Mohon tunggu...
Dhimas Afihandarin
Dhimas Afihandarin Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa

Hmm masih pengangguran. Mencoba bertahan hidup dengan freelancing dan terus kirim CV.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Keberadaan National Hostile Database Signature dan perannya dalam penentuan kebijakan hankam terhadap krisis Laut Cina Selatan

31 Mei 2024   23:40 Diperbarui: 1 Juni 2024   00:30 430
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pembuka 

Indonesia merupakan negara kepulauan dengan posisi sangat strategis di dunia internasional.  Utamanya sebagai "penghubung" antarra "Timur dan Barat, Utara dan Selatan". Posisi strategis ini selain tentunya membuat negara kita memiliki "daya tawar" dan potensi ekonomi yang besar, juga membuat kita dapat dengan relative mudah terseret perang kepentingan antara negara-negara yang berkepentingan di sekitar wilayah kita.  Salah satu contoh adalah ambisi Republik Rakyat Tiongkok (RRT) atau Cina di wilayah Laut Cina Selatan (LCS).  

Ambisi Cina di LCS (Laut Cina Selatan)

Republik Rakyat Tiongkok atau Cina merupakan salah satu pemain utama di LCS dan yang paling agresif menetapkan yang bisa dianggap "memaksakan kehendak" mereka di LCS dengan klaim wilayahnya.  Klaim yang terkenal dengan sebutan "9 dash line" atau "9 garis" (Gambar-1) ini mencakup hampir keseluruhan perairan LCS.  Klaim ini tentu tidak ditanggapi dengan senang hati oleh negara-negara tetangga seperti Filipina, Vietnam, Malaysia dan negara lain yang juga menegakkan klaim di wilayah tersebut. Cina sendiri mendukung dan menegakkan klaimnya di LCS bukan hanya dengan "omong besar" melainkan juga membangun infrastruktur militer disana dan memperkuat armada udara dan lautnya.

Kemajuan militer Cina dan ambisi mereka di LCS tentu tidak direspon secara positif oleh negara-negara yang terdampak. Misalnya Filipina yang secara aktif mencari solusi diplomasi disertai dengan penguatan militer mereka, serta kerjasama dengan negara besar yang tidak memiliki ambisi territorial di LCS yaitu Amerika Serikat. Negara-negara lain pun termasuk diantaranya Indonesia melakukan maneuver "pivoting" atau "mendekat" ke Amerika Serikat juga. Kedekatan ini tentunya tidak hanya dilakukan dengan sekedar latihan bersama atau "obrolan diplomatis" melainkan juga pembelian alutsista untuk memperkuat "daya tawar" diplomatis negara-negara yang bersengketa dengan Cina di LCS.

Indonesia sendiri dibawah menteri pertahanan Prabowo Subianto dan nantinya sebagai Presiden terpilih, sudah melakukan upaya untuk memperkuat pertahanan negara utamanya dengan pembelian alutsista mutakhir seperti pesawat tempur Rafale dengan jumlah 42 buah yang merupakan pembelian terbesar pesawat tempur kita semenjak era orde baru.  

kapal perang mutakhir seperti FREMM dan program-program penguatan alutsista lainnya. Namun demikian saya selaku warga Indonesia ini merasa bahwa pembelian-pembelian ini terkesan lebih di dominasi kepentingan politis daripada teknis, sehingga saya melihat bahwa apa yang dibeli ini belum tentu relevan dengan "calon lawan" kita di LCS.

 

Penentuan kebijakan dan perlunya hostile signature database

            Cina sebagai salah satu calon lawan kita di LCS sudah mulai dekade lalu memperkuat militernya dengan adopsi alutsista berteknologi tinggi termasuk diantaranya pesawat stealth seperti J-20 dan J-31/35. Satu keanehan yang saya lihat daripada program pengadaan Indonesia adalah adanya semacam ketidak sesuaian antara apa yang "seharusnya" dibutuhkan dengan yang dibeli nanti.  Pertimbangan politik memang akan selalu menjadi salah satu yang utama, namun bilamana pertimbangan ini tidak disertai dengan pertimbangan teknis, apakah nanti bilamana potensi konflik benar-benar pecah dan kita terseret didalamnya, apakah kita harus membayar dengan nyawa prajurit atau penerbang kita dengan sia-sia ?

Dari ketidaksesuaian itu, saya sendiri berpendapat bahwa mungkin kita tidak atau belum memiliki "National Hostile Target Signature Database" (NHTSD) . Apa itu  NHTSD ? Yaitu suatu pusat data yang memuat berbagai karakteristik alutsista yang mungkin dapat menjadi lawan kita.  Apa gunanya kita memiliki database tersebut ?

  • Menjadi rujukan bagi akademisi pertahanan maupun umum
  • Menjadi benchmark atau ukuran untuk membantu penyusunan spesifikasi teknis alutsista yang hendak dikembangkan atau dibeli
  • Menjadi bahan materi intelijen jangka panjang untuk dapat memprakirakan (forecasting) kemampuan lawan di masa mendatang, sesuai dengan kemajuan teknologi yang mereka capai

Salah satu signature atau karakteristik data yang dapat digunakan sebagai masukan dalam database adalah RCS atau Radar Cross Section. RCS sendiri adalah suatu ukuran untuk menyatakan seberapa besar pantulan dari gelombang radar yang dapat dipantulkan sebuah benda.RCS ini dinyatakan dalam satuan luas (meter persegi) atau dalam satuan dB (decibel) atau dBsm (Desibel per meter persegi).  RCS juga dapat digambarkan secara visual melalui diagram seperti pada Gambar-2.

Wikipedia
Wikipedia

Besar kecilnya RCS sendiri ditentukan oleh beberapa factor seperti :

  • Frekuensi radar
  • Bentuk benda secara umum
  • Material pembuat bendanya
  • Aspek atau sudut benda yang terpapar gelombang elektromagnetik

Nilai daripada RCS sendiri diukur secara langsung melalui beberapa metode seperti tes di lapangan (testing range) baik terbuka maupun dalam ruangan. Tes lainnya bisa dilakukan secara dinamis dengan object bergerak, namun tes ini terbatas di ruang terbuka. Ilustrasi 2 jenis tes ini dapat dilihat pada Gambar-3

Selain pengukuran langsung, RCS dapat juga diukur atau diprakirakan dengan perangkat lunak/software seperti ANSYS HFSS, ECHO-1, FEKO, Microwave CST dan POFACETS.

Hasil pengukuran RCS sendiri selain dapat digunakan untuk menentukan seberapa "besar" sebuah objek misalnya pesawat di spectrum gelombang radar, juga dapat digunakan untuk :

  • Klasifikasi sasaran apakah itu kapal atau pesawat atau benda lain
  • Pengenalan atau identifikasi jenis sasaran, misalnya membedakan apakah pesawat A adalah MiG-29 atau F-16
  • Penentuan daya jangkau radar terhadap sasaran tersebut.

Dari ketiga poin tersebut saya berpendapat bahwa jelas karakteristik sasaran semacam RCS itu dapat digunakan untuk membuat kebijakan baik dalam pembelian alutsista maupun secara umum pembentukan doktrin atau langkah strategis lainnya bagi pertahanan kita kedepan. Tren masa kini dan masa mendatang adalah memperkecil RCS sasaran bisa dilihat dari desain J-20 (gambar 4) yang minim tonjolan dan menyimpan persenjataannya dalam badan pesawat.  Kecilnya RCS J-20 sendiri tentu akan mempersulit pesawat-pesawat tempur kita seperti Rafale, F-16 dan Sukhoi serta di masa mendatang F-15EX bilamana dibeli.

Contoh untuk penggunaan Signature Database

Sebagai Illustrasi manfaat dan penggunaan karakteristik RCS sebagai salah satu instrument untuk menentukan kebijakan adalah dengan melakukan demonstrasi.

Bahwa dibawah ini adalah hasil prakiraan saya dengan menggunakan software ANSYS HFSS untuk pesawat J-20 “Mighty Dragon” lalu dibandingkan dengan Dassault Rafale dalam konfigurasi Udara ke Udara dengan rudal Meteor.  Prakiraan sendiri dilakukan dengan kondisi berikut, menimbang spesifikasi komputer saya :

  • J-20 dan Rafale tidak memiliki material penyerap gelombang radar pada permukaannya. Perlakuan material penyerap hanya dilakukan pada inlet atau mulut mesin jet
  • Rafale menggunakan konfigurasi udara ke udara

Illustrasi Rafale dan J-20 dalam softwar ANSYS HFSS dapat dilihat dibawah (Gambar-5)

Hasil pengukuran sendiri diolah secara statistic untuk menghasilkan nilai yang dapat digunakan langsung untuk memprakirakan daya jangkau radar. Mengapa radar ? Karena radar masih merupakan sensor utama di pertempuran udara. Semakin kecil RCS sasaran ya semakin “unggul” pula platform senjata karena diharapkan dia akan lebih sulit dideteksi radar.  Hasil prakiraan RCS untuk kedua pesawat tempur tersebut sendiri dapat dilihat pada Gambar-6

Selain prakiraan RCS, saya juga membuat prakiraan daya jangkau Radar untuk Rafale dan J-20, dengan aplikasi MS.Excel, dengan hasil sbb (Gambar 7 dan 8)

g8-665a08f2ed6415798f735842.png
g8-665a08f2ed6415798f735842.png

Adapun bilamana dibutuhkan resolusi lebih tinggi dari prakiraan pada Gambar 7 dan 8 dapat dilihat melalui pranala berikut :

Gambar 7 : Gambar 7

Gambar 8 : Gambar 8

Baik radar Type 1475 maupun RBE-2AA bekerja pada frekuensi X-band atau 8-12 GHz. Dengan demikian RCS untuk kedua pesawat tersebut seperti pada Gambar-6 juga akan menggunakan data di X-band yaitu berturut turut J-20 sebesar 0.22 meter persegi sementara Rafale 1.5 meter persegi.

Sementara daya jangkau radar untuk kedua pesawat tersebut, secara umum dari gambar 7 dan 8 dapat dilihat pada gambar 9 :

g9-665a0905ed64157b266ad9c2.png
g9-665a0905ed64157b266ad9c2.png

Daya jangkau radar pada prakiraan saya, dinyatakan dalam 2 PD atau Probability of Detection 50% dan 90% Hal ini dikarenakan sebuah radar itu memiliki threshold atau ambang batas kekuatan sinyal yang berbeda, 50% adalah daya jangkau dimana kontak yang terdeteksi itu bersifat 50 :50 dimana karakteristik kontak tersebut hanya memiliki kemungkinan 50 % merupakan sasaran yang sebenarnya, 50% lainnya adalah false alarm atau sasaran “palsu”. Sementara 90% menunjukkan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi, dimana sasaran tersebut sudah benar-benar “memperlihatkan diri” sebagai sasaran sehingga radar dapat bergerak ke moda penguncian atau tracking. Sementara Swerling case 1 merupakan referensi statistik fluktuasi data RCS yang digunakan. Swerling Case-1 sendiri adalah sudah lumrah digunakan dalam dunia radar.

Dengan data daya jangkau yang tersedia, maka dapat dengan mudah dilakukan perhitungan terhadap daya jangkau radar masing-masing pesawat, pada jarak berapa J-20 dapat mendeteksi Rafale dan sebaliknya. Illustrasi daya jangkau ini dapat dilihat pada gambar-10

g10-665a0914c925c407bd2c65e3.png
g10-665a0914c925c407bd2c65e3.png

Dari Illustrasi diatas, dapat dilihat secara kasar bahwa J-20 ini dengan RCSnya yang kecil, dan dengan daya jangkau radar yang relatif besar ia dapat mengungguli Rafale.  Ini tentu dapat digunakan sebagai bagian daripada pertimbangan untuk apakah Rafale itu misalnya masih harus dibeli, atau bilamana tetap dibeli, kira-kira apa yang bisa dilakukan untuk meningkatkan keunggulan Rafale terhadap J-20.  Dari gambar 6 sendiri bisa dilihat bahwa RCS J-20 ini bersifat relatif fluktuatif, seiring frekuensi.  Dengan demikian mungkin bisa dibeli atau dikembangkan platform radar yang memiliki frekuensi dimana RCS J-20 ini lebih tinggi, dengan demikian disertai pengembangan datalink atau jaringan komunikasi yang aman dan cepat, dapat memandu Rafale untuk mengalahkan J-20.

Penutup

Saya kira demikian untuk artikel saya, bahwa Indonesia ini dalam krisis LCS selain memperkuat militer, diplomasi juga harus memperkuat “basis keilmuan”  utamanya untuk mengenal calon lawan dan kawan secara teknis. Melalui artikel ini saya mengharapkan dapat memberi pengantar tentang karakteristik sasaran (Target Signature) Serta penggunaannya dalam pembuatan pertimbangan atau kebijakan secara umum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun