Terkekang akibat pandemi virus Covid-19. Pupus, hobi menulis atau buat video tentang kisah-kisah perjalanan, tak lagi bisa dilanjutkan. Bangkit meraih harapan, masih banyak yang dapat dilakukan, meskipun diam di rumah atau sekadar menggerakkan kaki.
Menyandang predikat kompasianer atau penulis kompasiana, pada mulanya gagap menyikapi banyaknya pembatasan perilaku di situasi wabah virus corona.
Mati gaya, kata anak-anak milenial, alasannya tak bisa kemana-mana, karena tak ada bahan yang bisa ditulis. Biasanya khan, pergi-pergi  mencari inspirasi, dan menuliskannya dalam bentuk tulisan atau sesekali video.
Sejak beberapa bulan belakangan ini, kesibukan kerja menjadi alasan kuat untuk tidak menulis artikel, paling tidak untuk diri sendiri. Kenyataannya sich, banyak penulis yang lebih produktif, meski punya kesibukan yang super.
Terhantam situasi kerja dari rumah (wfh), yang lebih banyak melakukan koordinasi pekerjaan secara online, dengan selang-seling satu hari di rumah dan di kantor, dirasakan cukup melelahkan.
Akibatnya, kegiatan menulis terabaikan, dan merasa perlu bergerak di sekitar rumah, untuk mengatasi lelah dan kejenuhan.
Rupanya banyak kegiatan menarik yang luput dari pengamatan, sangat baik dijadikan bahan tulisan atau  video.
Ide-ide yang diperoleh, tergantung dari suasana hati kita masing-masing. Ketika ada beban menuangkannya dalam tulisan, masih ada kesempatan buat video atau gambar bergerak.
Hati senang, tak lagi mati gaya atau mati rasa, ketika pilihan video telah dipilih sebagai sarana mengungkapkan rasa.
Selain belajar teknis pembuatan video, rupanya ada tuntutan lain yang jauh lebih utama yaitu bersikap ramah, komunikatif dan kreatif agar video yang ditampilkannya memiliki jiwa.
Contoh nyatanya, di rumah ada 3 guguk. Usia termuda, anjing kecil umur 6 bulan, sedangkan kakak angkatnya umur 9 dan 10 tahun. Damai-damai saja tuch mereka, kecuali yang terkecil suka jail ajak-ajak becanda, mengigit telinga kakak-kakaknya.