Isu lingkungan lain yang sedang terjadi ialah ketersediaan air tanah di beberapa tempat di kota yogyakarta yang habis akibat pengalihan penggunaan air tanah yang tidak merata, salah satunya akibat pembangunan hotel yang menjamur disetiap sudut kota yogyakarta yang mengakibatkan sumur-sumur disekitar hotel menjadi berkurang persediaanya bahkan kering. Semuanya itu tercermin dalam sabut kelapa yang terdapat pada lapisan karya yakni dibawah besi penyangga karya. kehadiran sabut kelap disini ialah sebagai penyaring air bersih bagi masyarakat.
Rumput serta tanaman sebagai media penghasil karya visual menampilkan enigma mengenai isu lingkungan yang sedang marak terjadi dimana media tersebut kemudian menjadi teka teki, masih adakah lahan terbuka hijau di kota yogyakarta untuk dinikmati?, disebalah mana kah lahan tersebut?
Narasi pada karya ini terletak pada keterangan karya yang berbunyi "Semakin meningkatnya suhu kota karena faktor pencemaran udara yang semakin hari semakin mengkhawatirkan ditambah dengan menyempitnya lahan terbuka hijau, maka dari itu saya membuat sebuah visual karya dari rumput yang seolah-olah ditarik karena ingin diganti dengan sesuatu yang baru" dimana perupa ingin menceritakan kondisi kota yogyakarta yang mengkhawatirkan dari segi polusi udara serta lahan terbuka hijau.
Ruang kota hijau?
Jika dilihat secara denotasi rumput merupakan enigma dari isu-isu lingkungan yang sedang terjadi di kota Yogyakarta akibat maraknya pembangunan disetiap sudut kota. Berkuranganya lahan hijau serta udara bersih di kota yang merupakan bagian penting malah diabaikan dan digantikan dengan gedung-gedung tinggi yang ironisnya malah tidak menghasilkan polusi ketimbang udara bersih.
Rumput yang dipilih sebagai media utama dari karya utama visual adalah jenis rumput yang biasa digunakan pada taman-taman yakni rumput gajah mini, karena meskipun terinjak-injak rumput tersebut dapat tetap tumbuh normal. Rumput disini ingin mewakili tempat bagi masyarakat untuk berjalan-jalan, melakukan aktivitas yang bisa dilakukan dengan keluarga, tempat bagi anak-anak untuk bermain, berlarian bebas tanpa memikirkan akan lalu lalang kendaraan. Juga mewakili tempat bagi masyarakat untuk menikmati sejuknya kota Yogyakarta. Rumput merupakan bentuk dekonstruksi dari lahan masyarakat yang seharusnya dapat dinikmati bersama tetapi keberadaanya malah sulit untuk diupayakan.
Tumbuhan pakis yang terdapat dalam instalasi sculpture ingin melambangkan sebagai alat penyaring udara yang dihasilkan dari knalpot-knalpot kendaraan kota yang semakin lama semakin menyiksa paru-paru. Selain sebagai penyaring udara, tumbuhan pakis mewakili kerinduan akan sosok kota yang bersih dari polusi. Tanaman pakis hadir sebagai vakum cleaner bagi lantai kota yang dikotori oleh polusi udara.
Bentuk melengkung yang terdapat pada karya memiliki bentuk pengulangan atau repetisi, yang jika dilihat dari samping maka akan membentuk huruf M yang bisa kita artikan sebagai mangkubumi karena diletakan pada jalan mangkubumi maka karya bisa jadi ingin mewakili situasi atau keadaan dari jalan mangkubumi dimana hotel-hotel bertebaran hanya dalam jarak ratusan bahkan belasan meter, sementara lahan hijau tidak ada sama sekali.
Bentuk melengkung pada karya juga bisa dilihat sebagai huruf A yang tidak sempurna, dimana A dapat menggambarkan kota Yogyakarta yang aman, ramah, dan menyenangkan kini ingin dihilangkan dari kota yogyakarta karena ingin digantikan dengan megah dan mewah. hal tersebut ditunjukan dengan posisi rumput yang sebagian terlepas, atau terangkat dari tempat ia berpijak yakni tanah.
Lokasi instalasi sculpture yang berada pada salah satu pot tanaman kota juga ingin menggambarkan bahwa ruang hijau kota seakan ingin ditelanjangi atau perlahan disingkirkan, media sculpture yang terdiri dari besi, rumput serta tanaman pakis yang berbentuk bergelombang repitisi juga bisa diartikan sebagai bentuk kain yang semula sebagai ruang hijau kota serta pelindung kota dari udara kotor kemudian ditarik sehingga menelanjangi bagian bawah kain yang diwakili sebagai kota yogyakarta.
Dengan demikian dekonstruksi hadir pada karya ini berupa dekonstruksi yang hadir secara terus-menerus karena persoalan mengenai isu lingkungan pada jaman ini merupakan persoalan utama yang hampir tidak menemui titik temu pemecahan masalah, karya visual akan terus dibuat guna mendekontruksi kondisi ruang publik yang terus ditarik dari wujud yang seharusnya.