan menolong manusia dalam jatuh bangunnya.
Untuk itu penting membedakan iman sebagai suatu keyakinan dan pengalaman langsung dengan Allah sendiri, dan agama sebagai suatu bungkus iman.
Uskup coba menarik peserta untuk melihat konsekuensi iman itu dalam kehidupan sehari-hari, khususnya hidup bernegara dan beragama. Iman itu tidak bisa dibeli, tak bisa diperalat, tak bisa dipermainkan dan dimanipulasi.
Orang yg sungguh beriman sudah pasti tak bisa korupsi, tak bisa berlaku semena-mena! Sedangkan dalam tataran agama, bisa terjadi sebaliknya. Bahkan pemimpinnya masih bisa diperalat bahkan ada pemimpinnya yg menipu atas nama agama. Itu bisa terjadi dalam agama dan pemimpin agama apa saja!
Dalam rumusan baku, iman itu mesti diungkapkan! Kita biasanya mengungkapkannya dalam doa, pujian, penyembahan, dan ritual lainnya.
Dan Uskup meyakini bahwa iman tidak cukup diungkapkan dengan pelbagai ritual kesalehan ibadah dan doa.
Iman itu tak berhenti pada rumusan baku dan ritus formal tata ibadah dan ritual kesalehan belaka. Iman itu mesti diwujudkan.
Perwujudan iman bisa sangat beragam dan berbeda tergantung situasi dan kondisi umat beriman. Dalam kondisi negara bangsa sekarang ini kita sudah berusaha mengungkapkan iman melalui doa dan pelbagai ungkapan iman yg kusyuk dan meriah membahana dalam gedung gereja ini sampai menggetarkan dan bergetar dalam diri kita masing dalam persekutuan ini.
Setelah ini apa perwujudan selanjutnya? Tidaklah gampang dan sederhana saja perwujudan iman itu terlebih karena sikon penuh  kecurigaan dan provokasi, dst.
Untuk itu uskup menawarkan sebuah spiritualitas untuk mewujudkan iman itu, yakni spiritualitas inkarnasi. Suatu penjelmaan Allah menjadi manusia, masuk dalam sejarah manusia dengan segala sikon dan permasalahannya. Suatu cara dan gaya hidup solider dan berbela rasa.
Maka kita umat perlu berdoa memohon rahmat kegelisahan. Gelisah karena situasi bangsa ini memanggil untuk umat kristiani terlibat ambil bagian.
Bukan asal gelisah. Namun merasa gelisah sebelum mendapatkan kepastian bahwa semuanya baik2 saja. Mungkin bukan sekedar perasaan ada krisis, sense of crisis.
Yang jelas gelisah karena kehendak Allah mesti terjadi dan umat beriman mesti meyakini sejauh mana sudah dan mesti terlibat aktif, langsung maupun langsung. Apa dan bagaimana kehendak Allah itu sungguh terjadi melalui peristiwa bangsa ini dan sejauh mana saya mengambil bagian di dalamnya.
Dalam doa mohon rahmat kegelisahan dan keyakinan akan bimbingan Tuhan sendiri, sudah tentu perlu peggunaan akal budi untuk memetakan, memahami dengan analisis dan strategi dan teknik yg perlu, baik dan berguna. Maka penting mendesak masukan pelbagai perspektif melalui ahli2 sesuai bidangnya.
Uskup menyebut mendesaknya kompetensi etis dan teknis. Menurutnya, kompetensi teknis tak cukup, bila tidak dilengkapi atau tak disertai dan diawali oleh sikap etis. Suatu kemampuan etis yg bisa diterima dan dipahami oleh makhluk berbudi luhur, apapun latar belakang agama dan golongannya.
Salah satu kemampuan etis itu yang sangat relevan sekarang ini adalah kemampuan bekerjasama, berdialog dan saling bicara dan memahami, menghormati, untuk mewujudkan bangsa yang adil dan sejahtera, damai dan bersatu. Itulah perwujudan iman yang nyata!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H