Mohon tunggu...
Stefanus Ari
Stefanus Ari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Boikot Starbucks Karena Mendukung LGBT: Benar atau Salah?

8 Juli 2017   23:49 Diperbarui: 9 Juli 2017   11:09 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
http://cdn8.larepublica.pe

Beberapa hari ini penulis tergelitik oleh pernyataan berbagai kalangan seperti Organisasi Masyarakat Muhammadiyah, Komisi VIII DPR (Jawa Pos, 2017), dan sebagainya yang menyerukan boikot terhadap gerai kopi milik Starbucks di Indonesia. Hal tersebut dilakukan karena menimbang dukungan yang dilakukan oleh Starbucks pusat terhadap kaum Lesbian Gay Transgender dan Biseksual (LGBT). Motivasi kuat yang mendukung boikot ini menyatakan bila tindakan Starbucks di atas bisa mempengaruhi maupun mengancam budaya dan ideologi Pancasila yang dianut oleh Indonesia. Lantas, yang membuat penulis bertanya-tanya adalah sampai harus begitukah tindakan yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait? Dan seberapa besar urgensinya terhadap negara Indonesia ini?

Asumsi awal penulis mengenai masalah di atas sebenarnya lebih ke posisi kontra terhadap gerakan boikot, tetapi untuk memandang LGBT penulis lebih ke arah moderat. Jadi, tindakan boikot itu sebenarnya merupakan manifestasi dari sebuah kegiatan yang terlalu membesar-besarkan masalah, karena hingga tulisan ini dibuat tidak ada gerakan kampanye atau menyebarkan konten-konten yang berbau dengan LGBT  oleh Starbucks kendati nanti ada pun penulis sudah menyiapkan solusi terkait. Masalah negara masih banyak yang harus diselesaikan seperti isu Suku Agama Ras dan Antargolongan (SARA) yang akhir-akhir ini menjadi buah bibir hangat di kalangan masyarakat. Masalah SARA ini sendiri digadang-gadang bisa menjerumuskan rakyat Indonesia ke arah pemikiran yang terlalu tendensius seperti radikalisme dengan kata lain dapat mengancam negara ini.

Di samping itu, penulis melihat bila tindakan ini dapat mengintimidasi kaum LGBT di Indonesia secara tidak langsung. Konstruksi pikiran masyarakat yang umumnya sudah terlanjur buruk terhadap kaum LGBT akan meningkat setelah tindakan pemboikotan ini ramai digalakkan. Hal ini bisa dikategorikan sebagai dampak karena kaum LGBT yang tidak ada sangkut pautnya dengan Starbucks harus menanggung intimidasi yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Intimidasi ini bisa mengancam hak manusia dari kaum tersebut atau bisa berakibat ketidak adanya memanusiakan manusia.

Dua motivasi kuat penulis untuk membuat artikel ini adalah, pertama nilai Pancasila atau ideologi negara Indonesia yang digadang-gadang dapat terkikis dengan adanya boikot Starbucks merupakan pernyataan yang tidak logis. Penulis akan menjabarkan sila-sila di Pancasila yang justru menghormati maupun menghargai kaum LGBT, sila Pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa adalah Tuhan milik semua golongan jadi tidak menutup kemungkinan hubungan vertikal kaum LGBT dengan Tuhan bukan menjadi urusan eksternal.

 Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab juga menjunjung segala bentuk tindakan yang memanusiakan manusia, apabila kaum LGBT sampai terintimidasi akibat gerakan di atas bisa jadi oknum-oknum yang gencar melakukan kegiatan boikot itu melanggar sila ini. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Warga Negara Indonesia, patut ditekankan kaum LGBT itu adalah warga negara Indonesia, sama seperti kalimat di atas jika dampak dari boikot bisa mengarah ke degradasi hak warga negara bagi kaum LGBT secara perlahan-lahan.

Motivasi kedua, terdapat perusahaan-perusahaan lain yang ramah terhadap LGBT seperti, Apple, Google, Yahoo, Microsoft, dan Facebook (Jawa Pos, 2017). Dari sini dapat dikatakan apa mungkin perusahaan di atas yang mempunyai pengaruh dan hampir seluruh masyarakat di Indonesia sendiri amat sangat membutuhkan produk-produk keluaran perusahaan tersebut akan diboikot oleh Indonesia? Tentu tidak mungkin, lantas mengapa isu Starbucks mendukung LGBT langsung dibuat sebuah tindakan boikot? Bukan sebuah gerakan yang rasional menurut penulis.

Kedua motivasi di atas bukan serta merta penulis memiliki sebuah kepentingan khusus dengan Starbucks, melainkan peduli dan peka terhadap situasi ini. Boikot Starbucks adalah trigger(pemantik) yang bisa menjadi sebuah stimulus kuat terhadap kebencian Indonesia secara berlebihan kepada kaum LGBT dan ini bisa mengakibatkan terkikisnya nilai-nilai Pancasila yang sudah penulis jabarkan di paragraf sebelumnya.

Solusi yang penulis tawarkan mengenai masalah ini adalah 3M yakni, Memantau, Mengkoordinasi, dan Memberikan Sanksi. Memantau di sini memiliki artian bahwasannya Starbucks Indonesia bisa bersikap dan bertindak  sesuai dengan Pancasila atau tidak. Maksudnya tidak berkampanye atau menunjukkan eksistensi LGBT secara berlebihan di Indonesia, karena negara ini sendiri mempunyai budaya yang tidak relevan dengan LGBT akan tetapi masih ada kemungkinan besar menghormati kaum tersebut, maka jalan tengahnya adalah menghormati hubungan horizontal Indonesia.

Mengkoordinasi bisa diterjemahkan sebagai bentuk rasa tanggung jawab Starbucks Indonesia jika perusahaan pusatnya menyerukan segala kebijakan yang tendensius ke kaum LGBT bisa disaring dengan kebudayaan Indonesia sesuai paragraf sebelumnya (menggunakan strategi bisnis yang menyesuaikan negara tujuan/host country). Namun, hal ini juga perlu dikoordinasikan oleh pihak-pihak terkait seperti stakeholderIndonesia secara rutin agar menekan adanya salah paham oleh berbagai oknum. 

Berlanjut ke solusi terakhir, yaitu memberikan sanksi apabila Starbucks tidak dapat menjalankan kedua solusi di atas. Sanksi tersebut bisa berupa peneguran, atau bila tidak berpengaruh dapat dilakukan penutupan gerai-gerai Starbucks. Memang terlihat seperti boikot tapi lebih bijaksana karena melalui dua tahap solusi dan tidak serta merta langsung menyerukan pemboikotan. Terdapat contoh peraturan yang mengatur mengenai kegiatan kampanye LGBT milik Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3 & SPS) KPI tahun 2012 yang isinya tentang "penghormatan terhadap nilai dan norma kesusilaan dan kesopanan, ataupun tentang perlindungan anak dan remaja yang melarang adanya muatan yang mendorong anak dan remaja belajar tentang perilaku tidak pantas atau membenarkan perilaku tersebut" (KPI, 2016).

Kesimpulan, bijaksanalah sebagai warga negara Indonesia dalam melihat sebuah isu. Bisa saja hal ini menjadi alat untuk melancarkan kepentingan-kepentingan dari pihak yang tidak bertanggung jawab dan berakibat ke ancaman kehidupan manusia kaum LGBT. Melalui tiga tahap di atas penulis dengan tegas menolak boikot Starbucks dan berdiri di sisi moderat dalam menghadapi segala isu yang mengancam manusia di Indonesia, khususnya LGBT ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun