Ketika berusia 25 tahun dan satu tahun sesudah pentahbisannya beliau diberi mandat oleh Provinsialat Augustin Belanda untuk menjadi misionaris di tanah Papua.Â
Hal ini sebagai sebuah upaya untuk membantu karya pelayanan pastoral yang telah dimulai oleh para saudara se-ordo yang sudah berada dahulu di tanah Papua, dibawah pimpinan Mgr. Petrus van Diepen, OSA dkk. Tugas itu diterima oleh P. Tromp dalam ketaatan dan kerendahan hatinya juga kesederhanaannya dalam bermisi.
Menjadi misionaris dalam usia mudah adalah sebuah tantangan yang luar biasa. Sebab beliau harus memulai karya pelayanan pastoralnya dengan segala keterbatasan, terlebih khusus dalam berkomunikasi dengan umat/masyarakat yang akan dilayani.Â
Walaupun sebelumnya telah memperlajari/mengikuti kursus Bahasa Indonesia di Belanda, namun demikian kenyataan dalam karya pastoralnya cukup berbeda, karena hampir semua umat/masyarakat di daerah pedalaman Papua lebih kuat dalam menggunakan Bahasa tradisional (daerah). Akan tetapi, beliau amat mudah mengatasinya, karena memiliki kecerdasan dan prinsip yang kuat untuk tekun mempelajarinya.
Tugas pertamanya sebagai Pastor Pembantu di Paroki St. Yohanes --Bintuni memberikan banyak pengalaman yang berarti. Kedekatan beliau dengan seluruh umat/masyarakat, menjadi senjata untuk memudahkannya dalam berkomunikasi.Â
Pelayanan-pelayanannya selama menjdi pastor pembantu mendapat sambutan dari semua umat yang berada di setiap stasi yang ada dalam wilayah paroki. Berjalan, menyusuri hutan dan lembah dengan bermil-mil jalannya, semangat untuk pelayanan tetap membara. Energitas tubuh yang kalah itu masih kekar menjamin efektivitasnya sebuah pelayanan pastoral. Semua itu demi misi pewartaan nilai-nilai Kerajaan Allah.
III. Menjadi Warga Negara Indonesia
Pengalaman-pengalaman berpastoralnya dan ketekunannya dalam mempelajari bahasa Indonesia meninggalkan banyak kesan yang berarti. Di samping ada lelucon dan canda tawa, juga ada berbabagai tantangan yang dihadapinya sebagai seorang imam muda.
Dua Puluh Lima (25) tahun hidup dengan identitas sebagai Warga Negara Asing (WNA) tentu menimbulkan banyak kendala dalam pelayanan administrasi dan lain sebagainya.Â
Kala itu, proses naturalisasi/pewarganegaraan tidak bersifat pragmatis sebagaimana yang terjadi dewasa ini. Walaupun demikian berbagai macam prosedur dilalui untuk mendapatkan naturalisasi sebagai Warga Negara Indonesia. Akhirnya, harapan itu terjadi pada tahun 1995. P. Anton Tromp akhirnya menjadi seorang Warga Negara Indonesia.
Keinginan untuk menjadi Warga Negara Indonesia merupakan niatnya, karena beliau memiliki tujuan mulia untuk berkarya sepanjang hayatnya di tanah Papua. Bahasa Indonesia telah mendarah daging dalam dirinya.Â