Mohon tunggu...
Stefanus Ari
Stefanus Ari Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Gay Sex Party: Balada Sebuah Perspektif

3 Juni 2017   19:57 Diperbarui: 5 Juli 2017   16:59 501
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penghujung April tepat tanggal 29 di tahun 2017, kota Surabaya digegerkan atas insiden pembubaran sebuah pesta tapi bukan sekedar pesta biasa melainkan “ sex party” yang sengaja diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan biologis para sekelompok orang dengan orientasi seksual yang “berbeda” yakni “gay” (CNN Indonesia, 2017). Tidak lebih dari satu bulan yakni pada tanggal 22 Mei 2017 (Megapolitan Kompas, 2017), Indonesia khususnya Jakarta terkejut atas penemuan sebuah pusat kebugaran yang digunakan sebagai sarana pemuas nafsu para pria gay lengkap dengan berbagai fasilitas di dalamnya yang digerebek bukan hanya satu atau dua kelompok saja, melainkan seratus empat puluh satu orang terjaring dalam penggrebekan tersebut (The Jakarta Post, 2017).

Tentu saja kedua kasus di atas menjadi buah bibir hangat seluruh lapisan masyarakat baik yang pro dan kontra. Ada yang mengaitkan ini dengan pelanggaran agama dan norma yang berlaku di masyarakat serta ada juga yang menghubungkannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Menurut hemat penulis, hal  paling esensial yang dapat ditarik dari dua kasus tersebut melalui perspektif pro dan kontra adalah bukan semata-mata berupa justifikasi kelompok LGBT-nya, melainkan tertuju ke arah sang inisiatoryang mewadahi aktivitas tersebut. Kepolisian pun sangat arif dan proporsional dalam menindak aktivitas ini. Hal ini terbukti dengan  126 orang dari 141 orang yang telah ditangkap polisi telah dibebaskan, yang berarti tidak terbukti terlibat dalam aktivitas “menginisiasi” (Megapolitan Kompas, 2017). Sedangkan yang masih ditahan ialah 15 orang dan 10 sudah dijadikan tersangka, bahwasannya sebagian besar dari mereka ini adalah pengelola tempat kejadian dan pesta tersebut. Logika keputusan Kepolisian sebenernya sangat sederhana. Ketika ada penggrebekan di suatu klub malam, dari semua pengunjung yang diperiksa oleh polisi ditemukan beberapa pengunjung yang positif menggunakan narkoba. Dari beberapa pengguna narkoba ternyata ditemukan sindikat perdagangan narkoba di dalamnya. Kalau pembaca diposisikan sebagai polisi yang bertugas menangani kasus ini, siapakah yang menurut pembaca patut ditahan? Pengguna yang menggunakan narkoba atau sindikat perdagangan narkoba yang dengan egoisnya merusak generasi penerus bangsa hanya demi kepentingan pribadinya?

Uniknya, konstruksi pikiran masyarakat terkadang sangat cepat terbangun tanpa pondasi yang terlalu kokoh. Penulis sempat melakukan diskusi mengenai pesta seks ini dengan teman sejawat dengan umur yang bervariasi. Tidak terkejut apabila sebagian besar dari mereka sangat menyayangkan atas keputusan kepolisian yang melepaskan 126 orang tersebut. Alasannya beragam, tapi mayoritas stigma negatif terlalu tertempel erat pada kelompok LGBT, meskipun sudah banyak dari mereka yang sudah melakukan aktivitas-aktivitas yang positif, seperti edukasi, berkarya dengan film, atau yang bisa diakui sebagai sebuah terobosan adalah Pesantren Waria di Yogyakarta, meskipun pesantren ini ditutup dikarenakan beberapa alasan (BBC Indonesia, 2016). Kegiatan-kegiatan yang diprakarsai oleh kelompok LGBT mengandung unsur positif seperti di atas memiliki potensi bahwa kelompok-kelompok sosial yang termasuk  minoritas ini mampu menjaring simpati dari masyarakat, Akan tetapi, apabila ada satu saja kegiatan yang mempunyai unsur negatif secara otomatis konstruksi masyarakat terhadap kaum LGBT yang selama ini selalu dianggap buruk, akan terbangun semakin menjulang tinggi. Kekhawatiran yang paling massive adalah dirampasnya hak-hak mereka sebagai Warga Negara Indonesia yang seharusnya mendapatkan perlakuan yang sama di mata hukum dan Negara sesuai amanat UUD 1945 dan Pancasila.

Penulis akan menyuguhkan dua opini utama yang memang terfokus ke perlakuan hukum atas aktivitas pesta tersebut, bahwasannya kedua opini tersebut memanifestasikan posisi penulis yang berdiri di atas jembatan antara kedua perspektif masyarakat, yakni tidak pro juga maupun kontra (jalur moderat) terhadap kasus di atas. Yang pertama, kasus LGBT tersebut tergolong unik di lingkungan budaya Indonesia yang memang cenderung memandang tabu mengenai orientasi seksual yang “berbeda”. Dilihat dari perlakuan hukumnya, penulis mengapresiasi apa yang telah diputuskan oleh aparat penegak hukum. Jika ditelaah, kasus pesta seks gay ini  melanggar UU Republik Indonesia No 44 tahun 2008 pasal 4 ayat 2 dan pasal 30 tentang Pornografi yang memiliki pengertian dan implementasi yang sama, untuk siapapun dan kelompok apapun. Dengan kata lain, pesta seks yang dilakukan oleh heteroseksual saja bisa dimasukkan ke dalam pelanggaran hukum atas Undang-Undang tersebut di atas. Jadi, apa yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam kasus ini tidak sedikit pun mengintimidasi kaum LGBT. Opini “karena acaranya LGBT makanya polisi sangat reeaktif” harus didegradasi. Dengan kasus ini, penulis bahkan beranggapan bahwa kejadian ini menjadi sebuah cambuk bagi inisiator untuk berpikir dua kali sebelum membuat acara yang memuat unsur pornografi, apapun orientasi seksualnya.

Opini kedua, penulis menempatkan pandangan sedikit keluar dari masyarakat umumnya. Penulis keberatan dengan segala justifikasi yang di alamatkan kepada kelompok LGBT secara menyeluruh. Indonesia dengan tegas menolak perilaku LGBT karena tidak sesuai dengan budaya bangsa dan norma masyarakat. Penulis keberatan dengan justifiskasi secara radikal yang seolah-olah sebagian dari masyarakat menutup mata akan kenyataan bahwa “tidak semua kelompok LGBT memiliki hasrat untuk menggelar ataupun ikut berpartisipasi dalam pesta seks”. Sama halnya dengan pria atau wanita heteroseksual yang bebas memilih untuk bergabung dengan dunia prostitusi atau tidak. Di sisi lain Indonesia adalah negara Pancasila dalam sila kedua dan kelima dapat diinterpretasikan sebagai pengakuan terhadap keadilan, kemanusiaan yang memanusiakan manusia, yang mendapatakan hak dan kewajiban yang sama sebagai warga negara Indonesia, dan keberadapan. Dari sini sebenarnya bisa ditarik sebuah garis tengah yakni “kaum LGBT bisa saja melakukan segala urusan pribadinya, akan tetapi perlu digaris bawahi Indonesia bukan negara penganut paham Liberal mau tidak mau seluruh warga negara Indonesia harus menghormati urusan horizontal agar tidak terlalu mengkespresikan aktivitas LGBT nya di depan umum”.

Justifikasi secara menyeluruh bukanlah hal yang baik, para pemuka agama seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) dalam Winurini (2016) sendiri menolak perilaku LGBT karena menyimpang dari ajaran agama tapi dengan tegas menganggap kaum ini perlu dilindungi karena warga negara yang punya hak sama dengan siapapun. Diperjelas juga dengan Ikatan Psikologi Klinis (IPK) dalam Winurini (2016) bila LGBT perlu diperlakukan secara manusiawi, termasuk dalam setiap pelayanan professional baik preventif maupun kuratif.

Kesimpulan akhir dari artikel ini adalah cara yang tepat untuk menanggapi kasus pesta seks gay ini adalah dengan menimbangkan kedua opini yang sudah penulis tawarkan di atas, berdiri di samping hukum atas pelanggaran oleh sang inisiator dan menekan segala justifikasi secara radikal terhadap kelompok LGBT. Dari sini penulis bisa menghubungkan titik temu agar kasus serupa tidak terjadi lagi di Indonesia karena menimbang efek-efek yang diakibatkan cukup mengerikan seperti berpotensinya penyebaran penyakit seksual (HIV, Sifilis, Gonore, dan sebagainya), peredaran obat-obatan terlarang, dan yang lainnya. Selanjutnya konstruksi pandangan masyarakat perlu digeser sedikit agar tidak mengintimidasi kaum LGBT dan sepakat “memanusiakan manusia” sesuai yang diamanatkan oleh Pancasila. Artikel ini adalah bentuk asumsi dari penulis melalui berbagai media yang menjadi jembatan mata penulis dengan realita terkait kasus sosial di atas.

Referensi:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun