Mohon tunggu...
Stefi Rengkuan
Stefi Rengkuan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Misteri kehidupan itu karena kekayaannya yang beragam tak berkesudahan

Lahir di Tataaran, desa di dekat Danau Tondano, Minahasa. Pernah jadi guru bantu di SD, lalu lanjut studi di STFSP, lalu bekerja di "Belakang Tanah" PP Aru, lalu di Palu, dan terakhir di Jakarta dan Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Hidup Rukun Damai Tidak Cukup Lagi Membahagiakan?

12 Oktober 2019   08:04 Diperbarui: 12 Oktober 2019   08:12 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alangkah Bahagianya
Hidup
Rukun dan Damai...

Ibarat embun yang segar pada pagi yang cerah


Lagu ini pernah menjadi top hits di Sulawesi Utara bahkan seantero negeri. Itu terjadi justru pada saat konflik dan kerusuhan sara sedang melanda beberapa wilayah di Indonesia. Ini kesaksian dari produser lagu terkenal di Manado, Richie Lamora. 

Bersama dengan Youke Frits, beliau mempopulerkan lagu ciptaan pastor biarawan MSC (Misionariorum Sacratissimi Cordis=misionaris hati kudus Yesus) asal Tonsea Minahasa: Marcel Rarun. Walau bukan urutan lagu andalan, tapi malah itu yang melejit jauh dibanding lagu lainnya.

Faktanya Manado dan sekitarnya aman damai saja. Sulut masih sulit disulut oleh provokasi dan konflik yang telah menghancurkan komunitas-komunitas di daerah tetangga: Ternate, Ambon, Poso.

Lagu ini diciptakan puluhan tahun silam sewaktu masa pemulihan keamanan, pasca perang saudara jaman pergolakan Permesta dengan segala tuntutannya saat itu konteks tertentu, justru masih dalam kerangka setia pada NKRI (baca Piagam Permesta!). 

Tapi sayang mesti terpaksa ditempuh dengan cara bersenjata dan kekerasan antar tentara pusat dan tentara permesta, korban selalu masyarakat umum. 

Walau akhirnya kedua pihak sadar akan keteledoran masing2, namun berapa jiwa yang melayang, berapa energi termasuk anggaran pemerintah habis...dan berapa karir militer dan sipil orang Minahasa yang mentok atau hilang, berapa puluh ribu anak sekolah smp sma dan mahasiswa yang putus di jalan...satu dua generasi hilang atau tertinggal dari saudara2 lain di Jawa. 

Semuanya selalu rugi dan menyesal.  (Kira2 ini juga cerita berpesan bijak walau pedih pilu menggugat, dalam buku Batalion R Djin Kasuang, Pohon Cahaya, Yogyakarta, 2017. 

Sebuah biografi dari pelaku sekaligus korban yang masih belia saat itu terenggut dari bangku sekolah dan terpaksa bergerilya masuk keluar hutan di kawasan Masarang sampai Tampusu yang menjadi wilayah perjuangan mereka)

Lagu ini kemudian dimuat dalam buku ibadat dan nyanyi yang berjudul Madah Bakti yang terbit sekitar tahun 70an oleh Pusat Musik Liturgi Yogyakarta. Sayang buku ini sudah digantikan oleh buku lain yang memang memuat lagu2 ekumenis Kristen Katolik dan Protestan, tapi kebanyakan hanya terjemahan rigid dari karya aslinya yg mayoritas berkonteks Barat. 

Saya hanya mengutip penilaian dari alumnus Fak. Teologi UKIT, seorang aktivis budaya, pada sekitar tahun 1995, beberapa tahun sebelum Presiden Soeharto mengundurkan diri. 

Padahal buku Madah Bakti ini memuat banyak lagu rohani dengan gaya daerah se nusantara, ya Indonesia yang mengenal hanya dua musim karna di daerah equator tapi memiliki keragaman aneka hayati yang besar bahkan kebinekaan etnis, ras, agama dan golongan yang banyak. Di situ hanya sedikit lagu dari Eropa yang punya 4 musim: dingin, semi, panas, gugur.

Siapapun yang cinta perdamaian dan persatuan memang sadar dan terus ingat kebijakan nusantara kuno: kalah jadi abu, menang jadi arang. Dua-duanya terbakar dan memang menyakitkan serta membawa luka yang akan terus membekas walau sudah sembuh.

Konflik dan kerusuhan sara itu waktu sekitar akhir dan peralihan milenium kedua. Mungkin juga dipicu oleh pelbagai ramalan akhir jaman akan tergenapi. Entahkah kiamat itu kalau datang hanya terjadi di belahan bumi tertentu? Cuma dialami oleh orang-orang tertentu? 

Ya, mungkin itu kiamat lokal istilahnya. Yang jelas ada hujan lokal di tengah teriknya panas yang meluas. Sebaliknya ada kekeringan lokal di tengah bencana banjir. 

Apapun gejala dan fakta alam itu bisa menjadi gambaran dan cerminan siapakah manusia, siapapun dia, selama masih hidup dan akan dikuburkan di bumi yang satu dan sama.

Entahkan ada "bumi" alien di kegelapan semesta anta berantah yang menjadi tujuan akhir manusia? Bisa jadi. Yang jelas sampai saat ini umat manusia masih tinggal di bumi yang satu dan sama in! 

Bila manusia mampu menginjakkan kaki di bulan yang berjuta kilometer jaraknya, mengapakah tak bisa mendekatkan pikiran dan hati sendiri yang hanya dua jengkal jaraknya?  

Berdoa minta Tuhan saja "berpengapa" dan berperistiwa? Ada teman di grup Kawanua Informal Meeting KIM yang mengkritisi ini istilah dipakai oleh pengkotbah2 di tanah Minahasa. Apa tepat isi dan konteks sebuah istilah itu? Intermezzo aja.

Yang pasti orang beriman sudah punya bumi baru di seberang kehidupan di bumi lama ini. Tapi apakah Tuhan merindukan manusia tinggal di bumi baru itu bila manusia itu tidak rindu dan cinta merawat bumi tempat tinggal sekarang ini?

Benar isi lagu di atas, tapi memang benar juga perlu usaha nyata untuk mewujudkan dan merawatnya terus menerus. 

Bila tidak ada usaha, isi maksud lagu di atas tak bisa lagi membawa kebahagiaan karena rukun dan damai bukan lagi ideal dan praktik penyanyi dan penikmatnya. 

Nikmat surgawi apakah lagi yang bisa dirasakan di dunia ini secara antisipatif, bila tiada lagi harapan hidup rukun dan damai yang membahagiakan?

Nos Unum Sumus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun