Mohon tunggu...
Johanes Krisnomo
Johanes Krisnomo Mohon Tunggu... Penulis - Karyawan Swasta

Penulis, YouTuber : Sketsa JoKris Jo, Photografer, dan Pekerja. Alumnus Kimia ITB dan praktisi di Industri Pangan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Trenyuh, Tangisannya Membekas hingga Menua

13 Juni 2020   22:21 Diperbarui: 13 Juni 2020   23:01 345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : https://www.newslinq.com

Tiba-tiba terdengar lengkingan tangis menyayat. Dua kakak beradik, anak rumah sebelah, baru saja ditinggal ayah-ibunya. Ditemani pembantu, kakaknya tak mau melepas tangisnya, sementara sang adik matanya mulai memerah.

Tangisan anak itu, laki-laki sekitar 4 tahun, nyaring dan sukses menggugah perhatian, hingga akhirnya aku ke luar rumah. Kutemui bersama adiknya perempuan, yang berselisih tak kurang dari setahun.

Trenyuh, ada perasaan sedih ketika mendengar suara tangis anak yang mengiba. Permen coklat telah kusiapkan, dan rupanya mampu menghentikan tangisnya yang mengharukan.

Sang Kakak, diam dan mendengar apa yang kukatakan agar jangan menangis. Mereka bertiga, pada akhirnya masuk halaman rumahnya.

Kata pembantu, ayah-ibunya pergi mendadak karena menengok seorang kawannya yang meninggal karena kecelakaan.

Tentang tangisan anak, membekas banget di lubuk hati karena pengalaman pribadi masa lalu.

Dulu, ayah yang tentara sangat jarang di rumah karena tugas luar pulau. Sementara ibu, untuk mengamankan ekonomi keluarga harus bekerja.

Drama tangisan itulah, yang hampir dialami tiap hari, waktu umur 4 atau 5 tahunan, ketika harus menerima kenyataan dititipkan tetangga hingga siang hari.

Sumber : https://www.catholicnewsagency.com /Photo by Dennis Hayes via Flickr
Sumber : https://www.catholicnewsagency.com /Photo by Dennis Hayes via Flickr
Situasi beralih, beberapa adik yang lahir kemudian, hampir tak mau ditinggal karena ingin ditemani bermain. Kalau tidak, telinga ini harus mendengar tangisan-tangisan penuh harap.

Tiap-tiap orang mungkin saja berbeda, bagaimana menyikapi hidup ini, yang lebih banyak dipengaruhi oleh pengalaman atau pembelajaran yang diperolehnya.

Bersyukur, bahwa suatu pengalaman pahit pernah dialami, dan akan menjadi pundi-pundi kebanggaan ketika hal itu diceritakan kembali sebagai alasan kesuksesannya.

Mendengar dan merasakan bahwa tangisan anak memberi pesan akan keterikatan seorang anak kepada orang yang dikasihinya, nyatanya tertanam dalam di lubuk sanubari.

Pengalaman sebagai anak sulung, yang menangis ketika ditinggal orangtua bekerja, atau sebagai kakak yang mengasuh adik-adiknya, tanpa disadari telah menanamkan rasa sayang kepada anak-anak.

Tangisannya membekas hingga menua, tepatlah bila dikatakan demikian. Peka serta peduli pada sesama merupakan sikap bijak, dan akan tumbuh berdasarkan pengalaman yang berbeda-beda, dan tak harus melalui suara tangis.

Bandung, 13 Juni 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun