Kehadiran kecerdasan buatan (AI) memicu kekhawatiran luas tentang dampaknya terhadap pasar kerja tradisional.
Banyak yang memperkirakan bahwa pekerjaan-pekerjaan manual akan tergantikan oleh robot, memperlebar kesenjangan ekonomi.
Walaupun demikian, sebuah studi komprehensif dari Nokia Bell Labs menantang pandangan tersebut.
Studi Nokia Bell Labs menganalisis lebih dari 24.000 paten terkait AI yang diajukan ke Kantor Paten dan Merek Dagang Amerika Serikat antara tahun 2015 dan 2022.
Para peneliti mengembangkan skor Dampak Kecerdasan Buatan (AII) untuk menilai seberapa dekat tugas suatu pekerjaan selaras dengan inovasi AI terbaru.
Hasilnya mengejutkan. Studi tersebut menemukan bahwa pekerjaan kerah putih dan pekerjaan teknis yang sangat terampil justru yang paling rentan terhadap dampak AI, bukan pekerjaan manual seperti yang selama ini dikhawatirkan.
Pekerjaan seperti operator pile driver, operator pengeruk, tukang daging, dan penilai produk pertanian termasuk di antara profesi yang paling sedikit terdampak.
Sebaliknya, profesi terampil seperti teknisi kardiovaskular, teknisi suara, animator, dan dokter gigi ortodontis lebih rentan terhadap otomatisasi AI.
Daniele Quercia, Kepala Departemen Dinamika Sosial di Nokia Bell Labs Cambridge (Inggris), menjelaskan bahwa faktor utamanya bukanlah tingkat keterampilan atau fisik pekerjaan, melainkan apakah tugas-tugasnya mengikuti format terstruktur dan dapat dibaca oleh mesin.
Pekerjaan yang membutuhkan urutan yang tepat dan output yang dapat diprediksi---seperti di bidang perawatan kesehatan atau penerbangan---lebih rentan terhadap AI.
Studi ini menunjukkan bahwa AI lebih cenderung meningkatkan daripada menggantikan tenaga kerja manusia.
AI dapat membantu dokter menganalisis rontgen dan MRI, tetapi tidak dapat menggantikan penilaian seorang profesional medis.
AI dapat membantu mengotomatisasi tugas-tugas rutin, tetapi tidak dapat sepenuhnya menggantikan pekerjaan manusia.
Tidak ada pekerjaan yang akan sepenuhnya otomatis; beberapa akan dikonfigurasi ulang secara signifikan, tetapi hanya itu.
Studi ini juga menemukan bahwa profesi yang paling mungkin terdampak AI cenderung juga mengalami kekurangan tenaga kerja yang besar.
Oleh karena itu, otomatisasi tugas-tugas tertentu sebenarnya dapat membantu memenuhi kebutuhan yang ada, seperti mengatasi kekurangan tenaga kerja di bidang perawatan kesehatan dan transportasi.
Sebaliknya, sektor dengan kelebihan pekerja, seperti perdagangan grosir dan administrasi publik, akan merasakan dampak yang lebih besar karena otomatisasi dapat melakukan pekerjaan ini dengan lebih murah dan efektif daripada manusia.
Pekerjaan yang paling sedikit terdampak AI adalah pekerjaan yang membutuhkan keterampilan interpersonal tingkat tinggi atau pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dasar dan tidak terspesialisasi.
Ironisnya, mereka yang paling takut digantikan oleh AI mungkin adalah mereka yang paling aman dari ancaman tersebut.
Para peneliti merekomendasikan dua strategi utama:
pertama, pengembang harus memprioritaskan alat AI yang meningkatkan produktivitas dengan bekerja bersama manusia;
kedua, pembuat kebijakan dan pemimpin bisnis harus berinvestasi dalam pelatihan dan pendidikan untuk memastikan bahwa angkatan kerja siap beradaptasi dengan kemampuan AI yang terus berkembang.
Kesimpulan:
Studi Nokia Bell Labs memberikan wawasan penting tentang dampak AI terhadap pasar kerja.
Alih-alih menggantikan pekerjaan secara keseluruhan, AI lebih cenderung mengotomatisasi tugas-tugas tertentu, yang membutuhkan adaptasi dan pelatihan ulang tenaga kerja.
Fokus harus bergeser dari mengganti pekerja ke menciptakan teknologi yang melengkapi keterampilan manusia.
Dengan pendekatan yang tepat, potensi kerugian AI dapat diminimalkan sementara manfaatnya---peningkatan produktivitas dan kepuasan kerja---dapat dimaksimalkan.***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI