Mohon tunggu...
Stefani Sijabat
Stefani Sijabat Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Tertarik degan isu-isu yang berkembang seputar sosial, hukum dan politik

menggemari topik-topik kontemporer di masyarkat urban. Blog https://dari-catatan.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Mencemarkan Nama Baik Tak Ditahan, Jadi Gimana Maksudnya?

24 Februari 2021   17:00 Diperbarui: 24 Februari 2021   17:01 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Baru-baru ini Kapolri mengeluarkan telegram bernomor ST/339/II/RES.1.1.1./2021 tertanggal 22 Februari 2021. Pada salah satu poinya, Kapolri meminta agar kasus-kasus yang berkaitan dengan pencemaran nama baik, fitnah atau penghinaan, tidak perlu dilakukan tindakan penahanan. Loh kok gitu ? Jadi gimana maksudnya?.

Jadi pada kasus-kasus yang disebutkan di atas, dari pada langsung dilakukan tindakan penahanan, Kapolri menginginkan agar penyelesaian kasus di selesaikan dengan Restorative Justice. Mungkin banyak masyarakat awam yang tidak terlalu mengenal istilah ini. Restorative Justice atau Keadilan Restoratif menurut Abdi Reza Fachlewi Junus dalam tesisnya menjelaskan, merupakan proses dimana para pihak yang berkepentingan dalam pelanggaran tertentu bertemu bersama untuk menyelesaikan persoalan secara bersama-sama bagaimana menyelesaikan akibat dari pelanggaran demi kepentingan masa depan bangsa.

Di Indonesia sendiri konsep Keadilan Restoratif ini masih terhitung baru. Dalam Undang-Undang yang ada, sayangnya baru hanya dalam Undang-Undang no. 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak saja dengan jelas disebutkan penyelesaian tindak pidana dengan cara Keadilan Restoratif. Padahal mengenai sistem Keadilan Restoratif ini sudah aktif diperkenalkan oleh UNICEF dan beberapa negara lain termasuk Selandia Baru. Pada intinya memang konsep ini mengedepankan tindakan preventif. 

Surat telegram yang ditanda tangani oleh Wakabareskrim Irjen Wahyu Hadiningrat atas nama Kapolri ini merupakan sambutan dari keinginan Presiden Jokowi untuk merevisi UU ITE. Surat telegram ini lebih baik memang dari pada menunggu perdebatan apakah mengenai apakah perlu UU ITE di revisi. Karena memang tidak dipungkiri semenjak kehadiranya, pasal dalam UU ITE banyak di kenal dengan sebutan "pasal karet".

Tapi jangan dulu berburuk sangka dengan konsep Restorative Justice ini. Konsep ini tidak dengan otomatis mengabaikan kasus pidana yang ada. Tidak berarti pelaku/tersangka/terdakwa bisa merasa terbebas dari proses hukum. Hanya saja dengan konsep Restorative Justice ini, pelaku dan korban di berikan kesempatan untuk bertemu dan mencari penyelesaian kasus yang bersangkutan dengan cara mediasi. 

Agaknya surat telegram Kapolri ini menjadi jalan keluar "awal" yang baik. Dari pada menunggu proses revisi suatu undang-undang yang memakan waktu yang tidak sebentar serta lobi-lobi politik dan perdebatan panjang di senayan maupun akademisi yang tak tau kapan selesainya. Yah kalau mau dibilang surat telegram Kapolri ini jadi "pegangan" dari pada menunggu revisi yang tak tau kapan selesainya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun