Mohon tunggu...
Stefani Krista
Stefani Krista Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta hujan, perantau, dan penyuka jalan-jalan.

Tulisan saya yang lain bisa dibaca di: http://komunitasubi.com/author/stefani-krista/ https://hujanmerahjambu.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jejak-jejak Sejarah yang Tak Lekang Zaman di 3 Museum Jakarta

20 Agustus 2017   13:02 Diperbarui: 21 Agustus 2017   16:59 2535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejarah bukan mata pelajaran favorit saya semasa sekolah dulu. Bagi saya dulu, pelajaran sejarah hanya untuk dihapal lalu dituliskan pada lembar ujian sekolah. Tahun-tahun, tempat-tempat, dan tokoh-tokoh sejarah dulu terasa hanya sekedar huruf-huruf yang berjejer di buku pelajaran saya—tak terasa nyata. Ya, maklum saja, di daerah asal saya, Rengat, Riau, tak ada museum-museum bersejarah seperti di Jakarta. Kisah-kisah sejarah yang saya baca di buku, tidak bisa saya saksikan jejak-jejaknya secara nyata.

Dewasa ini, sejarah menjadi hal yang menarik bagi saya. Ini dimulai dari masa-masa kuliah. Saat itu saya bertemu dengan banyak orang yang semangat berbuat baik bagi kebaikan bangsa. Saya pun ikut tergerak untuk bergabung—baik lewat tulisan, maupun aktivitas sosial. Semangat berjuang bagi bangsa itu kemudian membuat saya—mau tak mau—suka akan sejarah Indonesia. Selain untuk lebih kenal bangsa, dari sejarah kita juga bisa mendapatkan pelajaran-pelajaran berharga bagi hari depan. Maka menyusuri museum bagi saya bak menyusuri jejak-jejak sejarah yang tak lekang oleh zaman—langka dan menarik.

Berawal dari pesan di suatu siang, Erni, teman saya, menginfokan kegiatan Click Kompasiana yang menarik, yaitu “Menapak Tilas Museum Bersejarah.” Wah, bertepatan sekali saat itu menjelang hari kemerdekaan Indonesia—pula selagi saya masih merantau di Jakarta. Semangat nasionalisme saya juga sedang berkobar karena baru menyelesaikan tulisan bertema Merah Putih yang terbit di situs Komunitas Ubi (Kombi). Maka tak tunggu lama saya segera mendaftar dan beruntung terpilih untuk menyusuri tiga museum di Jakarta—yang seru dan menyenangkan!

Hari Minggu, 13 Agustus lalu, tepat pukul 10.00 pagi saya tiba di stasiun Gondangdia. Karena baru pertama kali menjejakkan kaki di stasiun itu, saya sempat kebingungan menemukan tempat berkumpulnya kami. Setelah menghubungi Erni, akhirnya saya bertemu dengan Erni dan Ibu Muthia—panitia dari Click Kompasiana yang akan memandu kami. Kami pun menunggu teman-teman Click-packers—sebutan bagi peserta acara Click Kompasiana—yang lain. Dan kemudian memulai penyusuran itu dengan berjalan kaki.

Click-packers berhenti sejenak di Tugu Tani Dokumentasi: pribadi
Click-packers berhenti sejenak di Tugu Tani Dokumentasi: pribadi
Museum Kebangkitan Nasional
Museum yang pertama kali menjadi tujuan perjalanan kami adalah Museum Kebangkitan Nasional. Museum ini terletak di Jalan Abdul Rahman Saleh nomor 26 Jakarta. Saat menjejakkan kaki di sana, kami tak lupa segera beraksi dengan mengabadikan pintu masuk museum ini.
Pintu masuk Museum Kebangkitan Nasional Dokumentasi: pribadi
Pintu masuk Museum Kebangkitan Nasional Dokumentasi: pribadi
Museum ini dulunya merupakan gedung School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) atau Sekolah Dokter Bumi Putera yang berdiri pada tahun 1899. STOVIA menjadi titik temu para mahasiswa dari berbagai daerah yang kemudian bersatu untuk berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Mereka adalah asal-muasalnya pergerakan kebangkitan nasional, yaitu organisasi Budi Utomo. Terdorong oleh karena semangat mereka, lahirlah berbagai organisasi-organisasi nasional lain, seperti Perhimpunan Indonesia, Sarekat Islam, dan Indische Partij (Partai Hindia)—yang sama-sama berjuang bagi Indonesia.
Patung pendiri Budi Utomo Dokumentasi: pribadi
Patung pendiri Budi Utomo Dokumentasi: pribadi
Dan berada di gedung peninggalan STOVIA tentu membuat kita berkenalan pula dengan pendidikan Indonesia masa dulu. Museum ini menyajikan patung dan gambar tokoh-tokoh pendidikan, seperti Ki Hajar Dewantara, Kartini dan Dewi Sartika.
Patung Dewi Sartika, gambar Kartini dan Ki Hajar Dewantara Dokumentasi: pribadi
Patung Dewi Sartika, gambar Kartini dan Ki Hajar Dewantara Dokumentasi: pribadi
Museum Kebangkitan Nasional ini terdiri dari bak ruang-ruang kelas—karena bekas gedung STOVIA. Kita bisa menemukan ruang laboratorium STOVIA, ruang kelas STOVIA, ruang sejarah STOVIA, asrama STOVIA, dan ruang-ruang menarik lainnya. Mengunjungi museum ini membuat saya serasa mengunjungi kampus saya dulu, Universitas Andalas—dengan rerumputan dan pohon-pohon hijau yang menyejukkan mata.
Halaman gedung STOVIA Dokumentasi: pribadi
Halaman gedung STOVIA Dokumentasi: pribadi
Menilik sejarah kebangkitan nasional yang dimulai dari para mahasiswa, ini patut pula mendorong para pelajar dan mahasiswa masa kini lebih banyak bergerak untuk melakukan hal-hal baik bagi orang banyak—bangsa Indonesia. Masa-masa emas tersebut harusnya tak disia-siakan hanya sekadar mengejar kelulusan semata. 

Saat berada di museum ini, kami menjumpai rombongan keluarga, kelompok-kelompok anak sekolah, dan ada pula pertemuan para alumni suatu sekolah di Jakarta. Menarik bahwa museum tak sepi, namun menjadi objek wisata yang tak kalah seru dibanding objek wisata popular lainnya.

Museum Perumusan Naskah Proklamasi
Beralih dari Museum Kebangkitan Nasional, dengan menaiki angkutan daring, kami sampai ke museum kedua, yaitu Museum Perumusan Naskah Proklamasi. Letak museum ini dekat dengan Taman Suropati, Jakarta.

Tampak depan Museum Perumusan Naskah Proklamasi Dokumentasi: pribadi
Tampak depan Museum Perumusan Naskah Proklamasi Dokumentasi: pribadi
Dulunya museum ini adalah kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda, Kelapa Kantor Penghubung antara Angkatan Laut dengan Angkatan Darat Jepang. Maka jangan kaget kalau kita menemukan kamar mandi—yang ternyata mirip dengan kamar mandi kita sekarang—berikut ruang makan, ruang kantor, dan ruang-ruang layaknya di rumah lainnya.

Ada empat ruang bersejarah di museum ini, yaitu ruang pertemuan Soekarno, Moh. Hatta, Ahmad Soebardjo, dan Laksamana Tadashi Maeda pasca kembalinya Soekarno dari Rengasdengklok, ruang perumusan naskah proklamasi—ruang makan, ruang pengetikan naskah proklamasi oleh Sayuti Malik, dan ruang pengesahan naskah proklamasi yang ditandatangani Soekarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia.

Patung Sayuti Melik sedang mengetik naskah proklamasi, ditemani B.M. Diah Dokumentasi: pribadi
Patung Sayuti Melik sedang mengetik naskah proklamasi, ditemani B.M. Diah Dokumentasi: pribadi
Di museum ini kita bisa kembali mengenang proses lahirnya proklamasi Indonesia yang diproklamirkan pada hari kemerdekaan 17 Agustus 1945. Proses ini tentu tidaklah mudah, namun rumit dan panjang. Dari sejarah perumusan naskah proklamasi, kita bisa belajar untuk tetap berjuang pula menghadapi tantangan-tangan masa kini, baik secara pribadi—tantangan pekerjaan—maupun secara bersama—korupsi dan kemiskinan.

Museum Nasional (Museum Gajah)
Terakhir, kami menjejakkan kaki di Museum Nasional—sering pula disebut Museum Gajah karena di halaman depan museum terdapat patung gajah. Saat kami tiba di sana, museum ini sedang direnovasi sebagian, sehingga kami hanya bisa melihat sebagian isi museum. Tak jadi soal karena ini kali kedua saya mengunjungi Museum Nasional.

Museum Nasional berisikan koleksi sejarah yang lebih luas dibandingkan kedua museum sebelumnya. Jika sebelumnya kita mengenal sejarah Indonesia sedari masa perjuangan hingga merdeka, di Museum Nasional kita bisa menemukan hal-hal menarik lainnya, seperti koleksi aksara zaman dulu, kendaraan Indonesia zaman dulu, aksesoris daerah berbahan emas dan perak, serta patung manusia purba.

Sepeda zaman dulu
Sepeda zaman dulu
Mengunjungi museum ini membuat kita bisa merasakan bagaimana hidup di Indonesia zaman dulu. Tak hanya itu, saya juga memikirkan betapa kayanya bangsa Indonesia dulu. Bayangkan peralatan makan—piring dan gelas—saja terbuat dari emas!

Kita yang hidup di zaman sekarang juga patut bersyukur dengan segala kemajuan, terutama di bidang teknologi. Dan untuk mendukung itu, kita harus pula memikirkan dan melakukan hal-hal baik bagi kemajuan Indonesia di masa yang akan datang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun