Selamat datang di essai ke-4 saya ini. Pada kali ini, saya akan membahas mengenai darah manusia.
Darah merupakan jaringan ikat khusus yang terdiri atas sel-sel darah, keping darah, dan matriks yang berbentuk cairan (plasma). Komponen penyusun darah adalah plasma darah, sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan keping darah (trombosit). Meskipun semua darah manusia terbentuk dari komponen penyusun darah yang sama, namun tak semua darah itu sama.Â
Pengklasifikasian atau penggolongan darah ini ditentukan berdasarkan ada atau tidak adanya zat antigen warisan pada permukaan membran eritrosit. Antigen dapat berupa protein, polisakarida, atau molekul lainnya yang dapat merangsang tubuh untuk memproduksi antibodi dalam plasma darah. Antibodi adalah bagian dari pertahanan alami tubuh terhadap zat-zat asing yang berbahaya. Reaksi antigen dengan antibodi dapat menyebabkan aglutinasi (penggumpalan) sel darah merah sehingga antigen disebut juga aglutinogen, sedangkan antibodi disebut juga aglutinin.
Penggolongan darah bedasarkan sistem ABO, dilakukan berdasarkan ada atau tidak adanya antigen (aglutinogen) tipe A dan tipe B pada permukaan eritrosit serta antibodi (aglutinin) tipe (anti-A) dan tipe (anti-B) di dalam plasma darahnya.
Lalu, apakah penyakit eritroblastosis fetalis pada janin ini dapat disembuhkan? Mari kita bahas lebih dalam.
Kasus eritroblastosis fetalis ini biasanya terjadi pada kehamilan anak kedua dan seterusnya apabila semua anak rhesusnya positif. Pada kehamilan anak pertama darah janin tidak banyak yang masuk ke dalam sirkulasi darah ibu. Sehingga tidak terbentuk antibodi pada tubuh ibu dan tidak akan muncul penyakit eritroblastosis fetalis ini. Namun jika sang ibu mengandung anak kedua, keadaanya akan lebih berbahaya karena antibodi ibu yang terbentuk setelah kelahiran anak pertama sebelumnya akan menyerang sel darah janin yang mengandung antigen. Akibatnya, sel darah janin akan pecah (hemolisis).
Untuk mendiagnosis eritroblastosis fetalis, dokter akan melakukan tes darah secara rutin saat kunjungan pertama ibu hamil. Dokter akan menguji jenis darah ibu dan akan menentukan apakah sang ibu memiliki antibodi anti-Rh dalam darahnya dari kehamilan sebelumnya atau tidak memiliki. Jika sang ibu memiliki antibodi Rh- dan Rh, langkah selanjutnya yang akan dilakukan dokter adalah menguji darah sang ayah. Jika golongan darah ayah adalah Rh-, maka tidak diperlukan pengujian yang lebih lanjut. Namun, apabila golongan darah sang ayah adalah Rh+, atau jika ia memilki antibodi anti-Rh, maka perlu diadakan pengujian terhadap darah ibu lebih lanjut.Â
Yaitu pada saat memasuki 18 sampai 20 minggu kehamilan dan lagi pada saat 26 sampai 27 minggu kehamilan. Darah sang ibu terus diuji untuk antibodi selama masa kehamilannya. Hal ini dilakukan kira-kira setiap 2 sampai 4 minggu. Jika tingkat antibodi sang ibu mulai meningkat, dokter mungkin akan merekomendasikan tes untuk mendeteksi aliran darah arteri serebral janin yang tidak menyerang janin. Eritroblastosis fetalis muali dicurigai jika aliran darah janin terkena. Jika bayi yang lahir tampak berwarna kuning (kulit bayi berwarna kuning karena terjadi penumpukkan bilirubin) namun ketidakcocokan Rh tidak dicurigai oleh dokter, si bayi mungkin mengalami masalah karena ketidakcocokkan ABO.Â
Hal ini sering paling sering terjadi pada saat sang ibu yang memiliki golongan darah O melahirkan bayi yang memiliki golongan darah A, B, atau AB. Karena golongan darah O memiliki antibodi A dan B, darah ibu dapat menyerang sang janin. Namun, gejala ini umumnya dianggap jauh lebih ringan daripada ketidakcocokkan Rh. Ketidakcocokkan ABO dapat dideteksi melalui tes darah yang dikenal dengan tes Coombs. Tes ini dilakukan setelah bayi lahir. Hal ini dapat mengindikasikan mengapa bayi mungkin dapat mengalami ikterus (perubahan warna kulit bayi yang baru lahir menjadi kuning) atau anemia.
Tergantung dengan hasil ujinya, sang ibu mungkin memerlukan amniosentesis dan tes lainnya untuk mengukur kadar bilirubin (pigmen empedu) dalam cairan amnion (cairan ketuban) setiap 2 minggu dimulai sejak 28 minggu kehamilan. Wanita yang sudah peka terhadap factor Rh harus menjalani amniosentesis pada usia kehamilan 26 sampai 30 minggu, atau tergantung pada seberapa besar sensivitasnya. Amniosentesis adalah suatu tes yang memeriksa masalah pada cairan ketuban janin untuk melihat peningkatan kadar bilirubin. Dengan menggunakan panduan ultrasound, pihak kesehatan dapat mengambil sampel cairan ketuban dengan cara meletakkan jarum melalui kulit sang ibu masuk ke dalam rahim.Â
Lalu, sampel tersebut akan diuji. Tes ini dapat diulang secara berkala untuk memantau resiko anemia sang janin. Jika pemantauan menunjukkan bahwa kadar bilirubin dalam cairan amnion normal, tidak ada pengobatan yang mungkin dibutuhkan saat proses kehamilan berlanjut hingga persalinan. Namun, jika kadar bilirubin tersebut tinggi dan ada tanda-tanda yang mengancam janin, langkah yang akan dilakukan adalah memberikan transfusi di dalam rahim setiap 10 hari sampai 2 minggu hingga mencapai usia kehamilan 32 sampai 34 minggu. Kemudian, bayi harus dilahirkan secara prematur.
 Prosedur ini harus dilakukan di pusat medis yang dapat merawat kehamilan yang memiliki resiko tinggi. Agar sang ibu dan sang anak dapat terselamatkan. Meminimalisir trauma yang didapatkan sang bayi yang lahir secara prematur tersebut adalah hal yang penting. Plasenta tidak boleh dilepas secara manual untuk menghindari peremasan sel dari darah bayi ke pembuluh darah sang ibu. Bayi yang telah lahir dengan penyakit Rh harus segera diperiksakan pada dokter anak yang mampu melakukan transfusi jika diperlukan.
Selain itu, eritroblastosis fetalis juga dapat didiagnosa sebelum bayi lahir dengan cara pengambilan sampel darah janin. Tes ini dapat dilakukan untuk memeriksa jenis golongan darah sang janin dan resiko anemia (kekurangan sel darah merah atau eritrosit). Pihak kesehatan akan mengambil sampel darah janin dari plasenta. Dengan menggunakan panduan ultrasound, jarum dimasukkan melalui kulit sang ibu ke dalam rahim, dan akan masuk ke dalam plasenta. Selanjutnya, sampel akan dikirim ke laboratorium untuk diuji lebih lanjut.
Selain itu, eritroblastosis fetalis juga dapat didiagnosa sebelum bayi lahir dengan cara ultrasonography(USG). Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menunjukkan gambar janin sang ibu di dalam rahim. Pihak kesehatan dapat mengamati dan mempelajari usia sang janin dan melihat seberapa cepat ia tumbuh. USG dapat menunjukkan gerakan sang janin, denyut jantung, dan organ tubuh sang janin. Plasenta dan cairan ketuban sang ibu juga mungkin akan diperiksa. USG Doppler dapat digunakan untuk melihat aliran darah sang janin. Pihak kesehatan dapat menggunakan tes ini untuk memeriksa apakah sang bayi menderita anemia atau tidak. USG Doppler ini juga dapat menggantikan tes aminosentesis yang telah dibahas sebelumnya.
Selain itu, eritroblastosis fetalis juga dapat didiagnosa sebelum bayi lahir dengan cara pengujian sampel villus chorionic adalah suatu tes pralahir dimana sampel villus chorionic dikeluarkan dari plasenta untuk pengujian. Sampel ini dapat diambil melalui serviks atau dinding perut. Selama kehamilan, plasenta memberikan oksigen dan nutrisi pada sang janin yang sedang dalam proses pertumbuhan dan membuang produk limbah dari darah bayi. Villi chorionic adalah proyeksi tipis jaringan plasenta yang berbagi susunan genetik sang janin. Pengambilan villi chorionic ini biasanya dilakukan antara masa kehamilan minggu ke-10 dan 13 (lebih awal dari tes diagnostic prenatal lainnya, seperti amniosentesis). Pengujian sampel villus chorionic dapat mengungkapkan apakah sang jain memiliki kondisi kromosomal, seperti Down Syndrom.
Pencegahan adanya eritroblastosis fetalis pada janin juga dapat dilakukan. Langkah-langkah pencegahan dilakukan untuk memastikan bahwa antibodi tidak terbentuk sejak awal. Hal ini dapat berupa dengan pemberian suntikan antibodi anti-Rh pada sang ibu dalam waktu 72 jam setelah melahirkan bayi. Hal ini dapat menyebabkan salah satu sel darah merah si bayi yang mungkin telah masuk ke dalam darah ibu untuk dihancurkan sebelum membuat sensitiasi sistem kekebalan tubuh sang ibu. Jika sang ibu kehilangan banyak darah saat melahirkan, suntikan tambahan mungkin diperlukan. Antara 1 dan 2 persen dari waktu pengobatan ini gagal. Hal ini dikarenakan sang ibu sudah peka selama kehamilan daripada saat melahirkan.
Pengobatan dapat dilakukan secara preventif terhadap ibu dengan darah Rh- dan tidak ada sensitisasi yang nyata pada masa kehamilan sekitar 28 minggu. Setiap antibodi yang beredar dalam darah sang ibu secara bertahap akan hancur dan sang ibu tetap tidak akan tersensitisasi. Pengobatan juga harus diberikan setelah terjadi pendarahan atau setelah melakukan amniosentesis atau pengambilan sampel villus chorionic.
Pengobatan selama kehamilan dapat berupa transfusi darah intrauterine sel darah merah ke dalam sirkulasi janin. Hal ini dilakukan dengan menempatkan jarum melalui rahim ibu dan masuk ke rongga perut janin atau langsung ke pembuluh darah di plasenta. Transfusi intrauterine ini perlu dilakukan secara berulang. Pengobatan yang kedua adalah persalinan dini jika janin mengalami komplikasi. Jika janin memiliki paru-paru matang, persalinan dapat dilakukan untuk mencegah bertambah buruknya eritroblastosis fetalis.
Sedangkan pengobatan setelah kelahiran dapat berupa transfusi darah (untuk anemia berat), pemberian cairan intravena (untuk tekanan darah rendah), dan bantuan untuk gangguan pernapasan dengan menggunakan oksigen, surfaktan, atau mesin pernapasan mekanis. Juga bisa melakukan pertukaran transfusi untuk mengganti darah bayi yang rusak dengan darah yang segar. Transfusi ini membantu meningkatkan jumlah sel darah merah dan menurunkan kadar bilirubin.Â
Transfusi pertukaran dilakukan dengan bergantian memberi dan menarik darah dalam jumlah kecil melalui pembuluh darah vena atau arteri. Transfusi perlu diulang jika kadar bilirubin masih tetap tinggi. Cara lainnya juga bisa dengan menggunakan intravena imunoglobin (IVIG). IVIG adalah cairan yang terbuat dari plasma darah yang mengandung antibodi untuk membantu sistem kekebalan tubuh sang bayi. IVIG dapat membantu mengurangi kerusakan sel darah merah dan menurunkan kadar bilirubin.
Eritroblastosis fetalis tidak dapat disembuhkan secara total atau sepenuhnya. Namun, sebgaian efek-efek yang muncul dari penyakit ini dapat disembuhkan. Efek-efek yang dapat muncul selama masa kehamilan adalah anemia ringan, hiperbilirubinemia (kadar bilirubin yang tinggi dalam darah), dan ikterus. Plasenta membantu untuk menyingkirikan beberapa bilirubin, namun tidak semuanya. Efek yang kedua adalah anemia berat dengan pembesaran hati dan limpa. Bila organ dan sumsum tulang ini tidak dapat mengkompensasi kerusakan sel darah merah yang cepat ini, hasil anemia berat dan organ lainnya akan terpengaruh.Â
Efek yang ketiga adalah hydrops fetalis (adalah kondisi serius pada janin yang ditandai masuknya cairan ke dalam 2 atau lebih rongga pada jaringan tubuh janin). Â Hydrops fetalis umumnya merupakan kondisi tahap akhir dari beberapa penyakit yang menyerang janin. Hal ini terjadi karena organ janin tidak dapat menangani anemia. Jantung mulai gagal bekerja dan sejumlah besar cairan terbentuk di jaringan dan organ janin. Janin dengan hydrops fetalis beresiko besar akan lahir dalam keadaan mati.
Sedangkan efek yang dapat muncul setelah kelahiran adalah hiperbilirubinemia berat dan ikterus. Dimana hati bayi tidak dapat menangani bilirubin dalam jumlah besar yang berawal dari kerusakan sel darah merah (Hati membesar dan anemia berlanjut). Efek yang kedua adalah Kernicterus (adalah bentuk hiperbilirubinemia paling parah dan berawal dari penumpukkan bilirubin di otak). Hal ini bisa menyebabkan kejang-kejang, kerusakan otak, tuli, hingga kematian.
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit eritroblastosis fetalis ini tidak dapat disembuhkan sepenuhnya dari si penderita. Namun, efek-efek yang ditimbulkan dari penyakit ini dapat disembuhkan dengan melakukan berbagai macam pengobatan yang telah dibahas di atas.
Sekian pembahasan saya mengenai darah manusia dan penyakit eritroblastosis fetalis pada kali ini. Saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan tulisan atau bahasa pada essai saya ini. Terima kasih telah membaca essai ini. Semoga membantu!
Silahkan beri komentar di kolom komentar untuk saya agar dapat menjadi lebih baik lagi untuk kedepannya. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA: 1 | 2 | 3Â | 4 | 5 | 6Â |Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H