Yang sekarang dipersoalkan bukan apakah 'orang Jawa Tengah' yang dipakai Pigai tersebut merupakan aksioma atau bukan, melainkan rasis atau tidak. Untuk itu, kita perlu paham apa yang dimaksud rasis atau rasialisme.
KUBI mendefiniskan rasialisme sebagai pertama, prasangka berdasarkan keturunan bangsa; perlakuan yang berat sebelah terhadap (suku) bangsa yang berbeda-beda. Kedua, paham bahwa ras diri sendiri adalah ras yang paling unggul.
Jadi, KUBI mengartikan rasisme dari dua arah. Pertama, pandangan kita (sebagai bagian suku atau ras) terhadap suku atau ras lain dan kedua, pandangan kita terhadap suku atau ras kita sendiri dalam kedudukannya bersama ras atau suku lain. Saya sebagai orang Jawa mengatakan, "Orang Tionghoa pelit-pelit" (maksudnya tidak seperti orang Jawa yang murah hati), itu rasis!
Demikian juga ketika saya mengatakan, "Orang Batak kasar-kasar", "Orang Minahasa malas-malas", atau "Orang Papua tidak tahu adat"... itu pernyataan-pernyataan rasis! Saya telah berlaku tidak adil atau berat sebelah dalam memperlakukan suku lain. Sebab, faktanya, orang Jawa yang malas, ada. Orang Jawa yang kasar, ada. Orang Jawa yang tidak tahu adat, ada.
Tetapi juga sebaliknya, bila saya sebagai orang Jawa berpikir atau bahkan menyatakan, "Orang Jawa pandai-pandai tidak seperti orang Lampung"... pernyataan ini juga rasis! Saya telah menganggap bahwa suku lain lebih rendah daripada suku saya. Atau sebagai orang Tionghoa saya berpikiran, "Untung saya sebagai orang Tinghoa bukan pribumi. Orang Tionghoa rajin-rajin sedangkan orang pribumi malas-malas" ini juga pernyataan rasis!
Kembali ke Pigai. Sampai titik ini mestinya kita bisa sepakat bahwa 'orang Jawa Tengah' yang dipakai Pigai jelas bukan rasis. Kecuali dia mengatakan, "Jangan percaya orang Jawa Tengah, mereka penipu semua!" Itu baru rasis! Pigai tidak mengatakan seperti itu.
Tentu saja, persoalan tidak bisa berhenti sampai di situ. Jokowi dan Ganjar adalah orang Jawa Tengah, benar itu aksioma. Pertanyaannya, kalau itu aksioma, mengapa Piagi merasa perlu membawa-bawa frase 'orang Jawa Tengah' tersebut dalam cuitannya?
Bukankah cukup mengatakan, "Jangan percaya Jokowi dan Ganjar"? Itu persoalannya! Ada apa di balik pikirannya? Ini pertanyaannya. Apa motivasinya? Apa yang ada di benak bawah sadarnya? Itu yang perlu digali.
Jangan-jangan, frase "orang Jawa Tengah" yang memang aksioma itu sesungguhnya meluncur begitu saja sebagai cermin dari cara pikirnya yang rasis? Karena sesungguhnya bahasa hanyalah ungkapan, rasis yang sesungguhnya ada dalam pikiran.
Tetapi, tidak perlu ribut. Fakta bahwa Jokowi begitupun Ganjar disambut meriah di Papua, itu menunjukkan bahwa cuitan Pigai itu juga aksioma. Aksioma tentang apa? Provokasi yang gagal!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H