Pembelajaran di tengah pandemi memang terasa cukup menyulitkan bagi banyak pihak. Pendidik, peserta didik, hingga orang tua saling berkeluh kesah tentang hal-hal yang tengah dihadapi dan harus dijalani.
Banyak sekali hal baru yang harus dipersiapkan. Belajar dengan teknologi baru dan online menjadi momok bagi para pendidik yang terlalu terbiasa berada dalam zona nyaman. Ya, zona dimana anggapan bahwa belajar itu adalah kegiatan yang hadir langsung tatap muka dengan para peserta didiknya.
Rupanya era dan masa yang berbeda antara pendidik dan peserta didik membuat semuanya terasa serba dipaksakan. Kebijakan demi kebijakan darurat segera dikeluarkan. Namun kadang, kebijakan yang diberikan tidak dikomunikasikan lebih dalam dengan semua pihak terkait. Akhirnya, peserta didik menjadi korban. Dan itu yang kami rasakan selama satu semester mendampingi anak-anak belajar di rumah.
Stress itu pasti, namun pasrah bukan hal yang tepat. Banyak hal yang perlu dikomunikasikan dan disinergikan agar semua pihak dapat sama-sama saling mendukung ketika proses belajar-mengajar yang berlangsung secara daring.
Di samping semua itu ada hal yang menurutku membutuhkan perhatian lebih dari para stakeholder yang ada di instansi pendidikan. Perhatian khusus bagi anak kelas 1 SD.
Mungkin ada yang bertanya? kenapa dengan anak kelas 1 SD? bukankah semua peserta didik dari berbagai jenjang juga mengalami hal yang sama?
Ya, semua peserta didik mengalami hal yang sama selama satu semester terakhir. Namun, bagi siswa baru kelas 1 SD menurut saya perlu mendapatkan perhatian yang benar-benar lebih karena mereka masih terlalu kecil untuk dapat memahami apa yang tengah terjadi saat ini. Mereka juga belum fasih dalam membaca dan menulis. Mereka juga belum mengerti pelajaran yang banyak. Mereka belum mengenal lingkungan sekolah yang baru.
Namun apa jadinya jika sekolah atau dinas pendidikan merasa jika siswa kelas 1 SD dan siswa tingkatan lain sama saja? Orang tua, guru dan peserta didik pasti akan semakin stress. Dan itu yang kami alami saat ini.
Menganggap bahwa pembelajaran di masa pandemi itu sama dengan masa tidak ada pandemi itu adalah hal yang benar-benar salah.
Memindah materi ajar yang tetap berpatokan pada buku pelajaran dan tematik yang digunakan ketika tidak ada pandemi akan menjadi bom waktu bagi semua pihak. Kelelahan dari guru membuat materi, peserta didik yang harus setiap hari berada di depan gadget untuk mengerjakan tugas dan orang tua yang keteteran dalam pendampingan anak semakin terasa menjelang akhir semester ini.
Memang pada awal pandemi, mas Menteri Nadiem Makarim telah mengeluarkan kebijakan, pedoman pembelajaran daring hingga terbitnya kurikulum darurat dengan segala penyederhanaannya.
Dalam kurikulum darurat bahkan secara jelas disebutkan bahwa salah satu poin yang terpenting dalam kurikulum darurat adalah guru tidak perlu memaksakan ketuntasan kurikulum. Melainkan, memilih pembelajaran yang esensial.
Namun, tampaknya masih banyak institusi pendidikan yang bingung untuk menjalankan kebijakan dan juga kurikulum darurat tersebut.
Hampir satu minggu lebih, mulai awal desember ini kami berusaha untuk memberikan pendampingan ekstra kepada anak kami yang kelas 1 SD dikarenakan ia harus menjalani Penilaian Akhir Semester (PAS). Dan ujian kali ini benar-benar menjadi ujian yang benar-benar menguras banyak emosi dan mental anak.
Entah apa yang dipikirkan oleh pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat ketika memberikan soal PAS kepada anak kelas 1 SD. Soalnya seakan-akan hadir pada saat kondisi biasa. Bahkan petunjuk pengerjaannya pun dibuat dengan anggapan tanpa terkendala jarak dan juga keadaan pandemi yang tidak normal.
Coba bayangkan kondisi ini. Saat ini, banyak anak kelas 1 SD yang seharusnya didampingi sekolah untuk belajar membaca, menulis dan berhitung tidak mendapatkan apa yang harusnya didapatkannya. Selama satu semester siswa lebih banyak menerima tugas yang berpatokan pada buku ajar yang ada sebelum pandemi. Sedangkan ketika penilaian akhir semester anak-anak mendapatkan soal yang cukup banyak.
Pertanyaannya? Apakah anak kelas 1 SD perlu untuk membaca dan mengerjakan semua soal ujian yang banyak itu sendiri? Apakah wajar anak kelas 1 SD diberikan soal berjumlah 120 soal dengan banyak tipe dalam 1 hari yang sama? Apa ga bisa disederhanakan lagi soalnya?
Saya rasa itu hal yang cukup mengerikan dan menakutkan bagi anak. Mengerjakan soal sambil mengeluh dan menangis karena banyaknya soal telah menjatuhkan mental anak.
Oke, mungkin kami lemah untuk bagian ini dan ada yang menyalahkan orang tua dalam mengajari anaknya ketika belajar sehingga anak hingga akhir semester belum bisa membaca secara lancar.
Menurut saya, mengajari anak belajar membaca, menulis dan berhitung bukan hal yang mudah bagi orang tua yang tidak memiliki background pendidikan sebagai tenaga pengajar.
Perlu suatu kesabaran lebih, karena memaksakan anak agar dapat membaca, menulis dan berhitung secara ekstrem justru akan semakin membuat emosi meningkat. Dan itu yang sering kali kami temukan ketika para orang tua murid bertemu dan curhat di Group Whatsapp kelas.
Ah, sudahlah.. Mungkin ini hanya sedikit curahan hati kami yang sedih ketika melihat anak kelas 1 SD mendapatkan soal PAS / UAS yang sangat banyak, seakan tidak sedang ada pandemi.
Maaf, kami bukan keluarga yang senang mengejar nilai akhir. Kami lebih suka menikmati proses. Nilai ujian yang bagus itu bukan tujuan akhir.
Semoga pihak sekolah dan semua stakeholder bisa lebih tanggap akan keadaan yang terjadi. Mohon tetap menjaga ritme dan mental para pendidik dan peserta didik yang tengah berjuang di masa pandemi ini. Buatlah proses belajar mengajar itu kembali menyenangkan. Jangan justru membuat semua pihak menjadi lebih tertekan.
Dan doa kami, semoga pandemi ini segera berakhir dan semuanya dapat berjalan dengan kondisi normal baru yang bisa lebih menyenangkan.
Salam,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H