Sejarah bukan mata pelajaran favorit saya semasa sekolah dulu. Bagi saya dulu, pelajaran sejarah hanya untuk dihapal lalu dituliskan pada lembar ujian sekolah. Tahun-tahun, tempat-tempat, dan tokoh-tokoh sejarah dulu terasa hanya sekedar huruf-huruf yang berjejer di buku pelajaran saya—tak terasa nyata. Ya, maklum saja, di daerah asal saya, Rengat, Riau, tak ada museum-museum bersejarah seperti di Jakarta. Kisah-kisah sejarah yang saya baca di buku, tidak bisa saya saksikan jejak-jejaknya secara nyata.
Dewasa ini, sejarah menjadi hal yang menarik bagi saya. Ini dimulai dari masa-masa kuliah. Saat itu saya bertemu dengan banyak orang yang semangat berbuat baik bagi kebaikan bangsa. Saya pun ikut tergerak untuk bergabung—baik lewat tulisan, maupun aktivitas sosial. Semangat berjuang bagi bangsa itu kemudian membuat saya—mau tak mau—suka akan sejarah Indonesia. Selain untuk lebih kenal bangsa, dari sejarah kita juga bisa mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga bagi hari depan. Maka menyusuri museum bagi saya bak menyusuri jejak-jejak sejarah yang tak lekang oleh zaman—langka dan menarik.
Berawal dari pesan di suatu siang, Erni, teman saya, menginfokan kegiatan Click Kompasiana yang menarik, yaitu “Menapak Tilas Museum Bersejarah.” Wah, bertepatan sekali saat itu menjelang hari kemerdekaan Indonesia—pula selagi saya masih merantau di Jakarta. Semangat nasionalisme saya juga sedang berkobar karena baru menyelesaikan tulisan bertema Merah Putih yang terbit di situs Komunitas Ubi (Kombi). Maka tak tunggu lama saya segera mendaftar dan beruntung terpilih untuk menyusuri tiga museum di Jakarta—yang seru dan menyenangkan!
Hari Minggu, 13 Agustus lalu, tepat pukul 10.00 pagi saya tiba di stasiun Gondangdia. Karena baru pertama kali menjejakkan kaki di stasiun itu, saya sempat kebingungan menemukan tempat berkumpulnya kami. Setelah menghubungi Erni, akhirnya saya bertemu dengan Erni dan Ibu Muthia—panitia dari Click Kompasiana yang akan memandu kami. Kami pun menunggu teman-teman Click-packers—sebutan bagi peserta acara Click Kompasiana—yang lain. Dan kemudian memulai penyusuran itu dengan berjalan kaki.
Museum yang pertama kali menjadi tujuan perjalanan kami adalah Museum Kebangkitan Nasional. Museum ini terletak di Jalan Abdul Rahman Saleh nomor 26 Jakarta. Saat menjejakkan kaki di sana, kami tak lupa segera beraksi dengan mengabadikan pintu masuk museum ini.
Saat berada di museum ini, kami menjumpai rombongan keluarga, kelompok-kelompok anak sekolah, dan ada pula pertemuan para alumni suatu sekolah di Jakarta. Menarik bahwa museum tak sepi, namun menjadi objek wisata yang tak kalah seru dibanding objek wisata popular lainnya.
Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Beralih dari Museum Kebangkitan Nasional, dengan menaiki angkutan daring, kami sampai ke museum kedua, yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Letak museum ini dekat dengan Taman Suropati, Jakarta.
Ada empat ruang bersejarah di museum ini, yaitu ruang pertemuan Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Soebardjo, dan Laksamana Tadashi Maeda pasca kembalinya Soekarno dari Rengasdengklok, ruang perumusan naskah proklamasi—ruang makan, ruang pengetikan naskah proklamasi oleh Sayuti Malik, dan ruang pengesahan naskah proklamasi yang ditandatangani Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Museum Nasional (Museum Gajah)
Terakhir, kami menjejakkan kaki di Museum Nasional—sering pula disebut Museum Gajah karena di halaman depan museum terdapat patung gajah. Saat kami tiba di sana, museum ini sedang direnovasi sebagian, sehingga kami hanya bisa melihat sebagian isi museum. Tak jadi soal karena ini kali kedua saya mengunjungi Museum Nasional.
Museum Nasional berisikan koleksi sejarah yang lebih luas dibandingkan kedua museum sebelumnya. Jika sebelumnya kita mengenal sejarah Indonesia sedari masa perjuangan hingga merdeka, di Museum Nasional kita bisa menemukan hal-hal menarik lainnya, seperti koleksi aksara zaman dulu, kendaraan Indonesia zaman dulu, aksesoris daerah berbahan emas dan perak, serta patung manusia purba.
Kita yang hidup di zaman sekarang juga patut bersyukur dengan segala kemajuan, terutama di bidang teknologi. Dan untuk mendukung itu, kita harus pula memikirkan dan melakukan hal-hal baik bagi kemajuan Indonesia di masa yang akan datang.
Wah, tak terasa saat kami keluar dari Museum Nasional hari telah beranjak sore. Namun kami tak ingin mengakhiri perjalanan itu begitu saja. Tertarik dengan bus pariwisata—yang beberapa dari kami belum pernah menaikinya—akhirnya kami ikut antre di halte samping museum tersebut. Kita tidak perlu bayar untuk bisa berjalan-jalan mengelilingi Jakarta—sesuai rute bus—dengan bus tingkat dua ini alias gratis. Ini tentu hal yang baik bagi turis lokal maupun mancanegara yang hendak berkeliling di kota Jakarta.
Nah, bagi yang belum pernah ke museum, yuk kunjungi tiga museum ini! Mari kembali belajar sejarah dan mengenal Indonesia lebih dalam. Seru loh! Untuk melihat jadwal ketiga museum di atas, berikut koleksinya lebih jauh, bisa berkunjung ke situs-situs ini: Museum Kebangkitan Nasional, Museum Perumusan Naskah Proklamasi, dan Museum Nasional.
Menutup kisah perjalanan yang menarik ini, saya ingin mengambil kutipan dari Kartini, “Terkadang, kesulitan harus kamu rasakan terlebih dahulu sebelum kebahagian yang sempurna datang kepadamu.” Ya, menyusuri jejak-jejak sejarah Indonesia di ketiga museum ini membuat saya bisa melihat betapa susah-payahnya para pendahulu kita berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Kita, yang sekarang bisa menikmati hasilnya, harusnya tak cuma berdiam diri, namun turut mengisi kemerdekaan sesuai kapasitas dan profesi kita demi kebaikan Indonesia.
Salam merdeka!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H